Abad Ke-2 NU dan Tugas-Tugas Keumatan Yang Belum Selesai
Salafusshalih.com – Semarak perayaan Harlah 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU) berlangsung sukses di Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (7/2) kemarin. Rombongan jemaah dari pelbagai daerah datang dengan gembira. Sosial media penuh dengan ucapan selamat. Lantunan selawat Asghil berhasil menggetar hati para hadirin. Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin, juga sejumlah menteri, hadir. Jam’iyah yang didirikan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, hari ini, sudah memasuki abad kedua.
Tidak ada yang perlu diragukan dari NU. Perannya memperjuangkan kemerdekaan, kiprahnya menjaga bangsa dan agama, terekam jelas. Sekali lagi, jam’iyah yang didirikan para ulama ini menjadi benteng NKRI—selain Muhammadiyah, tentunya. Tidak hanya dalam kebangsaan dan kenegaraan, kiprah NU untuk peradaban Islam dunia juga perlu diperhitungkan. Islam wasatiah, contohnya. Eksistensi NU benar-benar demi keumatan; dalam beragama, berbangsa, dan bernegara.
Sungguhpun demikian, untuk mengatakan bahwa tugas NU sudah selesai, telaah serius diperlukan. Ada sejumlah aspek yang mesti didiskusikan, sebagai refleksi dan evaluasi bersama. Kesadaran demikian jelas diperlukan. Sebagaimana diungkapkan Ketua PP Muhammadiyah KH. Haedar Nashir, mengatakan realitas sebenarnya dan berusaha memperbaiki yang perlu, adalah bukti kedewasaan. Maka pada usia yang tidak lagi muda, satu abad lebih, para nahdliyyin mesti refleksi diri.
Paling sedikit ada dua hal yang penting diperhatikan NU ke depan dalam kaitannya dengan tugas-tugas keumatan. Pertama, keagamaan. Aspek keagamaan dalam NU boleh jadi sudah selesai untuk dibahas, jika keperluannya untuk kalangan sendiri. Prinsip tawassuth, tasamuh, dan tawazun, merupakan manifestasi keberislaman yang ideal. Namun, jika keperluannya tentang bagaimana aspek keagamaan NU diserap oleh, dan berjuang untuk, pihak luar, ada tantangan yang perlu dipecahkan.
Kedua, politik. Gejolak terbesar dalam struktur internal pengurus NU ini mesti segera dicari solusinya. Sebab, ia berkaitan dengan marwah NU di satu sisi, dan dengan agenda-agenda keumatan NU di sisi lainnya. Amat disayangkan, umpamanya, ada gesekan kepentingan politik elektoral-pragmatis yang menggerogoti NU. Apalagi jika terjadi saling menyikut antar-nahdliyyin. Politik NU harus demi kepentingan umat. Jika tidak, maka ia sudah jelas keluar khitah.
Tantangan Keagamaan
Dahulu, ketika Wahabisme di Arab Saudi hendak melakukan tindakan lancang yang merusak khazanah Islam, para kiai NU segera membentuk Komite Hijaz. Tugasnya, mempertahankan khazanah Islam yang hendak dihancurkan Wahabi. Delegasi NU di Arab Saudi, dengan izin Allah, berhasil memengaruhi kebijakan. Para kiai, atas nama NU, berjasa besar untuk melindungi Islam dan khazanahnya dari tangan-tangan lancang Wahabi. Hari ini, tantangan keagamaan ini kembali terjadi.
Sangat logis bahkan untuk dikatakan, tantangannya lebih besar hari ini. Jika dahulu Komite Hijaz berupaya memerangi Wahabi di Arab Saudi, kini NU harus memerangi Wahabi di NKRI sendiri. Wahabisasi yang merebak di negara ini kian tidak terbendung. Bahkan Madura, yang sejak dahulu dikenal paling NU, kini sudah dirasuki Wahabi. Beberapa hari lalu, ustaz Wahabi membuat ulah: mengharamkan Maulid Nabi dengan mengatasnamakan Kiai Hasyim Asy’ari.
Itu adalah penghinaan terhadap NU, yakni mengeksploitasi pendiri NU untuk memasukkan ajaran Wahabi. Memang, tidak lama, unjuk rasa terjadi—yang dilakukan para santri dan terutama GP Ansor dan Banser Pamekasan. Namun, apakah cara-cara paramiliter semacam itu akan menyelesaikan inti masalah? Tidak. Hanya meredam sementara. Bisa dilihat ke depan, jika tidak ada langkah lanjut, Pamekasan yang NU tulen akan menjadi sarang Wahabisme.
Pendekatan militeristik bukan cara yang tepat. Justru, orang-orang Wahabi akan semakin yakin merasa benar, dan jemaahnya akan semakin banyak. Perlu langkah cerdas seperti yang Komite Hijaz pernah lakukan, karena paham keagamaan Wahabi sangat berbahaya untuk kerukunan di NKRI. Tantangan keagamaan ini harus segera dicari solusinya. NU mesti tampil ke garda terdepan, membentuk badan khusus untuk menanggulangi maraknya Wahabisasi.
