Bahasa Wahyu, Tafsir Surat An Najm

Salafusshalih.com – Bahasa wahyu dijelaskan dalam surat An-Najm. Surat ke 53 dalam Al-Quran. Terdiri 62 ayat. Golongan surat Makkiyah. Arti An-Najm adalah bintang. Disebut di awal ayat.
Surat ini menjelaskan wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW dijamin sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril.
Nabi Muhammad kemudian menyampaikannya ke dalam bahasa manusia dengan bahasa Arab karena wahyu itu memang untuk mengatur kehidupan manusia.
Bagaimana Nabi Muhammad mampu memahami bahasa wahyu? Karena Nabi Muhammad mendapatkan pengalaman ruhani sangat luar biasa di Gua Hira dan Isra Mikraj.
Nabi bertemu dengan wujud asli malaikat Jibril, memasuki alam malaikat ketika menjelajah dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa kemudian melesat naik ke Sidratul Muntaha, langit terjauh.
Orang-orang yang percaya kehidupan hanya di dunia ini saja, tak ada kehidupan di dimensi lain, berpikir pengalaman Nabi itu dianggap mimpi. Bahkan disebut khayalan. Halu, bahasa anak muda sekarang.
Allah menerangkan dalam surat An-Najm bahwa, Nabi Muhammad telah menerima bahasa wahyu sehingga pengalamannya dan apa yang dikatakan itu benar.
Apalagi faktanya Nabi Muhammad adalah pribadi yang dipercaya orang-orang Quraisy Mekah, sehingga mereka bersedia menitipkan modal dan barang kepadanya. Masyarakat memberi sebutan kepadanya: Al-Amin. Orang tepercaya.
Pada ayat kedua surat An-Najm disebutkan: kawanmu (Nabi Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru. Ayat ini bisa ditafsirkan Nabi tidak pernah belajar pemikiran sesat dari mana pun selama hidupnya.
Kata Dholla dalam ayat itu, dapat dimaknai sesat perbuatan. Sedangkan ghowaa boleh juga diartikan sesat pemikiran. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ(maa dholla shahibukum wa maa ghowaa).
Ayat ketiga, keempat dan kelima menegaskan, dan tidaklah yang diucapkan itu menurut hawa nafsunya. Melainkan dia menerima wahyu yang diwahyukan yang diajarkan dari makhluk yang sangat kuat fisik dan pikirannya yakni Jibril.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. (3)
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (4)
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ
yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat (Jibril) (5)
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (6)
Ketika Jibril menampakkan wujud aslinya, dia sebesar ufuk. Bayangkan besarnya memenuhi separo langit. Orang yang melihatnya pasti tercekam.
Dari wujud yang sangat besar itu lalu mengecil semakin mendekat kepada Nabi untuk menyampaikan wahyu seperti diterangkan pada ayat 7, 8, 9, 10.
Tiga Nilai
Pengalaman ruhani itu menjadi sumber pemikiran dan penglihatan Nabi Muhammad langsung dari langit. Bukan berasal dari perkataan orang, warisan pemikiran nenek moyang, atau olah kata pemikiran diri sendiri.
Karena Al-Quran itu wahyu maka isinya sangat luar biasa hebat. Dia mengandung tiga nilai sekaligus yaitu benar, baik, dan bagus.
Benar isinya, baik sesuai dengan etika, dan bagus susunan syairnya yang mengandung keindahan.
Oleh sebab itu jangan dibandingkan kehebatan Al-Quran dengan pemikiran manusia. Hanya orang-orang sekuler dan materialisme yang menuduh wahyu yang diterima Nabi Muhammad sebagai kebohongan atau karangan Nabi Muhammad sendiri.
Orang dengan memakai tafsir heurmenetika berdalih yang paham arti ayat Al-Quran hanyalah Allah sendiri. Itu sama saja mengatakan Nabi Muhammad tak paham bahasa wahyu.
(Sugeng Purwanto)