Mujadalah

Mengapa Musibah Sering Ditafsirkan Kelompok Radikal Sebagai Azab Tertentu?

Salafusshalih.com. Meletusnya Gunung Semeru, Lumajang menghadirkan duka buat Indonesia. Secara akal sehat tentu kita tidak mengharapkan peristiwa ini terjadi. Kita menginginkan semesta baik-baik saja.

Menghadapi peristiwa tersebut harus dengan hati yang lapang dan sabar. Yakinlah, bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Tuhan Maha Baik terhadap semua hamba-Nya, baik yang beriman maupun tidak.

Sayangnya, ada sekelompok orang yang menghubungkan meletusnya Gunung Semeru dengan kemarahan Tuhan kepada hamba-Nya yang telah menistakan agama. Saya sendiri tidak paham seperti apa agama yang dinista itu. Bukankah kata Gus Dur, Islam itu tidak perlu dibela, karena agama ini sudah mulia dan terhindar dari segala sesuatu yang kotor?

Usut demi usut, penistaan agama yang dimaksud sekelompok orang itu adalah mereka merasa dihinakan ulamanya (tanpa saya sebut secara jelas siapa nama ulama yang dimaksud), meski seorang yang dianggap sebagai ulama ini jelas-jelas melanggar hukum negara. Maksudnya, mereka bukan dihinakan sebenarnya, tapi dikasih sanksi sebagai bentuk balasan atas perbuatannya sendiri.

Saya kurang setuju bahwa setiap musibah selalu dihubung-hubungkan dengan penistaan agama. Apalagi agama yang mereka maksud mengerucut kepada Islam. Ini memberikan pesan bahwa agama selain Islam seakan tidak sama dengan Islam. Padahal, Indonesia ini dibangun bukan hanya di bawah kendali agama Islam, tetapi juga oleh agama-agama yang lain, semisal Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Menghubung-hubungkan setiap peristiwa dengan agama menunjukkan perbuatan ini mendahului kehendak Tuhan. Sementara, tiada seorang pun yang dapat mengetahui kehendak-Nya. Kehendak-Nya bersifat absolut dan sangat rahasia.

Jikalau kehendak Tuhan bisa dinegosiasikan dengan kehendak manusia, maka di manakah letak kekuasaan-Nya? Kekuasaan Tuhan persis seperti yang terekam dalam Al-Qur’an: “Kun fayakun“. Jika Tuhan berkata “Ada”, pasti sesuatu itu ada. Artinya, kekuasaan Tuhan tidak dapat dikotori oleh kepentingan manusia.

Saya yakin, sekelompok orang yang gemar menghubungkan setiap peristiwa atau musibah dengan derita yang mereka alami sedang menggiring umat terpecah-belah. Padahal, perpecahan itu sangat dilarang terjadi. Agama sangat menjunjung tinggi tegaknya persatuan.

Semua orang pasti memiliki kepentingan yang bersifat pribadi dan kelompok. Tapi, yang perlu diperhatikan jangan sampai menggadaikan agama demi kepentingan tersebut. Karena agama itu sakral. Tidak dapat disatukan dengan kepentingan manusia yang bersifat duniawi. Tidak keliru, saking hati-hatinya Gus Dur sangat setuju agama dan negara (politik) itu terpisah atau berjalan tidak berdampingan.

Sebab, menyatukan agama dengan politik sangat berbahaya. Ini akan terjadi sejarah kelam di masa mutakhir ini. Masih ingatkah kelompok Jabariyah berseteru dengan kelompok Qadariyah karena persoalan politik yang dikaitkan dengan instrumen agama? Kata Jabariyah bahwa segala perbuatan manusia, baik dan buruk merupakan perbuatan Tuhan. Manusia pada bagian ini bersikap fatalis.

Sebaliknya, Qadariyah berpandangan bahwa Jabariyah keliru, karena segala perbuatan manusia ditentukan sendiri, bukan ditentukan Tuhan. Perbuatan manusia yang buru tidak pantas itu diklaim sebagai perbuatan Tuhan. Tuhan, katanya, suci dari perbuatan semacam itu.

Persoalan yang sama terjadi antara kelompok Muktazilah dan kelompok Asy’ariyah. Muktazilah memisahkan diri, karena tidak sepakat dengan gagasan Asy’ariyah terkait balasan anak kecil yang meninggal. Sehingga, tempat anak ini di al-manzilah bainal manzilatain (tempat di antara dua tempat).

Agama bekal rusak kalau instrumen agama dihadirkan dalam ranah politik. Karena, maksud yang sebenarnya bukan seperti itu. Mencocokkan semua pesan Al-Qur’an dengan segala bentuk kepentingan termasuk cocokologi. Perbuatan semacam ini tidak dibenarkan dalam kajian tafsir. Cocokologi di sana dikategorikan dengan ad-dakhil fit tafsir (sesuatu yang bukan tafsir).

Sebagai penutup, berhentilah menghubungkan segala peristiwa dengan segala hal. Biar peristiwa itu berlalu. Kita cukup muhasabah atau instropeksi diri, apakah diri ini benar-benar berada di jalan Allah atau belum. Perbaikan diri tanpa menghakimi orang lain. Karena, orang lain itu adalah saudara kita. Jadi, hormati mereka seperti kita menghormati diri kita sendiri. [] Shallallah ala Muhammad.

(Khalilullah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button