Mujadalah

Tanda Bekas Sujud: Hitam di Dahi atau Wajah Bercahaya di Akhirat?

Salafusshalih.com – Khalid Basalamah dalam sebuah video ditanya salah satu jamaahnya terkait tanda hitam di dahi: “Apakah Rasulullah memiliki tanda hitam didahinya? Apakah sahabat-sahabat beliau memiliki tanda hitam didahinya?”.

Ia menjawab bahwa hal ini sudah dijelaskan dalam surat al-Fath ayat terakhir (ayat 29) sebagai berikut:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَه اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖ

Artinya: “Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat.”

Khalid mengartikan pada wajah mereka terdapat tanda-tanda bekas sujud sebagi tanda hitam di dahi karena bagian wajah yang digunakan untuk sujud adalah dahi. Merujuk kepada awal ayat yakni Nabi Muhammad sebagai Rasulullah bersama para pengikutnya, ia berkesimpulan bahwa Nabi dan para sahabat mempunyai tanda hitam didahinya.

Khalid bisa saja mengambil kesimpulan demikian, namun jika membaca hadits riwayat Imam Baihaqi no. 3599, jelas Ibnu Umar mengatakan di dahinya tidak ada becak hitam karena beliau tidak melihat bercak hitam di dahi Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin:

أخبرَنا أبو محمدٍ جَناحُ بنُ نَذيرِ بنِ جَناحٍ المُحارِبِىُّ بالكوفَةَ، أخبرَنا أبو جَعفَرِ ابنُ دُحَيمٍ، حدَّثَنا أحمدُ بنُ حازِمٍ، أخبرَنا أبو نُعَيمٍ، حدَّثَنا العُمَرِىُّ، عن سالمٍ أبى النَّضرِ قالَ: جاءَ رجلٌ إلى ‌ابنِ ‌عمرَ فسَلَّمَ عليه قال: مَن أنتَ؟ قالَ: أنا حاضِنُكَ فُلانٌ. ورأى بَينَ عَينَيه سَجدَةً سَوداءَ فقالَ: ما هذا الأثَرُ بَينَ عَينَيكَ؟ فقَد صَحِبتُ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وأَبا بكرٍ وعُمَرَ وعُثمانَ رضي الله عنهم، فهَل تَرَى ههُنا مِن شَئٍ؟

Artinya: “Dari Salim Abi al-Nadhr berkata: seorang pria datang ke Ibnu Umr dan mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya: “kamu siapa ?” dia menajwab “aku anak asuhmu, fulan” Ibnu Umar melihat bekas sujud berwarna hitam di antara matanya, beliau mengatakan “apa bercak di antara kedua matamu ini?, aku telah bersama Rasulullah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, apakah kamu melihat ada sesuatu di sini (dahi Ibnu Umar)?”

Mungkin ia mengesampingkan tafsir-tafsir lain dari para ulama tentang tanda sujud dalam ayat tersebut. Ia secara implisit menjawab Nabi dan para sahabat mempunyai tanda hitam di dahinya karena terlalu lama dan terlalu sering bersujud. Padahal terjemahan Kemenag tahun 2019 saja sudah mencantumkan tanda kurung “bercahaya” sebagai tambahan penjelasan terhadap ayat itu.

Syekh Ibnu Jarir al-Tabari menyimpulkan perbedaan penafsiran para ulama tentang tanda sujud ini menjadi dua hal, yakni di dunia dengan akhlak dan kekhusyu’an dan di akhirat dengan cahaya yang memancar diwajah:

وأولى الأقوال في ذلك بالصواب أن يقال: إن الله تعالى ذكره أخبرنا أن سيما هؤلاء القوم الذين وصف صفتهم في وجوههم من أثر السجود، ولم يخصّ ذلك على وقت دون وقت. وإذ كان ذلك كذلك، فذلك على كلّ الأوقات، فكان سيماهم الذي كانوا يعرفون به في الدنيا أثر الإسلام، وذلك خشوعه وهديه وزهده وسمته، وآثار أداء فرائضه وتطوّعِه، وفي الآخرة ما أخبر أنهم يعرفون به، وذلك الغرّة في الوجه والتحجيل في الأيدي والأرجل من أثر الوضوء، وبياض الوجوه من أثر السجود.

