Menikmati Sisi Lain Kota Makkah: Pasar Kakiyah, Bakso Unta, Hingga Museum Al Wahyu

Salafusshalih.com – Bersyukur atas nikmat Allah yang tiada berbatas. Tak henti-hentinya Allah memberi kejutan luar biasa berupa kesehatan. Saat tubuh ini harus beramal ibadah lebih banyak, Allah menguatkannya.
Ikhtiar ke dokter sudah kulakukan lagi Jumat pagi. Obat baru dengan dosis lebih tinggi bekerja efektif melawan virus yang cukup lama menetap di tubuhku. Istirahat lebih dari cukup selama dua hari membantu memulihkan seluruh organ agar berfungsi lebih baik.
Hari ini jadwal umrah sunah pertama dari KBIH-ku. Sesuai waktu yang dialokasikan, kami memulainya setelah Subuh.
Pukul tiga pagi, aku bangun dan bersiap agar bisa berkumpul tepat waktu. Tepat pukul lima pagi, setelah salat Subuh, dengan busana putih dan jilbab warna ungu Nurul Hayat (NH), aku melangkah ke lobi hotel, tempat seluruh jemaah berkumpul.
Dua puluh menit menunggu, bus tak kunjung datang. Sementara perut sudah menuntut haknya, aku membeli telur rebus lima butir seharga lima riyal dan dua mangkuk bakso seharga sepuluh riyal, untukku dan suami. Andaikan bus datang tepat waktu, bakso ini bisa dimakan di bus, pikirku.
Karena belum datang juga, aku menikmati bakso panas di lobi hotel. Bakso berisi tiga pentol, sedikit irisan kubis, suun kecil, taburan seledri, dan bawang goreng, menghangatkan perutku. Kutambahkan telur rebus agar lebih kenyang. Alhamdulillah, masyaallah … hingga suapan terakhir, bus belum datang juga.
Pukul 05.55 akhirnya bus tiba. Ternyata terlambat karena macet. Dua bus disiapkan: satu untuk jemaah hotel 1021, satu lagi untuk hotel 120. Aku segera naik dari pintu tengah, berjalan ke kiri karena kursi kanan sudah penuh.
Alhamdulillah dapat kursi di barisan belakang untukku dan suami. Tempat dekat jendela selalu favoritku, karena aku bisa melihat-lihat ke luar dan mendokumentasikan hal-hal menarik.
Setelah jemaah lengkap, bus berangkat menuju tempat mikat. Kali ini rombongan dibimbing Ustaz Heri Latief, mengambil mikat di Tan’im. Letaknya di luar Makkah, di Tanah Halal, karena syarat mikat harus dilakukan di luar Tanah Haram.
Jaraknya hanya sekitar 7,7 km dari Makkah. Di sana terdapat Masjid Aisyah, karena dahulu ibunda Aisyah memulai ibadah hajinya di sini setelah tertinggal rombongan akibat datang bulan.
Tiba di Masjid Tan’im, jemaah segera turun. Di pelataran masjid, burung dara jinak beterbangan. Dipandu Ustaz Heri, kami ditunjukkan tempat salat dua rakaat sunah ihram. Ustaz Heri juga mengantar kami, ibu-ibu, memperbarui wudu. Antre di toilet dan mengambil wudu menjadi bagian perjalanan yang dinikmati. Dua puluh menit kemudian aku kembali ke dalam masjid untuk salat sunah ihram.
Tempat salat perempuan cukup padat, sehingga petugas mengatur pintu masuk dan keluar. Aku memilih saf di depan karena masih kosong, lebih leluasa untuk salat tanpa terganggu jemaah yang lalu-lalang. Kebanyakan jemaah memilih tempat di dekat pintu masuk, jadi menumpuk di sana.
Usai salat, kami kembali ke titik kumpul. Ustaz Heri mengecek kehadiran, tinggal dua orang—seorang ibu sepuh dan putranya yang masih di toilet. Ustaz Heri bertanya siapa yang umrah untuk diri sendiri dan siapa yang badal umrah. Beliau memimpin bacaan niat umrah untuk diri sendiri, lalu dilanjutkan niat badal umrah. Aku meniatkan umrah untuk bapakku, begitu pula suamiku untuk ayahnya.
