Tsaqofah

Pentingnya Pendidikan Untuk Menguatkan Pluralisme

Salafusshalih.com – Saya mengawali tulisan ini dengan mengutip firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujarat; 13. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kandungan ayat tersebut memberikan suatu informasi bahwa diciptakannya manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling kenal-mengenal (berinteraksi) antara satu dengan yang lainnya, demi menciptkan kebaikan dan kedamaian. Ayat tersebut membuktikan bahwa masing-masing bangsa dan suku dituntut untuk dapat menghargai perbedaan.

Selain dari itu, kita juga tentu tahu bahwa sifat dari manusia ialah ketergantungannya pada orang lain, hal ini menjadi sebuah keniscyaan bahwa manusia adalah mahluk sosial dengan konsensus satu-sama lain saling membutuhkan. Mereka tidak akan mampu hidup tanpa meminta pertologan dengan orang lain, baik dalam kondisi lemah ataupun tercukupi.

Dalam kondisi demikian kerukunan dan toleransi dalam kehidupan manusia menjadi titik awal terbentuknya kedamaian yang saling melengkapi, tidak terkecuali dalam perbedaan agama, dan hal ini menjadi kebutuhan sekaligus menjadi sebuah keniscayaan bagi kehidupan yang beragam.

Lantas bagaimana peran pendidikan dalam membentuk dan mengkokohan prulasime agama dalam kehidupan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu analisa lebih mendalam tentang hakikat pendidikan itu sendiri.

Hakikat pendidikan

Bagi semua akademsi, terkhusus yang konsen pada pendidikan pasti tahu pada sosok Winarno Surahmad, seorang guru besar kelahiran Ujungpandang 1930. Ia juga satu tokoh pendidikan di Indonesia, karya-karyanya tentang pendidkan telah banyak memberikan manfaat bagi perkembangan pendidikan Indoensia.

Dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan yang Mengindonesiakan” (2009) disebutkan, seharusnya sejak hari pertama kemerdekaan, pendidikan telah melaksanakan amanah Pancasila dan UUD 1945, di antaranya, dengan sadar dan berencana mengindonesiakan anak bangsa dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dari kutipan tersebut, kita dapat mencerna bahwa; Pertama, pelaksanaan pendidikan Indonesia telah diamanatkan oleh konstitusi negara dalam mewujudkan tujuan besar bangsa ini yaitu untuk mempersatukan bangsa agar beradab, berdamai dan sejahtera. Dengan adanya tujuan tersebut hakikat pendidikan Indonesia ialah menjunjung satu kesatuan di atas keberagaman suku, agama, bahasa dan adat istiadat.

Kedua, negara menghimbau bagi setiap warga negaranya untuk ikut serta memajukan kesejahteraan umum. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara harus ikut serta menciptkan kehidupan damai secara berdampingan tanpa adanya diskriminasi antar sesama.

Kita tahu bahwa negeri ini diberikan keunikan dibanding negeri lain, sehingga dari keunikan tersebut memberikan satu nuansa bagi kita untuk selalu menjunjung tinggi kesatuan umat. Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keragaman budaya yang begitu kaya, bahasa yang begitu berbeda, dan keragaman keimanan yang dimiliki oleh setiap warga negeranya, dan hal ini telah terjaga sampai ke-71 tahun kemerdekaannya.

Akan tetapi, selama 71 tahun kemerdekaan yang kita lalui bersama, ada hal yang tidak terantisipasi, yaitu ditemukannya semangat persatuan yang belum mantap dan terpatri dalam setiap hati warga negara, sehingga permasalahan tersebut menunjukkan bahwa eksistensi Indonesia masih belum kokoh secara penuh.

Mengapa demikian? Mungkin sebabnya adalah komitmen untuk bersatu yang masih lemah, dan lemahnya komitmen tersebut didukung dengan lemahnya pemahaman terhadap pendidikan yang belum terasa. Lebih dari itu pula, telah terjadi kesimpangan terhadap pemahaman agama yang disatukan dengan pemahaman bernegara. Sehingga tidak heran jika masih ada bentuk diskrimnasi yang dilatarbelakangi oleh suku bahkan agama sekalipun.

Yang lebih parah lagi ialah mudahnya masyarakat Indonesia yang terprovokasi oleh isu atau berita-berta yang belum tentu jelas kebenarannya. Maka, di sinilah proses pendidikan menjadi penting untuk digalangkan, tidak hanya pendidikan secara formal saja, melainkan pendidikan informal dan nonformal pun perlu untuk menjadi pemicu lahirnya generasi-generasi harapan bangsa. Tentunya dengan digalangkannya pemahaman untuk mepersatu umat yaitu dengan pendidkan multkultural dan pluralisme agama.

