Mujadalah

Menjaga Kerukunan dan Memperkuat Identitas Bangsa Indonesia: Perjumpaan Agama dan Tradisi

Salafusshalih.com – Potret antropologi masyarakat (modern) Indonesia mutakhir terpasok dalam dua kutub. Pertama, penolakan terhadap tradisi oleh sebagian kelompok agama. Kedua menjunjung tinggi tradisi dan lokalitas yang telah ada sebagai representasi memperkuat identitas sebagai langkah menjadi manusia Indonesia.

Tragisnya, kutub pertama yang selalu menang. Penegasian tradisi lokalitas oleh sebagian kelompok agama terbukti dengan keberhasilannya membubarkan acara adat atau praktik tradisi yang dipadukan dengan nilai-nilai agama di beberapa daerah. Tak jarang pula kita melihat masyarakat adat ini dinafikan atas nama konsorsium perusahaan dan kestabilan negara.

Sebagai bukti, pada tahun 2018, sejumlah kelompok keagamaan mengeluarkan instruksi penolakan terhadap ritual sedekah laut di Bantul, Yogyakarta. Kelompok ini menilai ritual sedekah laut oleh masyarakat sebagai musyrik atau menduakan Tuhan. Kelompok agama ini kemudian merusak kursi dan tenda yang sudah dipersiapkan oleh panitia. Bahkan para pelaku juga menempel spanduk berbunyi “Kami menolak segala kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya”.

Kejadian yang hampir bersamaan, pembubaran terjadi di Cilacap dan Semeru. Di Cilacap kelompok agama ini membubarkan tradisi sedekah laut karena alasan musyrik dan dapat menyebabkan bencana. Mereka menuliskan banner bertuliskan: “Jangan larung sesaji karena bisa tsunami”, “Buat program wisata yang Allah tidak murka”, ”Rika sing gawe dosa aku melu cilaka” (kamu yang buat dosa aku ikut celaka), “Sedekah karena selain Allah mengundang azab lho”, “Maksiat Pangkal Laknat dan Melarat”, dan sebagainya.

Menurut kelompok ini, larung sesaji atau sedekah laut menyebabkan tsunami. Ritual larung sesaji yang dilakukan masyarakat muslim dianggap menyimpang dari agama Islam karena mencari berkah selain kepada Allah semata. Ini berbeda dengan pernyataan Sultan Hamengkubuwono X, yang juga Gubernur Yogyakarta. Menurut Sultan Yogyakarta, tradisi adalah sesuatu yang baik. “Namanya tradisi ya tradisi, jangan merasa benar sendiri, saling menghargai itu sesuatu yang baik,” ujarnya.

Penolakan Tradisi Merusak Kerukunan

Dalam berbagai versi hasil penelitian, pembubaran tradisi atau pertentangan antara agama dan tradisi lokal, merusak kerukunan masyarakat. Sebab, selama ini, Indonesia kokoh dan kuat berkat keragaman budaya, adat, bahasa, dan tradisinya yang saling menopang satu sama lain. Itulah mengapa Belanda gagal menghancurkan Indonesia karena kekuatan budayanya. Di mata Belanda, jika tradisi masyarakat Indonesia hancur, maka hancurlah pula negaranya.

 

Dalam lanskap teorinya, kerukunan sebuah negara atau bangsa (umat beragama) akan terbangun dan terpelihara dengan baik apabila gap/pemisah dalam bidang sosial-budaya dan agama semakin menyempit. Sebaliknya, kerukunan sebuah negara atau bangsa (umat beragama) akan rentan dan terganggu apabila jurang pemisah antar kelompok agama dalam aspek-aspek sosial dan budaya ini semakin lebar, termasuk jurang-jurang pemisah sosial baru yang akan muncul akibat krisis moral kebudayaan global saat ini.

Memperkuat Identitas Keagamaan di Indonesia

Karena inilah, para ulama dahulu kala membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori akidah untuk tetap eksis dalam kehidupan keagamaan masyarakat Islam.

Para ulama ini tidak serta-merta melihat tradisi lokal sebagai hal yang haram dan menakutkan sehingga perlu dibabat habis. Mereka bahkan melihat sebaliknya, yakni melihat banyak tradisi lokal Indonesia sangat bagus dan bernilai produktif sehingga dapat digunakan untuk mensyiarkan Islam. Misalnya tradisi Amolod (Maulid Nabi), Tellasan (Lebaran), dan tradisi lokal lain seperti Makani Bumi (Merawat Bumi).

Menurut saya, para ulama tidak membasmi tradisi ini karena mereka memiliki cross cultural understanding atau pemahaman lintas budaya yang baik terkait agama dan kekuatan budaya lokal. Agama dipandang sebagai produk langit dan budaya hasil dari produk bumi.

Agama tegas mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertikal). Sementara budaya memberi keduanya ruang gerak untuk mengembangkan cipta rasa, karsa dan karyanya (horizontal). Kendati itulah fungsi agama dan budaya hanyalah untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat adat/modern yang beradab dan berbudi luhur serta berperikemanusiaan. Gus Dur menyebutnya ini sebagai pribumisasi Islam (Gus Dur, 2010).

Dari apa yang telah disebutkan di atas, perjumpaan agama Islam dan tradisi lokal memperkuat kerukunan umat keagamaan di Indonesia. Karena itu, menjaga keseimbangan antara syariat dan budaya lokal menjadi hal yang penting dalam mempertahankan kekayaan budaya bangsa. Jika itu terus bisa dilestarikan, selain kita bisa memperkaya keberagaman budaya bangsa, kita juga telah bisa menjaga identitas keagamaan dan jati diri suatu masyarakat-negara-bangsa Indonesia.

(Agus Wedi)

Related Articles

Back to top button