Menilik Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Salafusshalih.com-Menurut Islam, pernikahan merupakan perjanjian suci yang sangat kuat untuk terlaksananya sepasang kekasih hidup Bersama dengan bahagia, harmonis, dan saling mengasihi satu sama lain. Banyak sekali hikmah dan juga pelajaran yang didapatkan dalam pernikahan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang terjadi dalam kehidupan.
Dalam bahtera rumah tangga, sepasang kekasih yang telah melangsungkan pernikahan mempunyai andil dalam melahirkan bibit-bibit generasi yang baik untuk masa depan. Oleh karenanya, dalam Islam telah diatur tata cara memilih pasangan, diantaranya adalah sekufu, se-akidah, baik perangainya serta sepaham dan se-keyakinan. Lantas, bagaimana jadinya jika pernikahan dilangsungkan dengan sepasang mempelai yang beda agama?
Akhir-akhir ini jagad Nusantara dihebohkan dengan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Kota Surabaya yang memperbolehkan pernikahan beda agama. Hal ini sudah barang tentu menimbulkan kontroversial mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam. Mulai dari MUI, seorang Profesor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sampai pada kalangan santri di Tuban Jawa Timur juga ikut angkat suara.
Di Indonesia, perihal pernikahan beda agama telah diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang mana disebutkan bahwasannya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai keluarga (suami istri) dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Kemudian dalam pasal kedua disebutkan bahwasannya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Dalam Islam, aturan mengenai persoalan pernikahan merupakan hukum yang sangat disakralkan. Hal tersebut merujuk pada QS. Al-Baqarah ayat 21 yang menegaskan bahwasannya haram menjalin pernikahan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Kemudian dalam QS. AL-Mumtahanah ayat 10 yang mana mayoritas ulama menafsirkan bahwa wanita beriman tidak halal bagi laki-laki kafir.
Dalam ayat Al-Qur’an terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah/ash-Shabiin, al-Majus, dan al-Musyrikun.
Para ulama sepakat bahwa kandungan yang terdapat dalam ayat tersebut adalah mengandung larangan bagi seorang muslim ataupun muslimah menikah dengan orang non muslim. Sementara Imam Qurthubi menjelaskan bahwasannya orang tua dilarang menikahkan anak wanita muslimah dengan laki-laki musyrik. Meskipun terdapat sebagian kelompok yang tidak mengkategorikan ahlul kitab sebagai yang haram, namun ini tidak tentu bahwa wanita muslimah boleh menikahi laki-laki ahlul kitab.
Menurut Quraish Shihab, pemilihan pasangan adalah batu pertama pondasi bangunan dalam menjalani rumah tangga. Pondasi pertama harus kukuh, agar bangunan tersebut tidak roboh hanya dengan sedikit saja goncangan. Apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat. Menurutnya, pondasi yang kokoh adalah dengan bersandar pada iman kepada yang maha kuasa.
Mayoritas para ulama di Indonesia melarang adanya pernikahan muslim dengan non muslim, baik laki-laki muslim dengan perempuan non muslim ataupun sebaliknya. Hal ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umat Islam di Indonesia.
Tidak hanya Islam yang melarang adanya pernikahan beda agama, Khaeron Sirin dalam bukunya Perkawinan Madzhab Indonesia: Pergulatan Antara Negara, Agama, Dan Perempuan, menuliskan bahwa agama Katholik pada dasarnya juga menganggap tidak sah perkawinan antara orang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik. Begitu pula dengan agama Hindu., ia sangat melarang keras pernikahan beda agama Sedangkan agama Budha tidak melarang pernikahan beda agama, asalkan pelaksanaannya dilaksanakan berdasarkan adat upacara agama Budha.
Sedangkan dalam buku karya Karsayuda yang berjudul Perkawinan Beda Agama, dijelaskan bahwasannya agama Kristen/Protestan memperbolehkan pernikahan berbeda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-masing pengikutnya.
Selain itu, masalah krusial dalam pernikahan beda agama adalah mengenai tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam keluarga di hadapan yang maha kuasa baik bagi mereka yang beragama Islam ataupun non Islam. Jadi suatu pernikahan bukan hanya perihal cinta, namun harus bertujuan untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adanya aturan dan syari’at Allah yang lurus dan bijaksana itu jelas menuntun umat Islam untuk selalu menjaga kelangsungan kehidupan dalam berumah tangga dengan harmonis.
Melihat kultur budaya serta kondisi masyarakat di Indonesia, pernikahan beda agama sedikit banyak tetap akan menjadi polemik dikalangan masyarakat dan akan menimbulkan gesekan sosial masyarakat, karena pada hakikatnya pernikahan dianggap sebagai suatu hal yang suci dan sakral.
Oleh karenanya, kajian-kajian akademis menuntut kita untuk terus dapat memahami tentang persoalan-persoalan yang belakangan terjadi, sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku serta tetap mengedepankan sumber hukum Islam termasuk pada hal ihwal pernikahan beda agama.
Wallahu a’lam bish shawab.
(Athi’ ’Arofatul Faricha)