Selain itu, untuk mencegat pandangan negatif, NU juga mesti hadir untuk mencegah liberalisme pemikiran. Ini sering menjadi titik serang mereka yang anti-NU. Maka, perlu ada intelektual yang berani untuk memasyarakatkan wasatiah Islam agar NU tidak dilabeli pro-kanan atau pro-kiri. Sekalipun tidak mudah untuk menjawab tantangan-tantangan keagamaan tersebut, NU harus tetap dalam khitah mencerdaskan umat untuk membangun peradaban Islam.
Tantangan Politik
Selain keagamaan, politik juga menjadi tantangan bagi NU. Konstelasi politik menuju Pemilu 2024 juga menyeret NU ke kubangan narasi-narasi negatif baik dari eksternal maupun internal NU itu sendiri. Di kalangan eksternal, umpamanya, ada narasi yang cukup menyudutkan mengenai ucapan Ketua Umum bahwa NU tidak berpolitik praktis dan mengimbau para nahdliyyin untuk tidak membawa NU ke dalam politik praktis namun pada saat yang sama, Gus Yahya merangkul erat politikus.
Sementara di kalangan internal, pecah kongsi antara Ketua Umum PBNU dengan Ketua Umum PKB—yang alasannya sangat politis—telah berdampak serius ke tataran kepengurusan NU. Ketidakakuran Gus Yahya dengan Gus Muhaimin bahkan berlanjut pada aksi saling sindir satu sama lain, sampai muncul jargon “sak karepmu”. Keadaan di dalam kepengurusan NU, dari segi politik, harus diakui sekalipun berat diungkapkan, sangat wajib untuk diperbaiki. Ini yang belum selesai.
Contoh lainnya, polemik PWNU Jawa Timur dengan PBNU. Semua adalah tantangan politik yang membutuhkan solusi segera. Candaan umum “tiba-tiba NU” juga merepresentasikan kondisi politik NU yang masih jauh dari kata ideal; tidak stabil; terlalu banyak kepentingan elektoral; bahkan belum dapat menjadi kiblat politik umat. Dalam politik, NU tidak mesti ambil jarak dari kekuasaan. Yang terpenting adalah bagaimana jam’iyah warisan masyayikh ini tidak jadi kendaraan politikus semata.
Tantangan politik adalah persoalan integritas. Jika antar-nahdliyyin tidak akur dan saling berkubu-kubu: kubu Gus Yahya atau kubu Gus Muhaimin, orang luar akan risih dan akan menuduh NU sebagai organisasi yang buruk. Meskipun yang patut disalahkan adalah para pengurusnya, NU sendiri sebagai organisasi juga kena getah. Ketika integritasnya anjlok, maka narasi keagamaan apa pun akan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat hanya karena tidak percaya orang-orang di dalamnya.
Sesuai misi ideal, NU harus kembali para politik keumatan: politik yang memperjuangan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Hanya dengan cara itu, pada abad kedua ini, NU akan benar-benar bisa merawat jagat dan membangun peradaban. Di tataran keagamaan, NU menjadi tonggak penengah melalui wasatiah. Di tataran politik, NU menjadi tonggak kemaslahatan umat. Maka, para nahdliyyin mesti sadar diri dan berbenah, sebelum dapat kualat para masyayikh karena kelancangan mereka.
Konklusi
Apakah selain keagamaan dan politik, NU masih mempunyai tugas keumatan lain yang belum beres? Iya. Jelas. Tantangan ekonomi. Di awal-awal kepengurusan Gus Yahya, ada narasi populer tentang kemandirian NU. Dibentuklah kemudian, salah satunya, Koin NU, yang visi-misinya adalah menjadikan NU mandiri di bidang ekonomi. Tapi, apakah itu sukses? Sangat laik dipertanyakan. Sebagaimana puluhan juta nahdliyyin, keesejahteraan ekonomi NU masih jauh dari cukup.
Meski pahit harus diakui, dalam hal filantropi, NU tertinggal jauh dengan Muhammadiyah. Atau, bandingkan saja antara Koin NU dengan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari kelompok sebelah, NU tetap saja kalah. Ini jelas menjadi tantangan tersendiri. NU harus berdikari. Kuncinya adalah profesionalitas. Para nahdliyyin harus sejahtera oleh ekonomi keumatan NU. Tidak semestinya organisasi sebesar NU bergantung pada donasi bandar politik, kecuali ingin jadi sarang kepentingan.
Pada abad kedua, intinya, NU harus berbenah dari segala aspek. NU didirikan para kiai untuk umat, maka ia harus tetap berada di khitah menciptakan kemaslahatan umat Islam. Kuncinya ada di tangan para nahdliyyin; terutama sosok-sosok yang ada di struktur kepengurusan daerah hingga pusat. Harus amanah, harus berniat demi umat. Tidak laik saling sikut, tidak semestinya bermusuhan antar-nahdliyyin. Bagaimana hendak mengabdi pada umat, jika politik kepentingan di atas segalanya?
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
(Ahmad Khoiri)