Mujadalah

Pandangan Islam Mengenai Perempuan Yang Mencari Nafkah

Salafusshalih.com. Belakangan ini di medsos terdapat isu yang seolah-olah mencari nafkah itu hanya kewajiban suami secara mutlak. Isu ini kemudian menjadi berita viral di kumparan.com setelah seorang istri yang mencurahkan keluh kesahnya dalam menjalani hubungan rumah tangga. Sebab, menjadi sosok yang mencari nafkah, ia mesti mengurus suami pengangguran yang kerjanya cuma mancing dan gantang burung.

Bagaimana pandangan Islam perihal perempuan memberi nafkah? Dalam pemahaman mainstream masyarakat, sudah maklum diketahui bahwa yang wajib memberi nafkah adalah seorang suami. Hal bisa berlandaskan firman Allah,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)

Dalam tafsir Mubadalah yang diusung oleh Faqihuddin Abdul Kodir, bahwa gagasan ayat di atas adalah berbicara mengenai tuntutan terhadap mereka yang memiliki keutamaan (fadhl) dan harta (nafaqah) untuk bertanggung jawab menopang mereka yang tidak mampu dan tidak memiliki harta.

Laki-laki disebutkan secara eksplisit karena kondisi riil saat ayat turun dan juga kondisi umum sampai saat ini, mereka memiliki harta dan mampu menafkahi. Tetapi, ayat ini, secara substansi, sesungguhnya menyasar siapa yang memiliki harta untuk menanggung anggota keluarga yang tidak memiliki harta.

Memaknai kata “al-rijalu” dalam ayat tersebut secara tidak eksklusif bagi para laki-laki sesungguhnya berlaku pada ayat-ayat lain. Seperti, kata “rijalun” sebagai orang-orang yang suka bersuci (QS. At-Taubah: 108), atau orang-orang yang komitmen untuk selalu zikir (QS. An-Nur: 37), dan orang-orang yang akan memperoleh sesuatu yang dijanjikan Allah Swt. (QS. Al-Ahzab: 23). Jika pun kata “rijalun” diartikan sebagai para laki-laki dalam ayat-ayat ini, maka ia hanya sebagai contoh, karena perempuan yang bersuci, suka berzikir, dan memperoleh janji Allah Swt. masuk dalam substansi ayat-ayat tersebut.

Pemaknaan ini untuk ketiga ayat tersebut diterima oleh para ulama klasik. Hanya perlu memberlakukan pemaknaan tersebut pada ayat tentang nafkah suami (QS. An-Nisa’: 34). Sehingga ayat ini juga menyasar dan menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang harus ikut bertanggung jawab jika memiliki kemampuan dan harta untuk menafkahi.

Pemahaman mainstream masyarakat juga seolah didukung oleh sabda Nabi Saw.,

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

Dari Abi Mas’ud Ra., dari nabi Muhammad Saw., yang bersabda, “Apabila seorang laki-laki menafkahkan (hartanya) kepada keluarganya dengan ikhlas, maka hal itu akan dicatat sebagai sedekah (berpahala).” (Shahih Bukhari, no. 55)

Hadis ini, sekalipun menggunakan struktur bahasa “laki-laki”, tetapi dengan perspektif Mubadalah, ia berlaku juga untuk perempuan yang bekerja dan memiliki harta, lalu menafkahkan hartanya untuk keluarganya, baik anak-anaknya, suaminya, atau anggota keluarga yang lain. Bekerja mencari nafkah secara prinsip dalam Islam adalah hak perempuan, sebagaimana juga hak laki-laki. Sehingga akan dicatat sebagai sedekah di jalan Allah Swt. yang dibalas dengan pahala dan surga.

Hal ini persis dengan yang dinyatakan oleh istri Abdullah bin Mas’ud yang bekerja mencari nafkah untuk suami dan anak-anak, dan bertannya kepada Rasulullah Saw. tentang pahala yang didapat dari kerja nafkahnya ini. Berikut hadisnya,

عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ وَكَانَتْ زَيْنَبُ تُنْفِقُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ وَأَيْتَامٍ فِي حَجْرِهَا قَالَ فَقَالَتْ لِعَبْدِ اللَّهِ سَلْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْكَ وَعَلَى أَيْتَامٍ فِي حَجْرِي مِنْ الصَّدَقَةِ فَقَالَ سَلِي أَنْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ عَلَى الْبَابِ حَاجَتُهَا مِثْلُ حَاجَتِي فَمَرَّ عَلَيْنَا بِلَالٌ فَقُلْنَا سَلْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَى زَوْجِي وَأَيْتَامٍ لِي فِي حَجْرِي وَقُلْنَا لَا تُخْبِرْ بِنَا فَدَخَلَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ مَنْ هُمَا قَالَ زَيْنَبُ قَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ قَالَ امْرَأَةُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

Zainab Ra., istri Abdullah bin Mas’ud Ra., berkata, “Ketika sedang berada di masjid, aku melihat nabi Muhammad Saw., dan beliau berkata ‘Sedekahlah walau dari perhiasan yang kalian miliki’”. Zainab adalah orang yang menafkahi Abdullah dan anak-anak yatim. Zainab berkata kepada Abdullah, “Tanyakan kepada Rasulullah Saw., apakah aku dapat pahala kalau menafkahimu dan anak-anak yatimku yang ada di pangkuanku?” Abdullah menjawab Zainab, “Kamu saja yang bertanya sendiri”. “Maka aku (Zainab) mendekat menemui Rasulullah Saw. Aku lihat ada seorang perempuan dari Anshar yang juga punya persoalan sama denganku berada di pintu. Lalu, aku lihat ada Bilal datang lewat. Kami (Zainab) berkata (kepada Bilal), ‘Tolong tanyakan kepada nabi Muhammad Saw., apakah aku akan dapat pahala jika menafkahi suamiku dan anak-anak yatim di pangkuanku, tapi jangan ceritakan tentang siapa kami.’ Bilal masuk dan menanyakan (seperti yang kam minta). Nabi Muhammad Saw., bertanya ‘Siapa mereka?’. Bilal menjawab, ‘Zainab’. Nabi Muhammad Saw., bertanya lagi, ‘Zainab yang mana?’. Dijawab, ‘Istri Abdullah’. Nabi kemudian menjawab, ‘Ya dia mendapatkan dua pahala, pahala nafkah kepada keluarga dan pahala sedekah’”. (Shahih Bukhari, 1498)

Teks hadis ini, secara gamblang, menceritakan mengenai seorang istri yang justru menopang ekonomi keluarga. Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa pekerjaan Zainab tersebut adalah home industri, membuat kerajinan tertentu di rumah dan menjualnya ke pasar. Artinya, ia menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap kecukupan ekonomi .

Peran ini, seperti ditegaskan oleh nabi Muhammad Saw. dalam teks hadis tersebut, diapresiasi oleh Islam secara baik. Laki-laki maupun perempuan sama sekali tidak dihalangi untuk ikut terlibat memastikan keluarga secara ekonomi tercukupi dan mandiri.

Oleh karena itu, sebaiknya dalam relasi pernikahan khususnya dalam ranah kontribusi nafkah itu selain harus dibuat kesepakatan secara proporsional sejak awal pernikahan juga mesti dikomunikasikan secara berkala dan saling terbuka agar tidak terjadi ketimpangan rasa tidak nyaman dalam suatu hubungan.

(As’ad Humam)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button