Pendidikan Multkultural dan Pluralisme Agama

Studi tentang pendidikan multkultural  dan pluralisme agama sejatinya bukanlah hal baru lagi, sehingga hal ini tidak asing untuk didengarkan bagi sebagian para pemerhati pendidikan dan budaya di Indonesia, akan tetapi saya yakin tidak semua masyarakat faham tentang apa itu pendidikan multikuktural dan pluralsime agama.

Multikultural (-isme) sendiri berasal dari sebuah paham yang menekannya kepada sebuah kesederajatan dan kesetaraan budaya dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya lain, sehingga dari sini muncul adanya pengakuan yang sama oleh salah satu budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sendiri pada dasarnya bersifat multikultural yang memlki jargon bineka tunggal ika. Sehingga tidak salah jika perumusan Pancasila khususnya pada sila pertama didasarkan pada ketuhanan yang maha esa dan tidak dikhususkan pada satu agama saja.

Jika ditelaah secara kebahasaan, multikultural terbentuk dari kata multi yang berartikan banyak/beragam, dan kultur berartikan budaya, sehingga dari kata tersebut menunjukkan bahwa multikultural ialah keragaman budaya yang dimliki oleh sekelompok masyarakat dalam kehidupan yang berdampingan.

Oleh sebab itu setiap komunitas dalam satu kehidupan memerlukan rasa aman dan dihargai. Hal ini merupakan salah satu bentuk kebutuhan yang dimiliki manusia dalam kehidupan, sebagaimana teori kebutuhan Abraham Maslow yang merumuskan enam kebutuhan manusia dalam kehidupannya, yaitu; kebutuhhan jiwa (psychological), kebutuhan rasa aman (safety), kebutuhan rasa cinta dan memilik (love and belonging), kebutuhan penghargaan diri (self-esteem), kebutuhan pengaktualisasian diri (self-actualization), dan kebutuuhan pengetahuan dan pemahaman (understanding and knowledge).

Penafian atas kebutuhan-kebutuhan tersebut akan memicu timbulnya konflik yang berkepanjangan dalam kehidupan, sehingga multkulutural adalah sebuah ideologi untuk menyatukan masyarakat sebagai manusia sosial yang hidup berdampingan dengan menghormat budaya lain.

Selain pendidikan multikultural, pluralisme agama menjadi wacana menarik untuk dikembangkan, karena ini adalah bagian dari kemajemukan masyarakat Indonesia sebagaimana penjelasan di atas.

Sejatinya yang terpenting dalam kajan pluralisme agama ini ialah bagaimana kita menciptakan rasa aman terhadap mereka yang berbeda keimanannya dalam melaksanakan kehidupan yang sosialis dan beribadah. Hal ini sebagaimana cuplikan ayat di permulaan tulisan ini.

Dan sejatnya “tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian diantara agama-agama, tidak ada perdamaian agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama, dan tidak ada dialog antar agama-agama tanpa pengetahuan yang akurat tentang satu sama lain.” Pernyataan ini penulis temukan dalam sebuah tulisan melampuai pluralisme.

Yang menarik dari pernyataan itu ialah kalimat akhir yang berbicara tentang “….tanpa pengetahuan yang akurat tentang satu sama lain”. Dari pernyataan ini jelas bahwa minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat menjadi keengganan mereka untuk membuka diri terhadap eksistensi keberagaman budaya dan agama yang ada di negeri ini.

Sehingga, yang terjadi ialah sifat eksklusivisme masyarakat yang berlebihan dan saling menjauhi, jika ini terus terjadi, Indonesia akan terancap rasa amannya, dan berubah menjadi lautan api kebencian.

Pendidikan dan solusi kehidupan

Pendidikan adalah langkah yang tepat untuk membangun perubahan dalam kehidupan, sehingga dari pendidikan lahirlah para revolusioner muda untuk bisa menciptakan perdaiaman dan keharmonisan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang multkultural ini. Dengan adanya pengetahuan mendalam, adanya landasan kesadaran diri lewat pendidikan serta digalangkannya kesadaran literasi (reading culture) akan mampu menjebatani terjadinya kerukunan antar agama dan budaya. Karena kedua sifat ini mampu meredam konfilk SARA yang begitu mengguncang negeri ini.

Pendidikan harus mampu menjadikan masyarakatnya menjadi manusiawi, yang faham dan mengerti akan potensinya (muhasabah), mengenal Allah (hablum minallah), dan dapat mengantarkan mereka menjadi manusia yang memandang manusia lain seperti dia memandang dirinya sendiri (hablum minan naas).

Selain itu pula, pendidikan mengajarkan kita perilaku yang benar dan mengajarkan sikap bagaimana memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dapat membentuk bangsa yang beradab, santun dan ramah, sebagaimana allah menurunkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam.

Dan yang terakhir, pendidikan harus mampu memengaruhi pola pikir manusia untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan menuju pribadi yang bermartabat dan bertanggung jawab. Semakin banyak manusia yang ingin belajar semakin mampu mereka berpikir kritis mengenai segala yang terjadi dalam kehidupan di sekitarnya.

(Saeful Anam)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button