Setelah semua berniat, kami berjalan pelan menuju parkiran bus. Aku naik dan duduk di kursi semula. Tak lama, ibu sepuh yang antre toilet akhirnya naik juga.
Setelah jemaah lengkap, bus melaju menuju Masjidilharam. Pukul delapan pagi, sinar matahari sudah terasa terik di balik kaca bus. Setelah melewati dua terowongan menembus bukit batu, terlihat Grand Zamzam—pertanda Masjidilharam sudah dekat.
Tiba-tiba bus berhenti di pinggir jalan. Kami harus turun karena aturan lalu lintas melarang bus masuk lebih dekat. Kami turun dan menuruni tangga menuju jalan di bawah jembatan tol. Jemaah berjalan di trotoar menuju Masjidilharam. Udara panas menyengat wajah. Kututup wajah dengan masker, mengenakan topi putih NH agar tidak dehidrasi, dan suamiku membuka payung melindungi kepala.
Dua puluh menit berjalan, akhirnya tiba di pelataran masjid dan melewati WC 9, penanda dekat dengan titik pintu keluar sai. Ustaz Heri segera mengarahkan kami naik eskalator turun menuju Ka’bah untuk tawaf.
Dia memimpin doa saat melihat Ka’bah dan memasuki putaran tawaf, dimulai dari tanda hijau. Tawaf pagi hari menuntut kesabaran lebih, karena sengatan matahari langsung mengenai kepala. Namun tak mengapa. Untuk hadiah indah bagi bapakku, aku rela berpanas-panas. Pengorbanan bapak, dibanding pengorbananku, tak sebanding sedikit pun.
Alhamdulillah, tujuh putaran selesai. Kami menepi, Ustaz Heri memimpin doa dan mempersilakan salat dua rakaat. Setelah minum air zamzam, sesi foto diadakan: jemaah berpasangan, dengan orang tua, atau sendiri, untuk kalender NH tahun 2026. Foto-foto ini akan diolah menjadi album kalender dan dibagikan setelah tiba di tanah air.
Selesai foto, lanjut sa’i tujuh kali dari Bukit Safa ke Marwah, lalu tahalul. Setelah itu, Ustaz Heri mempersilakan kami beraktivitas bebas. Aku dan suami memilih kembali ke hotel melalui Terminal Ajyad agar sore bisa ikut jalan-jalan ke Pasar Khakiyah dan Museum Al-Wahyu.
Pukul 10.30, perjalanan ke Terminal Ajyad di bawah terik matahari makin panas. Payung yang kubawa sangat membantu. Di halte dan gerbang 3, bus nomor 27 kosong. Menunggu di pinggir jalan, panas semakin terasa. Alhamdulillah, bus datang. Setelah suamiku berbicara dengan petugas terminal—yang kebetulan orang Indonesia—kami boleh naik tanpa menunggu bus berputar kembali.
Masyaallah, nikmatnya! Lima belas menit kepanasan terbayar lunas begitu masuk bus: seperti angin surga. Duduk dekat pintu tengah, kuhabiskan sisa oralit di botol. Biasanya aku kurang suka rasanya, tapi kali ini terasa segar, nyawa serasa kembali. Ya, oralit jadi minuman wajib jemaah haji Indonesia untuk mencegah dehidrasi.
Pukul 11.05, bus tiba di hotel. Aku dan suami segera naik lift ke kamar, berganti baju, cuci kaki dan tangan, lalu merebahkan diri di kasur, tenggelam dalam mimpi.
Pasar Kakiyah
Alarm ponsel membangunkanku pukul 13.30—waktunya minum pil KB. Bergegas ke kamar mandi, teringat belum salat Zuhur. Alhamdulillah, badan terasa segar. Berarti aku bisa ikut jalan-jalan sore ini, seperti izin suami di bus tadi: boleh asalkan badan tetap sehat. Alhamdulillah.
