Perempuan Terjebak Dalam Perkawinan Tidak Sehat

Salafusshalih.com – Dalam konteks hukum keluarga Indonesia, perkawinan seharusnya menjadi landasan yang kokoh bagi keharmonisan dan kebahagiaan keluarga.
Namun, fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan yang tetap berada dalam hubungan perkawinan yang berbahaya atau tidak sehat, yang mencakup kekerasan fisik, emosional, dan sosial.
Situasi ini menjadi persoalan yang serius, mengingat bahwa hukum keluarga di Indonesia seharusnya memberikan perlindungan maksimal kepada perempuan yang cenderung berada dalam posisi yang lebih rentan di dalam rumah tangga.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas sebab-sebab mengapa banyak perempuan Indonesia terjebak dalam hubungan perkawinan yang tidak sehat serta bagaimana hukum keluarga Indonesia dapat memberikan solusi bagi masalah ini.
Berbagai pendapat dari para ahli hukum yang berkompeten akan dikemukakan untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam perkawinan yang tidak sehat.
Ketidaksetaraan Hukum Dalam Perlindungan Perempuan
Salah satu penyebab utama perempuan terjebak dalam perkawinan yang tidak sehat adalah ketidaksetaraan kekuasaan dalam hubungan tersebut.
Dalam banyak kasus, perempuan sering berada dalam posisi subordinasi, baik secara emosional maupun finansial.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan idealnya diharapkan didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak jarang perempuan tidak memiliki kontrol penuh atas aspek-aspek kehidupan mereka, seperti keuangan atau keputusan besar lainnya dalam keluarga.
Menurut Dr. Purnawan Basundoro, pakar hukum keluarga, “Ketidakseimbangan dalam perkawinan sering kali diperburuk oleh budaya yang menganggap perempuan sebagai pihak yang harus mendahulukan keluarga, meskipun di sisi lain mereka sering kali menjadi korban dalam hubungan tersebut.”
Pandangan ini mengingatkan kita tentang pentingnya mengevaluasi kembali budaya yang masih ada di masyarakat, yang sering memperburuk posisi perempuan dalam perkawinan.
Selain ketidaksetaraan dalam pembagian kekuasaan, perempuan juga sering kali menghadapi hambatan dalam mengakses informasi hukum atau mendapatkan bantuan hukum yang memadai.
Meskipun hukum keluarga Indonesia telah mengatur mengenai perceraian dan hak-hak perempuan dalam perkawinan, implementasi hukum tersebut tidak selalu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada di daerah dengan tingkat pengetahuan hukum yang rendah atau dalam lingkungan yang konservatif.
Faktor Sosial dan Ekonomi yang Menjaga Perempuan Tetap Terjebak
Selain ketidaksetaraan dalam hubungan perkawinan, faktor sosial dan ekonomi juga menjadi alasan mengapa banyak perempuan tetap bertahan dalam perkawinan yang tidak sehat.
Ketergantungan finansial terhadap pasangan suami menjadi salah satu penyebab utama. Banyak perempuan yang tidak memiliki sumber pendapatan yang mandiri atau keterampilan yang memadai, sehingga mereka merasa terpaksa tetap tinggal dalam hubungan yang merugikan mereka secara fisik dan psikologis.
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa lebih dari 40% perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tidak melaporkan perbuatan tersebut karena alasan ekonomi.
Hal ini menunjukkan betapa besarnya peran ketergantungan ekonomi dalam membatasi kebebasan perempuan untuk mengakhiri hubungan yang tidak sehat.
Selain itu, banyak dari mereka yang merasa tidak punya pilihan lain, karena terperangkap dalam ketergantungan finansial yang sangat besar.
Selain masalah ekonomi, norma sosial yang berlaku juga memberikan tekanan yang cukup besar kepada perempuan.
Di banyak tempat, perceraian dianggap sebagai sesuatu yang tabu atau memalukan. Dalam budaya patriarkal, perceraian sering dipandang sebagai kegagalan, dan seorang perempuan yang bercerai seringkali dianggap tidak mampu menjaga keharmonisan keluarga.
Tekanan sosial ini membuat banyak perempuan merasa terisolasi dan takut untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami dalam rumah tangga.
Peran Hukum dalam Mengatasi Perkawinan yang Tidak Sehat
Agar masalah ini bisa ditangani dengan lebih baik, hukum keluarga Indonesia harus mampu memberikan perlindungan yang lebih tegas kepada perempuan yang terjebak dalam perkawinan yang tidak sehat.
Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan memberikan akses lebih mudah kepada perempuan untuk memperoleh bantuan hukum, mulai dari penyuluhan hukum hingga pendampingan hukum yang memadai.
Selain itu, perlu ada kebijakan yang jelas dan tegas dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang sering menjadi penyebab utama terjebaknya perempuan dalam perkawinan yang tidak sehat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah memberikan dasar hukum yang kuat untuk menangani kasus-kasus KDRT.
Namun, menurut Dr. Purnawan Basundoro, “Implementasi dari undang-undang ini masih sering terhambat oleh kurangnya pengetahuan di kalangan masyarakat dan aparat penegak hukum. Banyak perempuan yang tidak mengetahui hak-haknya, dan ini sering kali menghalangi mereka untuk mendapatkan perlindungan yang seharusnya mereka terima.”
Di samping itu, peran lembaga-lembaga sosial dan non-pemerintah juga sangat penting dalam membantu perempuan yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga dapat berperan sebagai pendamping yang memberikan perlindungan sementara, serta membantu perempuan mengakses layanan hukum yang mereka butuhkan.
Reformasi dan Solusi untuk Masalah Hukum Keluarga
Untuk mengatasi persoalan ini, pendekatan hukum yang lebih inklusif dan sensitif terhadap masalah gender sangat diperlukan.
Hukum keluarga Indonesia harus bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal bagi perempuan yang berada dalam perkawinan yang tidak sehat, baik dengan memperjelas hak-hak perceraian maupun dengan memberikan akses yang lebih besar kepada perempuan untuk melapor dan mendapatkan bantuan hukum.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan, yang akan memberi mereka kemandirian dalam mengambil keputusan dalam hidup mereka, termasuk dalam hubungan perkawinan.
Di samping itu, penting untuk memperbaiki sistem pendidikan hukum di Indonesia. Sosialisasi dan pendidikan tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan harus dilakukan sejak dini, baik di tingkat sekolah maupun masyarakat.
Hal ini akan meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan mengurangi stigma terhadap perceraian, sehingga perempuan dapat lebih leluasa mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka sendiri tanpa takut dihukum oleh masyarakat.
Kesimpulan
Perempuan Indonesia masih banyak yang terjebak dalam perkawinan yang tidak sehat, dan masalah ini mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, budaya, dan hukum.
Untuk mengatasinya, diperlukan langkah-langkah yang lebih holistik, seperti pemberdayaan ekonomi perempuan, perubahan norma sosial yang mendukung kesetaraan gender, serta peningkatan kesadaran hukum di masyarakat.
Di tingkat hukum, perlu ada upaya reformasi hukum keluarga yang lebih responsif terhadap kebutuhan perempuan, yang dapat menciptakan kondisi yang lebih aman dan adil dalam perkawinan, serta memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan perempuan di Indonesia dapat lebih terlindungi dari perkawinan yang tidak sehat dan memperoleh hak-haknya untuk hidup dengan aman, bebas, dan setara.
(R. Arif Mulyohadi)