Dengan Kontekstualisasi Jihad, Siapa Musuh Kita Sebenarnya?
Salafusshalih.com – Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi menegasakan dalam kitabnya, Hikmatu at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, bahwa banyak orang menafsiri jihad dengan kewajiban umat Muslim untuk memerangi musuh yang tidak seiman, baik mereka menentang Muslim atau tidak.
Al-Jurjawi melanjutkan bahwa ini adalah dugaan semata yang salah dan menyimpang dari ajaran agama yang hanif. Untuk hal ini beliau memberi alasan bahwa Rasulullah tidak diutus untuk menumpahkan darah dan mengganggu ketenangan manusia. Tulisan ini berusaha meluruskan salah satu sub paham radikal; persoalan kewajiban jihad.
Selain melalui sindiran dari Syekh Ali di atas kami juga berusaha memaparkan analisis jihad, terlebih dalam konteks keindonesiaan.
Hal pertama yang perlu dipahami adalah spirit jihad, dulu, di samping untuk menegakkan agama Islam dan menyebarkannya ke berbagai wilayah, juga tidak terlepas dari persoalan politik kenegaraan. Bukan tanpa alasan, karena wilayah (negara) merupakan prasyarat bagi tegaknya syariat Islam.
Sementara itu teritori kekuasaan suatu wilayah dulu berdasarkan futuh (penaklukan). Maka tak heran jika nabi Muhammad baru diizinkan untuk melakukan perang ketika sudah hijrah ke Madinah (di saat umat Islam sudah punya teritori kekuasaan). Dari itu kemudian muncul status harbi. Hal ini untuk menentukan wilayah mana yang akan diserang.
Sinkronisasi Makna al-Harb dan Peradaban Kita
Jika merujuk pada sejarah Islam, di mana fikih yang salah satunya membahas jihad tercipta, akan mendapati dikotomi antara negara Islam (daru al-islam) dan negara perang (daru al-harb). Dikotomi ini yang kemudian mendasari fikih dalam kaitannya dengan iman seseorang sebagai identitas politik.
Istilah daru al-harb yang mereka buat untuk suatu wilayah digunakan untuk menentukan wilayah objek invasi. Masa ini dikenal sebagai peradaban imperium Islam yang berlangsung sejak masa kenabian sampai runtuhnya Turki Usmani.
Waktu terus berjalan, peradaban dunia pun dituntut untuk berkembang. Pada akhirnya, setelah runtuhnya peradaban tersebut lahirlah beberapa peradaban yang memperbarui tatanan hidup manusia; kolonialisme, nation state, global order dan global governance. Beberapa peradaban ini adalah sebentuk sistem pemerintahan negara, tatanan hidup manusia, dan paham berkebangsaan. Berikut uraian dua sistem yang sedang menghantui kita sekarang.
Global order adalah teori konspirasi yang menghipotesiskan dunia totaliter dengan tema bahwa elite kekuatan rahasia melalui agenda global mampu berkonspirasi untuk akhirnya menguasai dunia dengan satu pemerintahan dunia yang otoriter, pemerintahan yang akan menggeser negara-bangsa yang sedang berdaulat.
Selain itu, juga terdapat propaganda akan semua hal yang ideologinya memuji pembentukan tatanan dunia baru sebagai puncak dari kemajuan sejarah. Banyak tokoh sejarah dan kontemporer yang berpengaruh telah diduga menjadi bagian dari komplotan rahasia ini.
Operasi mereka berjalan melalui organisasi depan untuk mengatur peristiwa politik dan keuangan yang signifikan. Aksinya yaitu mulai dari menyebabkan krisis sistem hingga mendorong kebijakan kontroversial di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini sebagai langkah dalam plot berkelanjutan untuk mencapai dominasi dunia.
Sementara global governance adalah pemerintahan tanpa adanya hak kewenangan atas kedaulatan yang hubungannya melewati batas-batas nasional. Jadi, tata kelola global seolah-olah dipahami sebagai bentuk fungsi-fungsi internasional atas apa yang dikerjakan negara-negara secara nasional.
Unsur-unsur dalam tata kelola global meliputi international law (peraturan internasional), norms (norma-norma), intergovermental organizations (organisasi antarnegara), nongovermental organizations (organisasi nonpemerintah), international regimes (rezim internasional), ad hoc arrangements (pengaturan ad hoc), global converences (konferensi global), dan private governance (pemerintahan swasta).
