Fikih

Deradikalisasi Agama: Peran Ushul Fikih Dalam Membangun Nalar Islam Moderat

Salafusshalih.com – Di tengah-tengah maraknya isu ekstremisme dan terorisme, paradigma moderasi beragama menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi problem tersebut. Pasalnya, ia merupakan sebuah pola berpikir, sikap dan prilaku beragama yang mencerminkan tasamuh, tawasuth dan tawazun. Kehadirannya mampu menjadi mediasi bagi dua kubu pemikiran yang saling bertolak belakang, ekstrem di satu sisi dan liberal di sisi yang lain.

Dalam buku Membangun Nalar Islam Moderat, K.H. Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa sikap moderat atau mengambil jalan tengan antara A dan B setidaknya mengandung dua pengertian. Pertama, bukan A dan bukan B, misalnya konsep Islam tentang nafkah yang berada di antara taqtir (kikir) dan israf (boros).

Artinya pemberian nafkah harus sesuai dengan kadar dan kewajaran, tidak berlebih-lebihan juga tidak terlalu pelit. Contoh lain adalah sikap yang ditekankan Islam dalam beragama yang tidak liberal juga tidak konservatif.

Kedua, moderat antara A dan B berarti bukan hanya A dan bukan hanya B. Dengan kata lain, sikap moderat mencerminkan sikap luwes dan dapat memosisikan segala sesuatu secara proporsional. Misalnya sikap Islam terhadap aspek jasmani dan rohani.

Perhatian Islam tidak hanya urusan rohani saja tetapi juga mengatur hal-hal jasmaniyah secara bersama-sama. Contoh lain, Islam antara akal dan wahyu. Artinya, perumusan hukum Islam bukan hanya melulu berpatokan kepada nas, melainkan gabungan antara wahyu (nash) dan akal.

Sebagai sebuah ideologi pemikiran, Islam moderat berusaha mensosialisasikan sebuah konsep beragama secara mendalam dan bertanggung jawab. Upaya untuk memahami agama secara mendalam ini memerlukan sebuah instrumen sebagai basisnya. Salah satu instrumen yang dapat menjadi basis dalam moderasi beragama adalah ushul fikih.

 

 

Ushul Fikih sebagai Basis Moderasi Beragama

Ushul fikih merupakan sebuah metodologi dalam proses istinbath al-ahkam. Ia lahir sebagai sebuah epistemologi di tangan Imam al-Syafi’i. Secara historis, Imam al-Syafi’i menyusun epistemologi ushul fikih lantaran kegelisahan intelektual yang beliau rasakan dari perbedaan dua arus pemikiran hukum islam yang berkembang ketika itu.

Dalam sejarah, tercatat bahwa pada saat itu ada dua kelompok pemikiran yang saling bertolak belakang dan sering kali berselisih pendapat, yaitu kelompok ahl al-hadist dan kelompok ahl-al-ra’y. Ahl al-hadits adalah kelompok yang lebih mendahulukan riwayat-riwayat dalam penetapan hukum Islam ketimbang akal.

Mereka tetap mengakui peran akal dalam proses perumusan hukum tetapi porsi yang diberikan sangat sedikit dibandingkan dengan peran riwayat (dalam hal ini hadis ahad atau atsar sahabat). Pemikiran ini berpusat di Madinah dengan Imam Malik sebagai pionirnya.

Sedangkan ahl al-ra’y adalah kelompok yang lebih mengedepankan peran akal ketimbang riwayat-riwayat. Kelompok yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah ini berkembang di kawasan Irak dan sekitarnya. Dalam proses perumusan hukum, mereka memberikan porsi yang besar terhadap akal atau qiyas dari pada riwayat. letak geografis yang jauh dari pusat persebaran hadis menjadi pemicu utama seleksi mereka dalam peggunaan riwayat hadis.

Perdebatan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut berlangsung alot dan tak kunjung usai. Bahkan, upaya diskredit terhadap sosok tertentu kerapkali terjadi. Inilah yang memicu kegelisahan intelektual dalam diri Imam al-Syafi’i.

 

 

Secara genealogi keimuan Imam al-Syafi’i sendiri pernah berguru kepada Imam Malik di Madinah dan juga kepada Imam muhammad bin Hasan Al-Syaibani (salah seorang murid Imam Abu Hanifah) di Baghdad. Dengan latar belakang tersebut, beliau akhirnya berupaya melakukan sintesis terhadap dua pemikiran yang saling kontradiksi sehingga lahirnya kitab Al-Risalah.

Dalam diskursus keilmuan Islam, ushul fikih merupakan ilmu yang mengkomparasikan penggunaan akal dan wahyu secara sinergi. Dengan karakter ini, ushul fikih mensosialisasikan proses berfikir yang komprehensif dan mendalam.

Penggunaan akal dan wahyu secara berkelindan ketika mencari jawaban atas sebuah persoalan sangat diperlukan. Dengan landasan wahyu dan ditopang dengan logika berpikir yang tepat akan melahirkan jawaban yang solutif dan dapat diterima semua kalangan. Di satu sisi, kelompok islamis tidak punya alasan untuk menentangya karena ia berlandaskan wahyu. Di sisi lain, ia juga akan diterima di kalangan intelektual lantaran didasari logika berfikir yang tepat.

 

 

Lain halnya jika kedua instrumen itu diaplikasikan secara terpisah satu sama lain. penggunaan akal tanpa melihat nas (Al-Qur’an dan hadis) akan melahirkan kesimpulan yang cenderung lepas kendali (liberal). hal ini karena ia tidak dibentengi oleh otoritas wahyu. Sebaliknya, penggunaan wahyu secara membabi buta akan menghasilkan kesimpulan yang kaku dan konservatif jika tidak mempertimbangkan logika berfikir yang benar dalam memahami dan mengaplikasikan nas.

Di sinilah letak kealpaan para aktor ekstremis dengan ideologi yang mereka anut. Mereka memahami teks-teks agama secara literal-parsial. Artinya teks-teks agama hanya dipahami secara tekstual tanpa mempertimbangkan aspek kontekstualnya. Hal ini akan menimbulkan sikap rigid dan acuh terhadap realita yang ada.

Disamping itu, ideologi-ideologi anarkis yang mereka imani, meskipun dilandasi nas, tetapi sifatnya parsial. Mereka hanya membaca dan mengamalkan teks agama yang sesuai dengan ideologi mereka tanpa adanya upaya untuk mengompromikan dalil tersebut dengan dalil lain.

 

 

Dari sinilah perlunya logika berpikir ushul fikih. Optimalisasi nalar ushuli sebagai landasan berfikir dalam membaca sebuah fenomena akan menciptakan individu-individu moderat. orang yang mampu berpikir ushuli tidak akan mudah terpapar ideologi ekstremisme dan takfirisme.

Sebagaimana keterangan dari beberapa sumber bahwa salah satu faktor menjamurnya radikalisme-ekstremisme adalah dangkalnya pemahaamaan terhadap agama. Oleh karenanya, berbekal ushul fikih yang mensosialisasikan pemahaaman agama secaara mendalam, diharaapkan menjadi benteng ideologi dari rongrongan paham radikalisme-ekstremisme tersebut.

Akhir kata, pemantapan ideologi moderai beragama berbasis ushul fikih sangat diperlukan dalam upaya membendung radikalisme-ekstremisme. Dengan bekal ideologi tersebut, diharapkan masyarakat memiliki kualitas pemahaman yang mendalam terhadap agama. pada akhirnya ia pun akan menjadi benteng ideologi dari paham-paham ekstrem tersebut. Wallahua’lam.

(Muhammad Zainul Mujahid)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button