Artinya: “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah Allah memberi tahu kita tentang tanda orang-orang yang mempunyai tanda sujud di wajahnya, dan tidak menentukan dari waktu ke waktu, andai ditentukan maka seharusnya setiap waktu. Maka tanda mereka yang bisa diketahui di dunia adalah pengaruh keislaman yakni kekhusyu’an, petunjuk, zuhud, kehormatan, dan pengaruh melaksankan kefardhuan dan kesunnahan. Sedangkan di akhirat dengan cahaya yang memancar di wajah, tangan dan kaki mereka karena pengaruh wudhu dan bersihnya wajah dari pengaruh sujud.” (Jamiul Bayan an Ta’wilil Qur’an, [Makkah Mukarramah, Dar Tarbiyah wal Turats], juz 22, hal. 261.).

Kesimpulan pendapat itu dirangkum oleh al-Tabari dari beberapa riwayat penafsiran ulama sebelumnya yang kesemuanya identik menafsirkan tanda itu dengan karakter keislaman untuk yang menafsirkan sebagai tanda di dunia dan wajah yang bercahaya untuk yang mengartikan sebagai tanda di akhirat.

Imam Tabari memang mengutip sebagian penafsiran ulama yang menafsirkan dengan noda hitam di dahi, meskipun menurut beliau di kesimpulannya, tanda itu tidak dikutip sama sekali. Ia lebih mengutip tanda karakter seorang Muslim yang baik:

عن مجاهد، في قوله (سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) قال: هو الخشوع، فقلت: هو أثر السجود، فقال: إنه يكون بين عينيه مثل ركبة العنز وهو كما شاء الله. وقال آخرون: ذلك أثر يكون في وجوه المصلين، مثل أثر السهر، الذي يظهر في الوجه مثل الكلف والتهيج والصفرة، وأشبه ذلك مما يظهره السهر والتعب في الوجه، ووجهوا التأويل في ذلك إلى أنه سيما في الدنيا.

Artinya: “Imam Mujahid mengatakan tanda sujud yang dimaksud ayat 29 surat al-Fath adalah khusyu’, di antara kedua matanya terdapat bercak seperti telapak kaki kambing, dan itu sebagaimana yang dikehendaki Allah. Ulama lain mengartikan sebagai tanda di wajah orang sholat seperti pengaruh kantuk yang ada di wajah seperti raut kehitaman, kegelisahan, dan kekuningan dan yang lainnya yang timbul dari rasa kantuk dan lelah di wajah, menurut mereka ini adalah tanda di dunia.”

Namun perlu digaris bawahi, ternyata penafsiran seperti ini banyak ditentang oleh para ulama. Di antaranya adalah Syekh Ahmad bin Ibrahim al-Tsa’labi yang mengutip Imam Manshur bin al-Mu’tamir yang mendebat Imam Mujahid. Berikut kutipannya:

وقال منصور: سألت مجاهدًا عن قوله: {سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ}، أهو الأثر يكون بين عينيّ الرجل؟ قال: لا ربّما يكون بين عينيّ الرجل، مثل ركبة العنز، وهو أقسى قلبًا من الحجارة، ولكنّه نور في وجوههم من الخشوع

Artinya: “Manshur mengatakan: aku bertanya kepada Mujahid tentang tanda sujud apakah itu bercak yang ada di antara kedua mata seseorang?, Mujahid menjawab: tidak, terkadang ada tanda di antara kedua mata seseorang, sedangkan dia lebih keras kepala dari pada batu, tanda itu adalah cahaya di wajah mereka karena kekhusyu’an.” (Al-Kasyf wal Bayan an Tafsiril Qur’an, [Jeddah: Darul Tafsir, 2015], juz 24, hal. 314.).

Pernyataan Imam Mujahid tersebut membantah kutipan yang mengatas namakan beliau tentang tanda sujud sebagai bercak hitam di dahi. Secara akal sehat, tanda-tanda tubuh sama sekali tidak merepresentasikan Muslim yang baik. Bisa saja tanda itu dibuat dan disengaja adanya, sedangkan isi hatinya bertolak belakang dengan apa yang seharusnya menjadi karakteristiknya sebagai Muslim dengan kriteria paripurna.

Imam Suyuthi mengutip riwayat al-Tabarani dan al-Baihaqi tentang komentar Saib bin Zaid ketika bertemu orang yang didahinya terdapat bekas sujud. Berikut kutipannya:

وَأخرج الطَّبَرَانِيّ وَالْبَيْهَقِيّ فِي سنَنه عَن حميد بن عبد الرَّحْمَن قَالَ: كنت عِنْد السَّائِب بن يزِيد ‌إِذْ ‌جَاءَ ‌رجل ‌فِي ‌وَجهه أثر السُّجُود فَقَالَ: لقد أفسد هَذَا وَجهه أما وَالله مَا هِيَ السيما الَّتِي سمّى الله وَلَقَد صليت على وَجْهي مُنْذُ ثَمَانِينَ سنة مَا أثّر السُّجُود بَين عينيّ

Artinya: “Dari Hamid bin Abdurrahman berkata: suatu ketika aku bersama Saib bin Zaid bertemu orang yang dahinya terdapat bekas sujud, Saib berkata: dia telah merusak wajahnya, demi Allah itu bukan tanda yang Allah maksud, aku telah sholat sejak 80 tahun dan tidak ada tanda itu di antara mataku.” (Al-Durrul Mantsur, [Beirut: Darul Fikr, 2011], juz 7, hal. 543.).

