Apakah Membuang Sesajen Adalah Bentuk Lemahnya Akidah?
Salafusshalih.com. Dua hari ini ada video viral. Di dalam video tersebut memperlihatkan seorang pria berkumpuk dan memakai rompi, layaknya modelan ormas radikal. Pria itu menunjuk ke sesajen sambil berakata: “ini yang membuat murka Allah. Jarang disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya. Allahu Akbar,” ucap pria tersebut. Kemudian pria itu menendang sesajen di atas bongkahan tanah hingga jatuh hancur berkeping-keping ke dalam jurang.
Perlu diketahui, pasca letusnya awan panas Gunung Semeru (4 Desember 2021), masyarakat Lumajang sering melalukan doa bersama, tolak bala, dll. Seperti kebiasaan budaya lokal, termasuk pada masyarakat Lumajang, tiap pembacaan doa atau tolak bala, tersaji makanan yang disebut rasol, atau sesajen. Pada saat acara dimulai, sesajen tersebut biasanya diletakkan di depan kiai (pemandu doa), dan setelah selesai acara, sesajen tersebut barulah ditempatkan di beberapa titik.
Sesajen dalam Literatur Islam
Maksud penenpatan sesajen di beberapa titik, masing-masing masyarakat mempunyai alasan yang kuat. Ada yang untuk memberikan makanan kepada alam sekitar: burung, hewan liar, dll. Ada pula yang murni dengan maksud lain. Sesajen di Lumajang sendiri, dilakukan dalam bentuk arahan dari beberapa tokoh atau ulama. Di mana tokoh dan ulama tersebut berangkat dari kandungan literatur Islam, termasuk kitab suci.
Di antara yang melatarbelakangi atau yang menjadi argumen mengapa ada sesajen dan boleh ditaruh di beberapa titik tempat, karena ada ayat atau kitab yang mengatakan bahwa hal itu diperbolehkan. Mengutip Kiai Ma’ruf Khozin, (10/1/2022) lewat facebooknya, banyak yang membolehkan ritual tersebut, seperti terkandung dalam Kitab Tuhfah Ibnu Hajar:
“Barangsiapa menyembelih hewan (atau makanan) sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menghindari petaka dari Jin, maka tidak haram. Jika bertujuan untuk Jin (bukan karena Allah), maka haram. Sebab sembelihannya menjadi bangkai. Bahkan jika bertujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada Jin, maka ia telah berbuat kufur.” (Syekh Abu Bakar Syatha, Ianat ath-Thalibin, 2/397).
Bahkan ada yang lebih spesifik menjelaskan bahwa memberikan makanan pada alam boleh dilakukan dan tidak mengandanung unsur haram dan syirik. Seperti dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli: “Apa yang terjadi saat ini dengan melempar roti ke laut untuk binatang laut dan ikan adalah tidak haram meskipun memiliki harga sebab hal itu termasuk sedekah kepada hewan.” (Nihayatul Muhtaj, 7/367).
Dalam pandangan hukum Islam sesajen tidak syirik apabila orang yang membuat itu yakin bahwa Allah lah yang dapat mencegah bahaya dan gangguan yang dilakukan jin. Namun apabila sesajen diniatkan untuk sesembahan pada jin itu haram. Bahkan jika seseorang berniat takarub dan mengabdi pada jin, maka tindakannya terbilang kufur, karena makanan atau hewan sembelihan tersebut dianggap sebagai bangkai dan mubazir.
Bagi yang Tidak Setuju
Namun demikin, masih banyak orang menganggap bahwa ritual pemberian sesajen adalah syirik-musyrik, dan karena itu mendatangkan azab dan murka Tuhan. Menurut mereka, ritual pemberian sesajen itu dianggap ritual mempersembahkan kepada makhuk halus yang dianggap sebagai penguasa tempat tertentu, di mana hal tersebut termasuk sebagai perbuatan menyekutukan Allah SWT dengan makhluk.
Mereka berpandangan pada kaidah-kaidah kunci Islam tapi mengartikan dengan sempit. Misalnya, mereka berargumen bahwa Ibadah seperti doa, takut, berharap, tawakal, cinta, dan segala bentuk ibadah haruslah ditujukan kepada Allah SWT semata, sebagaimana firman-Nya: “Janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman” (Ali Imran ayat 175). Dan cara yang lain tidak boleh, seperti cara-cara yang dilakukan para sufi dan ulama.
Bagi saya, tidak ada yang keliru antara yang setuju dan tidak. Tetapi menjadi keliru dan bermasalah jika “kebenaran pribadi” dipaksakan kepada yang lain, dan menuntut untuk diikuti dan dibenarkan. Karena, budaya di masing-masing tempat berbeda dengan budaya di tempat lainnya, termasuk bagaimana memandang agama. Dengan tersebut, bukan budaya yang dianut orang lain yang perlu diubah, melainkan cara pandang kita yang perlu diubah agar lebih saling menghargai sesama.
Bentuk Lemahnya Akidah
Lelaki yang dengan sengaja membuang bahkan cara membuangnya dengan tidak sopan yaitu dengan menendang makanan, sungguh menjadi masalah dan melukai hati banyak masyarakat. Cara keras seperti itu biasanya dimiliki oleh orang yang mempunyai ideologi keras. Ideologi keras ini dominan diajarkan oleh ormas yang selalu menganggap diri sendiri benar dan yang lain salah. Cara tersebut sebenarnya mengindikasikan bahwa ia sangat sempit dalam memandang agama dan budaya.
Dengan membuat sesajen apakah otomatis Allah murka (mengazab) pada orang Lumajang, sehingga Allah mengalirkan lahar Gunung Semeru secara terduga-duga, seperti yang dituduhkan pria yang menendang sesajen tersebut? Atau dengan membikin sesajen otomatis akidahnya orang dangkal, lemah dan butuh penghijraan? Tuduhan itu sudah total salah. Dalam literatur Islam, Allah tidak pernah murka dan memberikan azab kepada makhlukNya. Andaikan saja Allah murka mengazab makhukNya, niscaya manusia habis berkeping-keping di alam semesta ini. Tapi Allah tidak melakukan tersebut.
Azab adalah siksaan yang disesuaikan oleh beratnya perbuatan buruk seseorang. Maka itu, jika azab dipakai pada fenomena letusan Gunung Semeru apakah masuk akal? Tidak. Karena yang terdampak dari lahar Gunung Semeru bukanlah orang tidak beriman atau orang pembuat dosa. Melainkan banyak orang Islam dan beriman yang taat juga yang terkena dampaknya. Dari situlah tuduhan si penendang sesajen itu juga tidak tepat.
Membuat sesajen bukanlah bentuk dari lemahnya dan penyimpangan akidah. Tetapi takut pada sesajen dan apalagi membuang sesajen, justru itu bentuk kelemahan dan penyimpangan akidah yang sesungguhnya.
(Agus Wedi)