Berbicara soal global governance berarti sedang membahas PBB, WTO, IMF, ILO, BIS, G20, konvensi Jenewa dan konvensi-konvensi internasional lainnya, Uni Eropa dan lain-lain. Sementara negara tidak memiliki peran sistem tata kelola global di peradaban ini (sekarang).
Dua model pemerintahan di atas adalah serangan yang sehalus-halusnya, oleh karenanya juga harus dilawan dengan cara yang sehalus-halusnya. Dari itu kemudian saya menawarkan salah satu makna al-harb—sebagai bentuk legitimasi atas aksi jihad—yang disampaikan oleh Suhail Husein dalam kitabnya, Diblumasiyyatu an-Nabi, yaitu sebuah konspirasi.
Jadi, jihad dengan perang bersenjata seperti pada masa imperium Islam sudah tidak bisa dipakai. Jihad kali ini adalah memerangi keangkuhan. Dalam hal inilah jihad dengan spiritnya yang baru; melestarikan stabilitas internasional, mampu mendapatkan relevansinya dengan zaman.
Dari itu, saya berani mengatakan bahwa musuh Islam yang sebenarnya bukan orang kafir, melainkan keangkuhan—keangkuhan yang mampu mendiami manusia secara umum, tanpa ada kaitan dengan identitas agama apa pun.
Terdapat tiga alasan untuk pernyataan ini. Pertama, mereka bukan hanya menyerang muslim, melainkan manusia secara global. Tentunya jika keangkuhan ini didasari oleh kufur dan disiasati oleh kafir, maka muslim adalah satu-satunya objek untuk hasrat keangkuhannya.
Dan nyatanya tidak begitu, melainkan non-muslim juga menjadi mangsa keangkuhan mereka. Untuk alasan memeranginya kami berpegangan pada prinsip al-Insaniyyatu qabla at-Tadayyun (kemanusiaan sebelum keberagamaan). Kedua, mereka tidak menyerang atas nama agama mereka, melainkan atas dorongan nafsu duniawi semata. Jelas, bahwa tidak semua orang kafir menuruti nafsu hewaninya.
Alasan untuk memeranginya kami perkuat dengan pernyataan nabi sepulang dari perang badar; “kita pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar”. Jihad besar yang nabi maksudkan adalah memerangi hawa nafsu. Ketiga, termasuk di antara anggota mafia tersebut adalah muslim. Alasan ini untuk melegitimasi bahwa bukan musuh kita bukanlah kelompok dengan identitas agama tertentu.
Kesimpulan
Tidak satu pun agama yang didapati mengajarkan kekerasan pada pemeluknya. Semua ajaran agama sama dalam aspek ia mengajarkan kebijaksanaan dan memiliki kebijaksanaan. Termasuk dalam kaitannya dengan jihad (dengan makna perang) juga tidak terlepas dengan nilai kebijaksanaan dari agama Islam.
Secara kasat mata jihad adalah kekerasan, namun kekerasan yang lahir dari tabiat manusia. Karena ia lahir dari tabiat manusia, maka jihad tidak selalu dengan makna perang. Perang sebagai bentuk jihad dulu adalah sebagian dari ekspresi responsif terhadap apa yang terjadi. Dan ekspresi ini bisa saja berubah sesuai apa yang direspons olehnya.
Sampai titik ini Syekh Ali Al-Jurjawi mengatakan bahwa jihad dalam Islam adalah memerangi manusia yang membuat kerusakan di dunia, memunculkan konspirasi, memecah belah kelompok, memadamkan syiar-syiar keislaman dan menimbulkan permusuhan pada muslimin.
Oleh karenanya, jihad adalah bentuk perlawanan terhadap bencana dan kezaliman. Dalam lanjutannya beliau menegaskan bahwa apabila jihad sudah terkonsepsi demikian maka ia adalah perilaku wajar dan niscaya yang dilahirkan oleh tabiat kemanusiaan dan hewani sejak ia dicipta.
Apakah yang dilakukan oleh seekor harimau jika dirinya merasa terganggu? Ya, menerkam, sikap responsif yang ia rasa akan mengembalikan rasa aman terhadap dirinya.
(Ghufronullah)