Syekh Burhanuddin Ibrahim al-Baqa’i menekankan bahwa ini bukan merupakan tanda dahi yang sengaja dibuat untuk validasi diri sebagaimana catatan beliau berikut:

ولا يظن أن من السيما ما يصنعه بعض المرائين من هيئة أثر سجود في جبهته، فإذا ذلك من سيما الخوارج، -الى أن قال- وقد روى صاحب الفردوس عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «إني لأبغض الرجل وأكرهه إذا رأيت بين عينيه أثر السجود

Artinya: “Jangan kira salah satu dari tanda sujud adalah yang dibuat oleh sebagian para pencari validasi diri di dahi mereka, sebab itu adalah tanda dari sekte Khawarij. Penulis kitab al-Firdaus telah meriwayatkan dari Anas bn Malik Nabi bersabda “Aku sangat benci melihat pria yang di antara kedua matanya bekas sujud.” (Nadzm al-Durar fi Tanasubil Ayat wal Suwar, [Hedarabad: Dar al-Ma’arif al-Utsmaniyah, 1969], juz 18, hal. 341.).

Syekh al-Khatib al-Syirbini mengutip sebagian ulama terdahulu tentang sebuah satire terkait bercak hitam di dahi ini sebagai berikut:

كنا نصلي فلا يرى بين أعيننا شيء ونرى أحدنا الآن يصلي فيرى بين عينيه ركبة البعير فلا ندري أثقلت الرؤوس أم خشنت الأرض

Artinya: “Kami sudah lama sholat dan kami tidak melihat ada sesuatu di antara mata kami, kami melihat orang sekarang sholat di antara mata terdapat seperti jejak kaki unta, kami tidak tahu apakah kepala mereka lebih berat atau tanahnya yang kasar.” (al-Sirajul Munir, [Kairo: al-Amiriyah], juz 4, hal. 58.).

Namun, fenomena tanda hitam di dahi ini tidak bisa serta merta diklaim sebagai sebuah hal yang negatif. Poin pentingnya adalah ketika itu dijadikan sebagai penafsiran tanda sujud dalam surat al-Fath ayat 29 tentunya sangat problematik dan banyak mengalami resistensi dari para penafsir baik era awal maupun pertengahan.

Tidak memungkiri banyak orang yang tanpa sengaja muncul bercak hitam didahinya sebab memang kulitnya yang tipis dan mudah terluka sedangkan dia sama sekali tidak merencanakan atau bahkan menginginkan hal itu.

Sebagaimana catatan pembanding dari Syekh Ibnu Asyur berikut:

وليس المراد أنهم يتكلفون حدوث ذلك في وجوههم ولكنه يحصل من غير قصد بسبب تكرر مباشرة الجبهة للأرض وبشرات الناس مختلفة في التأثر بذلك فلا حرج على من حصل له ذلك إذا لم يتكلفه ولم يقصد به رياء.

Artinya: Bukan maksud mereka berupaya memunculkan tanda itu diwajahnya, hanya saja tanda itu muncul tanpa sengaja sebab terlalu sering adanya interaksi dahi dengan lantai, dan juga kulit manusia berbeda-beda untuk menahan tanda itu, maka bukan masalah bagi orang yang bertanda hitam di dahinya jika dia tidak menyengaja dan tidak bertujuan untuk pamer dan validasi diri.” (Al-Tahrir wal Tanwir, [Tunisia: Dar Tunisia, 1984], juz 26, hal. 206.).

Memang benar, para pakar tafsir berbeda pendapat terkait makna tanda sujud dalam surat al-Fath ayat 29. Namun mengkhususkan tanda itu sebagai bercak hitam di dahi apalagi mengatakan bahwa Nabi dan para sahabat mempunyai tanda itu tentunya hal ini merupakan sebuah klaim yang resisten. Terlebih, Ibnu Umar menyebut bahwa beliau tidak pernah melihat tanda hitam itu di dahi Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin.

(Muh. Fiqih Shofiyul Am)

Related Articles

Back to top button