Politik Identitas Yang Haram Untuk NKRI
Salafusshalih.com – Masih ingat pidato Presiden Jokowi saat perayaan HUT ke-77 RI bahwa politik identitas itu tidak boleh? Masih ingat dengan labelisasi Anies Baswedan sebagai bapak politik identitas karena rekam jejaknya pada Pilkada DKI 2017? Baru-baru ini, wacana politik identitas kembali muncul ke publik. Pasalnya, saat pembukaan Rakernas, Senin (13/2) kemarin, Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi menegaskan, partainya akan mengusung politik identitas Islam dalam menghadapi Pemilu 2024.
“Kami akan secara lantang mengatakan, ‘Ya, kami Partai Ummat, dan kami adalah politik identitas’. Kita akan jelaskan tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional. Ini adalah proyek besar sekularisme, yang menghendaki agama dipisah dari semua sendi kehidupan, termasuk politik. Sesungguhnya politik identitas adalah politik yang Pancasilais. Yang seharusnya dilarang di masjid bukanlah politik gagasan tapi politik provokasi. Keduanya sangat berbeda,” ujar Rahmadi.
Langsung saja pernyataan tersebut viral. Pasalnya, selama ini, politik identitas memiliki konotasi negatif. Kata “identitas”, dalam ingatan kolektif masyarakat, adalah soal perpecahan dan disintegrasi NKRI. Pada saat yang sama, Amien Rais, sebagai sosok kunci Partai Ummat, sudah dicap sebagai gelandangan politik—memiliki citra buruk dalam perpolitikan tanah air. Media sosial pun riuh. Bawaslu mengatakan akan segera menegur Partai Ummat tentang pernyataan kontroversial tersebut.
Sebenarnya apa politik identitas itu? Apakah ia berbahaya dan haram digunakan di NKRI? Dan apakah pemahaman masyarakat tentang politik identitas itu sudah benar? Tiga pertanyaan ini menarik untuk dibahas dengan tiga tujuan. Pertama, menyudahi riuh-riuh politik yang berpotensi menyebabkan polarisasi akibat wacana politik identitas. Kedua, mencerdaskan masyarakat tentang politik identitas itu sendiri. Ketiga, menjaga NKRI dari perpecahan dan permusuhan sesama.
Secara teoretis, politik identitas adalah politik yang mengedepankan kepentingan anggota suatu kelompok karena kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau agama. Politik identitas merupakan tidakan politis yang berupaya menyalurkan aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar primordialisme.
Politik identitas tercermin, dalam konteks etnis, melalui upaya memasukkan nilai-nilai etnisitas ke dalam peraturan, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendapatkan otonomi khusus, hingga munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan, politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukkan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, semisal Perda Syariah, atau menjadikan sebuah kota atau negara identik dengan agama tertentu.
Secara empiris, politik identitas senantiasa berkaitan dengan mayoritas-minoritas. Suatu kota atau bahkan negara direngkuh oleh kelompok mayoritas untuk dicondongkan pada etnis maupun agama tertentu. Karena di NKRI agama mayoritas adalah Islam, maka politik identitas selalu identik sebagai upaya mengislamisasi aspek-aspek tertentu di NKRI itu sendiri. Dan karena islamisasi di negara ini mengarah pada radikalisme dan wacana khilafah, politik identitas dianggap sebaga siasat mendirikan khilafah.
Dalam pengertian tersebut, politik identitas mengalami peyorasi serius. Istilah yang semula positif jadi negatif. Padahal, menurut analis politik Dedi Kurnia, pada dasarnya politik identitas tidak keliru dan dilakukan di banyak negara. Ada partai buruh yang anti-kapitalisme, partai kanan anti-komunisme, dan lainnya. Kelemahan di Indonesia, identitas politik digiring seolah buruk dan menjadi kampanye semata, sehingga banyak masyarakat yang tidak paham hakikat politik identitas itu sendiri.
Akibat salah paham tentang politik identitas, tidak sedikit yang mudah terpancing ketika berbicara tentang term tersebut. Karenanya, literasi politik merupakan salah satu hal mendesak, sehingga masyarakat tidak mudah terpancing oleh sesuatu yang tidak esensial. Jangan sampai berniat menghindari politik identitas, mereka malah jatuh pada politik provokasi. Dan yang perlu diluruskan juga, Islam bukan identitas yang buruk. Politik identitas yang haram di NKRI ialah yang mengatasnamakan Islam belaka.
Jadi ada perbedaan antara “Islam” dengan “atas nama Islam”. Di NKRI, politik yang mengedepankan nilai-nilai keislaman justru baik dan memang harus diperjuangkan—bukan dilawan. Yang haram dan harus ditentang adalah politik yang memanipulasi Islam; mengidentifikasi diri sebagai identitas Islam padahal sebenarnya tidak. Misalnya, politik yang mensupremasi agama tertentu dan mendiskreditkan yang lainnya. Itu haram di NKRI karena akan menyebabkan perpecahan nasiona.
Maka, kesimpulannya, politk identitas yang tidak boleh dilakukan adalah politik yang mencederai pilar-pilar kebangsaan—sebagian kaum intelektual menyebutnya sebagai politik populisme. Misalnya, Islam digunakan untuk menggaet massa, memobilisasi mereka pada agenda tertentu, yang dinarasikan atas nama Islam. Itu hukumnya haram. NKRI mesti dilindungi dari politik identitas yang semacam itu. Selain karena merugikan Islam, politik identitas harus dicegah karena merugikan negara.
(Redaksi)