Mujadalah

Gak Bahaya Ta, Komersialisasi Masjid?

Salafusshalih.com – Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam telah banyak tersebar, baik di pusat maupun di sudut kota. Kini, mencari masjid tak ayalnya seperti mencari tempat makan, sangat mudah ditemukan. Namun, di balik kemudahan tersebut, ternyata segudang fakta menyedihkan sangat sukar untuk dirahasiakan. Banyaknya pihak yang mengomersialkan masjid menjadi persoalan serius umat Islam hari ini.

Banyak sekali pengelola masjid di perkotaan, baik yang resmi maupun yang tidak resmi yang menarik uang parkir dari jemaah yang membawa kendaraan. Bukankah ini termasuk ke dalam komersialisasi masjid? Entah digunakan untuk kepentingan pribadi atau untuk kesejahteraan masjid, wallᾱhu a’lam. Tulisan ini tidak akan membahas ke mana aliran uang parkir tersebut mengalir dan bermuara.

Masjid dalam pengertian tertentu adalah rumah Allah. Artinya, jemaah yang datang ke masjid sama saja dengan mengunjungi rumah-Nya. Demikian terhitung sebagai ibadah. Lantas bagaimana bisa seorang tamu harus membayar parkir di rumah tuannya sendiri? Dia harus berjual beli dengan petugas parkir yang memarkirkan kendaraannya tanpa tapi.

Kalau hanya sekedar untuk sarana beramal, mengapa tidak menggunakan sistem sukarela saja? Artinya, pengelola tidak mematok harga untuk parkir. Dengan demikian, jika terdapat jemaah yang tidak memberikan uang parkir sekali pun tidak perlu diminta terlebih dikejar. Karenanya, pembayaran uang parkir hanya sebatas anjuran dan ajakan semata, bukan keharusan.

Selain tidak logis, menarik uang parkir kepada jemaah yang membawa kendaraan ke masjid juga sangat tidak agamis. Salah satu indikator orang yang beriman adalah mereka yang berusaha untuk selalu memakmurkan masjid. Firman ini terpampang jelas dalam QS. At-Taubah: 18.

Lalu apakah pihak yang menarik uang parkir sebagai syarat masuk ke lingkungan masjid dapat dikategorikan sebagai orang yang menghalangi orang untuk beriman? Tidak lucu, bukan?

Satu hal yang perlu diutarakan, Allah tidak pernah menilai kemakmuran masjid dari kemegahannya, keluasannya, tidak juga dari keantikannya. Syekh Muhammad Hasan al-Syinqity, seorang ulama besar Afrika, mengatakan bahwa memakmurkan masjid dapat diartikan sebagai menyibukkan diri dengan ibadah dan taat kepada Allah di lingkungan masjid. Karena itu, semakin banyak jemaah yang beribadah di dalam masjid, semakin makmur pula masjid tersebut.

Ibadah dan ketaatan tidak hanya diartikan dengan salat dan zikir semata. Belajar ilmu pengetahuan, mutalaah, berdiskusi, bahkan bermain bersama keluarga pun dapat diartikan dengan ibadah. Betapa indah terlihat jika masjid di perkotaan dapat mengakomodir aktivitas ketaatan tersebut. Lalu dari mana sumber dana untuk merealisasikannya? Tentu saja dari infak masjid yang sifatnya sukarela. Mungkin? Sangat mungkin.

Berapa banyak masjid-masjid yang saldo kas mingguannya puluhan bahkan ratusan juta? Mirisnya, pengurus masjid berbangga hati dengan saldo yang setumpuk itu. Jemaah menginfakkan hartanya kepada masjid adalah untuk menyejahterakan masjid, jemaah, termasuk juga lingkungannya. Tentu tidak patut dibanggakan jika saldo kas masjid menumpuk tetapi ketiga unsur tersebut tidak sejahtera.

Hari ini, orientasi masjid seyogianya bukan lagi hanya sebagai sarana ibadah mahdhah melainkan juga harus mengimbanginya dengan ibadah ghairu mahdhah. Masjid adalah pusat kegiatan kegamaan yang merepresentasikan nilai-nilai agama Islam. Pengelolaan yang baik terhadap masjid menjadikan citra agama menjadi baik pula.

Demikian pula sebaliknya, pengelolaan yang buruk terhadap masjid mengundang prasangka buruk pula untuk agama. Karena itu, sangat penting kiranya untuk menertibkan pungutan uang parkir terhadap jemaah yang membawa kendaraan ke lingkungan masjid.

(Azis Arifin)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button