Tekstualitas Agama dan Tiga Konsep Santri Dalam Melawan Radikalisme
Salafusshalih.com – Ada dua tantangan yang sedang berlangsung dalam tubuh santri. Pertama, bagaimana santri melihat genealogis proses reproduksi paham radikalisme di pusarannya dan bisa menangkalnya? Kedua, bagaimana mewujudkan cinta tanah air dalam sikap dan narasi damai? Pertanyaan ini penting diajukan untuk mengungkap dimensi psikologis dan strategi dalam susur galur gayutnya dunia keagamaan dan fenomena kesantrian mutakhir di Indonesia.
Susur Galur Radikalisme
Kalau kita akui secara jujur, sungguh kita telah menyaksikan agama selalu bersentuhan dengan kekerasan. Semua agama dalam sejarahnya pernah bergelimang kekerasan. Ini bisa kita lihat dari jejak awal munculnya firqah-firqah Islam seperti Khawarij (Siradjuddin Abbas, 2010).
Bahkan sekarang, dengan ditandai munculnya kelompok non- indigenous Islam Indonesia yang memandang perlunya “Islamisasi Indonesia” melalui jaringan transnasionalnya secara global sehingga menyebabkan ektremitas (Toto Suharto, dalam teks pidato pengukuhan guru besarnya, Remoderasi Pendidikan Islam Di Indonesia: Tantangan Ideologis (2020).
Dengannya, kekerasan tidak hanya bertumpu pada wujud wacana melainkan terjadi pergeseran dalam bentuk fisik atau sebaliknya. Sebagaimana kenyataan hari-hari ini pengkafiran lazim ditemui, hampir setiap hari. Misalanya, di fatwa-fatwa, ucapan khatib-khatib dan dai-dai, di pengajian-pengajian, di tulisan karya-karya, dan di media sosial dengan atas nama agama.
Kekerasan atas nama agama dan Tuhan, sasarannya tak hanya orang yang berbeda agama, melainkan orang-orang Islam sendiri yang berbeda keyakinan, aliran, pikiran, pilihan politik, ideologi, sistem negara, dan kewarganegaraan. Ia mengontruksikan pemahaman sesat dan ideologis yang salah bahkan bertentangan dengan Islam (Ahmad Saifuddin, 2017).
Tiga Konsep Melawan Radikalisme
Padahal seni perjalanan berislam harus menegaskan dan meletakkan kembali masalah-masalah krusial dan eksistensial dalam bernalar keberagamaan dan bernegara dengan karangka filosofis. Dan paradigma Islam harus ditegakkan secara moderat di tengah arus doktrin agamaisasi kekerasan. Konsep pertama, beragama adalah hak asasi manusia yang diberikan Tuhan, dan karena itu menjadi keniscayaan bahwa ajaran Islam membela hak asasi kemanusiaan.
Seseorang berhak memilih agama dengan dirinya sendiri (al-haqq al-lazim) dan juga berhak tidak memilih atas haknya sendiri. Sebab dalam konteks ini, orang lain diberi “taklif al-lazim”. Andai seseorang tidak menghormati hak orang lain dalam menentukan pilihannya dalam beragama, dia tidak hanya melanggar hak orang lain dalam beragama, tetapi juga melanggar “taklif al-lazim” sendiri dalam posisinya sebagai manusia. Bahkan ia juga melanggar kittahnya Islam.
Kedua, kelompok ekstremis dengan keinginan pemurnian Islam yang seringkali menganggap amaliyah kelompok lain sebagai bid’ah yang sesat, dan berpendapat bahwa Islam hanya berlandasan Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana doktrin HTI, Salafi, Wahabi dan simpatisan lainnya.
Maka kita, santri, perlu memberikan pencerahan atau kontra narasi damai dengannya. Baik lewat media sosial, surat kabar, dan lainnya. Misalnya memberitahukan bahwa Islam bukan hanya ada dan bisa didekati dengan Al-Qur’an dan Sunnah, melainkan masih ada banyak cara/dalil lain dan metode ijtihad misalkan ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, urf, dan epistem rigid lainnya.
Ketiga, serangkaian dinamika proses psikologis dari seorang yang menganut pola pikir ektrem-radikal yang ditandai dengan penghayatan kepada para ideolog seperti disebut di atas, atas masa keemasannya, membuat mereka ingin meniru pikiran, sikap dan kerja-kerja altruistiknya (dalam psikologi dikenal istilah imitasi).
Termasuk keinginan meniru Nabi Muhammad SAW dengan sikap sesuai dalil (jika tidak ada dalil, maka tidak perlu dilakukan) dan jargon dalam kembali ke Al-Qur’an dan Hadis (Yudian Wahyudi, 2007). Sehingga, imitasi pada Nabi Muhammad titik ini hanya sebatas meniru secara eksplisit, bukan implisit, estetikatis, dan otentik. Ketika jualan dakwahnya ditolak, mereka akan memainkan dengan bungkus isu/peran sebagai “korban yang terzalimi”. Dengan begitu masyarakat/media menaruh simpati.
Ikhtiar Terakhir
Maka, santri harus mengimbangi wacana itu dengan berbagai program dan konsep strategis secara koheren. Kalau kelompok ektrem membuat metode belajar beragama sepraktis mungkin dengan membuat software, DVD, tayangan Youtube, Tiktok, buku dan lain sebagainya, maka santri perlu memainkan peran juga di area sana, dengan konten-konten yang kotra narasi atau proyek moderasi Islam yang berlandasan (kearifan) kewarganegaraan. Anatomi, narasi, dan gerakan santri perlu melanjutkan perjuangan atau kalau perlu mereformasi apa yang telah dilakukan Kiai NU, Muhammadiyah dan para akademisnya.
Santri perlu melakukan perombakan besar dalam metode belajar dan melakukan perberdayaan atau penukangan masyarakat secara intelektual dan ekonomi sehingga tidak terpengaruh pada paham ekstrem atau melakukan ekstremisme. Serta bergerak menerapkan rehabilitasi dan intervensi psikologis terhadap pelaku ekstremitas terutama yang terkena kasus hukuman (eks napi teroris, seperti teman saya Reza, alumni ISIS Suriah).
Kendati agar mereka bisa bergabung kembali dengan masyarakat dalam menjalankan agama yang humanis dan turut serta membangun peradaban bangsa. Jika hal demikian dapat dilakukan, santri bukan cuma bisa protektif, tapi juga produktif dan bahkan developmental. Semoga bisa. Amin.
(Agus Wedi)