Menyudahi Radikalisme dan Memaknai Toleransi Beragama
Salafusshalih.com – Pada akhir abad keenam Masehi, persisnya pada tahun 571 M, telah lahir seorang bayi yang kelak menginjak usia 40 tahun mengaku dirinya sebagai seorang Nabi (khatam al-anbiya’ wa al-mursalin), sebagai Nabi penutup yaitu Rasulullah Saw. Pada akhir keenam Masehi, di pelataran dunia sudah ada agama lain.
Di India sudah ada agama Hindu dan Buddha. Di bagian utara tempat Nabi lahir yang meliputi Madinah, Khaibar dan negeri-negeri Syam sudah tumbuh agama Kristen dan Yahudi. Bahkan di Nusantara sendiri sudah ada agama Hindu dan Buddha. Hingga akhirnya kelak menjadi agama besar dengan dua kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.
Islam hadir dengan satu penegasan. Al-Qur’an mengatakan:
اِنَّ هٰذَا لَفِى الصُّحُفِ الْاُوْلٰى صُحُفِ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى
Artinya: “Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’la [87]: 18-19).
Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad ini esensi dan ajarannya sudah ada pada kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam suhuf Nabi Ibarahim dan Musa As.
Rasulullah sendiri yang menegaskan:
انى بعثت بالحنيفية السمحة
Artinya: “Aku diutus Allah membawakan agama yang lurus lagi toleran.”
Rasulullah Saw. mewanti-wanti para utusan dan delegasi yang diutus ke berbagai daerah dan negeri untuk menyampaikan agama Islam supaya bersikap lemah-lembut.
بشروا ولا تنفروا ويسروا ولا تعسروا
Artinya: “Gembirakanlah mereka (dengan berita baik), janganlah kalian membentak-bentak. Permudahlah dan jangan kalian persukar.”
Karena Nabi hidup di dalam masyarakat yang plural, maka ajaran yang paling relevan untuk membangun kerukunan dan perdamaian adalah toleransi. Itu sebabnya, para ulama menyatakan:
واعلموا ان دينكم دين الرحمة والسمحة
Artinya: “Wahai umat manusia ketahuilah bahwa agama kalian adalah agama rahmah dan samah yang membawa toleransi di dalam kehidupan-kehidupan sosial.”
Ketika Nabi bergerak ke Madinah, saat itu di Madinah agama Yahudi sudah menjadi mayoritas. Karena Nabi menjadi kepala negara, maka Nabi membuat sebuah janji traktat politik sebanyak 47 pasal yang dikenal dengan Mitsaq Madinah. Salah satu ayatnya berbunyi:
ان يهودا بنى عوف امة مع المؤمنين. لليهودي دينهم وللمسلمين دينه
Artinya: “Bahwa Yahudi Bani Auf satu umat bersama dengan orang-orang yang beriman. Orang-orang Yahudi tunduk patuh pada agamanya dan orang-orang Islam juga tunduk patuh pada agamanya.”
Dengan demikian toleransi tidak menyentuh wilayah akidah keimanan, melainkan menyentuh sosial politik. Di dalam kehidupan sosial-politik dan ekonomi, Nabi sudah terbiasa berkomunikasi, berdagang, bahkan gadai dengan umat agama lain yaitu Yahudi. Tetapi, sekali lagi, menyangkut akidah memang tidak bisa ditukar-tambah. Al-Qur’an menegaskan:
لَـكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun [109]: 6).
Pertanyaannya adalah, lalu apa yang menjadi argumentasi Al-Qur’an bahwa kita diperbolehkan untuk berkomunikasi, bergaul dan berbisnis dengan umat di luar agama Islam? Allah Swt. berfirman:
لَا يَنْهٰٮكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْۤا اِلَيْهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8).
Itu sebabnya yang menjadi korban di Perang Uhud itu adalah pasukan umat Islam. Dan sebagian yang meninggal dari pasukan Islam itu adalah orang Yahudi yang bernama Mukhairiq, salah seorang dari kabilah Qainuqa’ dan pendeta Yahudi yang alim dan kaya raya.
Tak hanya itu, ia turun membela umat Islam ketika orang-orang Yahudi menentang dan melanggar Piagam Madinah. Adalah sebuah perjanjian bersama lintas iman, lintas suku, dan lintas kelompok di Madinah. Saking memihaknya, ia selalu berada di garda dan di barisan Rasulullah Saw. ketika terjadi peperangan antara kelompok umat Islam dengan kelompok Yahudi, maupun dengan kafir Quraisy Makkah.
Yang tidak kalah menariknya, sebelum berangkat perang, Mukhairiq sudah berwasiat, “Kalau saya nanti mati di medan Uhud, maka seluruh harta benda saya agar diberikan untuk kepentingan Islam dan umat Islam.” Dan benar, Mukhairiq meninggal di peperangan Uhud bersama umat Islam lain.
Lalu Ibnu Hisyam di dalam Sirah Nabawiyah menegaskan perkataan Nabi Saw. yang berbunyi:
مخيريق خير اليهودي
Artinya: “Mukhairiq adalah sebaik-sebaiknya orang Yahudi.”
Syahdan, bidang muamalah inilah menjadi ruang bagi kita semua untuk membangun kontrak-kontrak kesepakatan dengan siapa pun.
tu sebabnya, di Indonesia yang membuat Pancasila bukan hanya umat Islam, melainkan juga umat agama lain. Begitu juga yang membuat Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya umat Islam, tetapi juga ada umat agama-agama lain.
Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi bukan hanya oleh dan untuk umat Islam, Piagam Madinah dibuat antara Nabi dan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Makkah. Atas dasar ini Ibnu Abbas pernah mendengar perkataan Nabi ketika Nabi ditanya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Artinya: “Wahai Rasulullah agama apa yang dicintai oleh Allah. Nabi kemudian menegaskan bahwa agama yang dicintai Allah adalah agama yang lurus dengan membawakan ajaran toleransi.”
Umat Islam di Indonesia adalah umat yang mayoritas. Negara menjadi tegak, rukun dan damai karena salah satunya kontribusi besar umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Karena itu, umat Islam harus terus mempertahankan berdiri dan tegaknya NKRI karena ini adalah hasil kesepakatan bersama seluruh warga negara dan bangsa Indonesia.
Nabi menegaskan, “Setiap kontrak dan kerja sama yang buat oleh umat Islam dengan siapa pun, maka hal itu juga mengikat kepada umat Islam.”
Akhiran, sebuah kaidah yang sangat penting dalam masalah muamalah, masalah yang mengatur atau berhubungan dengan kehidupan manusia antara satu dengan yang lainnya. Kaidah tersebut berbunyi:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
Artinya: “Kaum Muslim tergantung pada syarat-syarat yang dibuat oleh mereka.” Artinya, ketika mereka sudah sepakat-menyepakati dengan suatu syarat, maka tidak boleh tidak, mereka harus menjalankan apa yang mereka telah sepakati. Mari arusutamakan toleransi dan lawan segala rupa radikalisme. Wallahu a’lam bisshawab.
(Salman Akif Faylasuf)