Ulul Amri

Nabi Muhammad, Moderasi, dan Idealisme Islam

Salafusshalih.com – Apa yang membedakan antara Islam dan agama sebelumnya adalah terletak pada karakter ajarannya yang moderat, menekankan keseimbangan dan menjaga keselarasan. Islam mengajarkan sikap dan tindakan yang seimbang dan tidak berlebihan. Kebaikan dalam Islam harus dilakukan secara proporsional. Bahkan kebaikan pun menjadi tidak baik, ketika dilakukan secara berlebihan.

Kenapa beragama secara moderat menjadi karakter dasar Islam? Ajaran Islam adalah agama yang lurus yang disesuaikan dengan fitrah manusia. Manusia adalah makluk berakal yang diciptakan Allah melebihi makhluk lainnya. Namun, manusia juga makhluk yang juga dipenuhi dengan nafsu. Antara nafsu dan akal harus berjalan secara seimbang.

Manusia memiliki badan dalam wujud fisik, tetapi manusia juga memiliki ruh (jiwa) dan mental yang bersifat abstrak. Keduanya pun harus berjalan secara seimbang. Seseorang yang menitikberatkan pada satu hal dan mengabaikan kepada yang lain adalah sikap berlebihan. Segala sikap berlebihan akan menimbulkan kerugian dan penyesalan, sekalipun dalam kebaikan.

Mari belajar dari Surat Al-Isra’ (17): 29 “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” Ayat ini menegaskan suatu prinsip keseimbangan. Sifat kikir walaupun dengan niat berhemat adalah sebuah keburukan. Begitu pula, berlebihan dalam kedermawanan juga jatuh dalam keborosan. Tuhan mengajarkan untuk menjaga keseimbangan antara sifat kikir dan dermawan.

Dalam surat lain masih memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam surat  Al-Furqan (25): 67″Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” Ayat ini memberikan pelajaran untuk menjaga keseimbangan antara kikir dan pemborosan dalam membelanjakan harta.

Sekalipun kedermawanan adalah sebuah kebaikan, tetapi dalam Islam, kebaikan pun tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Termasuk dalam urusan ibadah. Contoh ini banyak ditemukan dalam hadist-hadist Nabi. Bagaimana Nabi mengajarkan bahwa jiwa dan ruhani manusia mempunyai hak untuk berkomunikasi dengan Tuhan, tetapi badan manusia mempunyai hak untuk menikmati kebutuhannya.

Karena itulah, ada nasehat Sahabat Salman kepada Abu Darda’ yang dibenarkan oleh Rasulullah. Abu Darda terlihat tidak memperhatikan penampilan dirinya dan istrinya karena terlalu fokus beribadah kepada Allah. Sahabat Salman mengatakan dengan kalimat yang sangat mendalam : “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.”

Kata kunci dari pernyataan yang sangat mendalam ini adalah tentang pemenuhan hak yang seimbang. Sekalipun demi kebaikan seperti tidak tidur untuk selalu beribadah, tidak makan untuk selalu berpuasa, dan tidak memperhatikan keluarganya demi untuk beribadah, perbuatan demikian adalah tidak baik dalam Islam. Berlebihan dalam beribadah pun bukan bagian dari karakter dasar Islam.

Terkadang orang salah dalam memaknai kesalehan yang totalitas. Seolah beragama secara kaffah tidak menyediakan ruang sama sekali terhadap hak tubuh, keluarga, dan masyarakat. Seolah menjadi shaleh secara kaffah berarti totalitas hanya untuk beribadah kepada Tuhan.

Inilah yang pernah terjadi ketika tiga orang datang pada Nabi dengan mengatakan akan membaktikan diri dengan ibadah kepada Tuhan secara totalitas. Satu di antaranya mengatakan akan shalat malam selama-lamanya. Satu lagi berkata akan berpuasa seterusnya tanpa berbuka. Yang terakhir dengan semangat akan menjauhi perempuan demi hanya fokus kepada Tuhan.

Lalu, apa yang disabdakan Nabi ?  Rasulullah mengajarkan : Demi Allâh! Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”

Bersikap moderat dalam beribadah dan kehidupan sosial adalah bagian dari kebiasaan dan cara hidup Rasulullah. Sunnah Nabi adalah beragama secara moderat yang tidak berlebihan, sekalipun dalam urusan ibadah sekalipun. Sunnah Nabi adalah memenuhi hak Tuhan dan manusia, memenuhi hak jiwa dan tubuh, memenuhi hak agama dan keluarga.

Itulah karakter ajaran Islam dan sunnah yang dipraktekkan oleh Nabi.

 

(Farhan S.)

Related Articles

Back to top button