Sebenarnya, jadwal jalan-jalan ini untuk jemaah NH hotel 1022 dan daerah Raudah serta Sektor 9. Karena waktu jadwal hotelku aku sakit, aku dan suami diizinkan Ustaz Heri ikut bergabung. Pukul 15.00 lebih, bus menjemput di hotel sebelah, 1022. Keluar hotel, wajah kututup masker menahan sengatan matahari. Alhamdulillah, dapat kursi belakang meski sebagian harus berdiri karena kursi penuh.
Hati senang, hati riang, jalan-jalan berdua dengan suami membeli oleh-oleh untuk keluarga di tanah air. Pasar Khakiyah, berjarak 7,7 km dari hotelku, dulunya Pasar Seng yang dipindah karena perluasan Masjidilharam. Kata muthawif, Ustaz Fauzi, pasar ini seperti PGS di Surabaya.
Pukul 15.45 tiba di Pasar Kakiyah. Turun bus, masuk pasar yang sangat ramai. Aku dan suami bergandengan di lantai dasar, dipandu salah satu jemaah yang pernah ke sana, menuju toko di area belakang.
Toko kecil ini menjual oleh-oleh haji. Penjualnya orang Arab, fasih berbahasa Indonesia dan Jawa karena istrinya orang Jawa. Kami membeli minyak wangi roll on, henna pesanan anak, dan gantungan kunci, total 65 riyal.
Saat Asar tiba, kami naik ke lantai dua untuk salat di musala. Usai salat, belanja lagi ke Toko Ihsan—nama anak keduaku. Di sini beli cokelat Dubai, dua pak isi 24 seharga 55 riyal, plus dua cokelat batangan jumbo.
Lalu beli abaya untukku dan anak perempuanku, total hanya 100 riyal. Sempat beli cokelat Dubai lagi di toko lain karena lebih murah, ditambah kacang walnut, suami mulai kewalahan menenteng belanjaan.
Turun ke lantai dasar, jemaah berkumpul hingga pukul 17.00. Beberapa kebingungan mau belanja apa, terlalu banyak pilihan katanya. Sambil menunggu, aku membeli boneka unta lucu seharga 20 riyal.
Museum Al-Wahyu
Setelah semua berkumpul, kami menuju parkiran bus dan berangkat ke Museum Al-Wahyu. Pukul 18.00 tiba, membayar tiket masuk 15 riyal per orang yang dikumpulkan di bus. Alhamdulillah, dapat bonus masuk gratis ke Museum Al-Qur’an sebelum masuk Museum Al-Wahyu.
Kami berbaris terpisah laki-laki dan perempuan. Di Museum Al-Qur’an, banyak koleksi mushaf abad ke-9, alat tulis mushaf, mushaf terbesar, hingga ribuan buku tentang Al-Qur’an. Bagian akhir museum menjual berbagai suvenir.
Menjelang Magrib, aku dan suami salat di masjid terdekat. Ternyata air wudunya hangat, tapi dalam masjid tetap sejuk.
Selesai salat, kami makan bakso unta di food court. Harganya 20 riyal seporsi, rasanya mirip bakso sapi. Pas bakso habis, waktunya masuk Museum Al-Wahyu.
Kami melewati empat ruangan: tayangan kisah Nabi Adam dan Nuh, kisah Nabi Musa dan Isa, teater besar tentang Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu di Gua Hira, lalu ruangan tentang Ibunda Khadijah dan koleksi mushaf. Ruangan terakhir menjual suvenir, tapi kami memilih langsung keluar.
Jemaah berkumpul, bus pulang menurunkan jemaah sektor lain dulu. Aku tertidur di bus, terbangun saat bus berhenti di Misfalah, depan hotel 1022. Jam 22.30 aku sampai di hotelku, masuk kamar dengan mata berat. Mengambil wudu, salat Isya, lalu menutup hari dengan syukur.
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas nikmat sehat hari ini. Engkau beri aku kekuatan beribadah dan membersihkan dosa-dosa dengan sakit yang tak bisa dihapus amalan lain. Bahagia menuntun tidurku malam ini.
(Anandyah RC, S.Psi.)