Geliat Politik-Agama di Nusantara: Jejak Kontroversial Ba’alawi
Salafusshalih.com – Setelah mendapatkan momentum, mulai muncul upaya untuk mengaburkan sejarah Indonesia. Klaim atas makam leluhur, keturunan Walisongo, serta kerajaan-kerajaan seperti Kesultanan Siak dan Banjar sebagai bagian dari klan mereka semakin memperlihatkan bagaimana sejarah dapat dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Dakwah Baalawi menjadi semakin intensif dengan menyebarkan narasi anti-pemerintah, yang memanfaatkan situasi hingga akhirnya dibubarkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.
Manipulasi sejarah ini menjadi bagian dari strategi untuk memperkuat legitimasi dan otoritas komunitas Baalawi di Indonesia. Klaim hubungan mereka dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia berusaha mengukuhkan posisi mereka sebagai pewaris sah tradisi keagamaan dan politik di Nusantara. Namun, klaim ini tidak selalu diterima dengan baik, terutama oleh pihak yang merasa bahwa klaim tersebut tidak berdasar atau merusak narasi sejarah yang sudah mapan. Pembubaran FPI oleh pemerintah mencerminkan adanya batasan terhadap sejauh mana narasi-narasi ini dapat diterima.
Melihat cara dakwah yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai luhur Nusantara, mulai muncul perlawanan dari kalangan pribumi. Tesis KH. Imaduddin Al Bantani, yang merupakan trah dari Syeikh Nawawi al-Bantani, menjadi salah satu upaya intelektual untuk melawan narasi yang dibangun oleh Baalawi. Namun, perlawanan ini tidak hanya terjadi di ranah akademis, tetapi juga melalui konflik antarpribumi, dengan memanfaatkan beberapa anggota keluarga keraton Cirebon dan Banten yang telah dikaitkan dengan narasi sejarah kelam.
Perlawanan ini menunjukkan resistensi terhadap pengaruh Baalawi serta menggambarkan kebangkitan kesadaran sejarah di kalangan pribumi. Dengan mengangkat kembali narasi alternatif, seperti buku karya KH. Imaduddin Utsman al-Bantani, *Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia: Sebuah Penelitian Ilmiah* (Februari, 2024), masyarakat pribumi berupaya merebut kembali otoritas atas sejarah dan identitas mereka. Ini adalah bentuk perjuangan intelektual yang menunjukkan bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus diperebutkan dan ditafsir ulang sesuai kepentingan dan konteks sosial-politik yang berkembang. Upaya untuk mengonsolidasikan kekuasaan melalui manipulasi sejarah akan selalu menghadapi tantangan dari pihak yang merasa dirugikan.
Sejarah imigran Baalawi di Nusantara bukan hanya tentang penyebaran agama, tetapi juga menyangkut politik, kekuasaan, dan identitas. Peran mereka dalam membentuk dinamika sosial dan politik Indonesia adalah bagian dari narasi yang kompleks dan seringkali kontroversial.
Fenomena lain yang muncul adalah dugaan pemalsuan makam oleh Luthfi bin Yahya. Sesepuh NU Klaten, Mbah Mufid Sa’dullah, dengan tegas menuduh Luthfi bin Yahya sebagai keturunan Yahudi, dengan mengatakan bahwa “banyak fakta makam-makam dipalsukan oleh oknum keturunan Yahudi yang bernama Luthfi bin Yahya.” Berdasarkan tes DNA yang dilakukan oleh ahli genetika, Dr. Sugeng Sugiharto—yang merespons penelitian KH. Imaduddin—menunjukkan bahwa beberapa anggota klan Baalawi, termasuk bin Yahya, masuk dalam Haplogrup G, yang berhubungan dengan populasi Yahudi Askenazi, Yahudi Maroko, dan beberapa etnis lainnya.
Hingga esai ini ditulis, tes DNA yang dilakukan oleh Dr. Sugeng Sugiharto menyebutkan bahwa hanya ada dua klan yang masuk kategori Haplogrup J1, yaitu Zubaidi dan al-Katiri. Perlawanan yang hampir sendirian juga dilakukan oleh legenda musik dangdut Indonesia, Rhoma Irama. Dalam podcast resminya, Rhoma berulangkali berdiskusi serius dengan beberapa pakar, termasuk Dr. Sugeng Sugiharto. Dalam salah satu dialognya, Rhoma mengungkapkan bahwa ia pernah ditawari surat pengakuan dari Rabithah Alawiyah sebagai bagian dari klan Baalawi.
Beberapa tokoh penting yang diklaim sebagai bagian dari Baalawi termasuk KRT Sumodiningrat yang disebut sebagai “Habib Hasan bin Thoha bin Yahya,” meskipun klaim ini telah dibantah oleh Keraton Yogyakarta. Raden Saleh, pelukis ternama dari Jawa, juga diklaim sebagai bagian dari Baalawi dengan nama “Sayyid Sholeh bin Husein bin Awudh bin Hasan bin Awudh bin Hasan bin Idrus bin Muhammad bin Hasan bin Yahya.” Kedua tokoh ini sama-sama disandangkan nama “bin Yahya,” memperlihatkan upaya untuk menyelaraskan mereka dengan narasi yang dikembangkan Baalawi.
Konflik yang melibatkan keluarga Baalawi, yang mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, mencerminkan ketegangan mendalam dalam komunitas Muslim Indonesia. Klaim keturunan ini membawa kehormatan dan pengaruh, namun kini menjadi sumber perselisihan. Ketegangan semakin memanas ketika KH. Imaduddin menolak klaim tersebut melalui riset ilmiah, yang menimbulkan konflik internal dan meresap ke dalam tatanan sosial serta relijius masyarakat.
Salah satu isu yang mencuat adalah perdebatan terkait sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Nama “Habib” Hasyim bin Yahya, seorang tokoh Baalawi, terlibat dalam sengketa mengenai sejarah pendirian NU. Versi sejarah yang diajukan Baalawi melalui Lutfi bin Yahya membingungkan dan memicu konflik di kalangan anggota NU, serta mengganggu pandangan publik tentang legitimasi organisasi ini.
Pada tahun 2021, kontroversi ini semakin mencuat ketika nama Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari hilang dari Kamus Sejarah Indonesia, yang seharusnya menggambarkan informasi sejarah Indonesia dari 1900 hingga 1988. Hilangnya nama Hasyim Asy’ari—seorang pahlawan nasional yang berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia—menimbulkan protes, sementara tokoh-tokoh dengan kontribusi yang diragukan justru masuk dalam entri kamus tersebut.
Masalah lain yang memicu ketegangan adalah tuduhan pemalsuan sanad ilmu Al-Qur’an. Sanad merupakan rantai transmisi teks suci yang vital dalam Islam, dan tuduhan bahwa sanad dari Mbah Munawir Krapyak—tokoh penting NU—telah dipalsukan oleh Baalawi, memunculkan kekhawatiran tentang keaslian dan integritas ajaran Al-Qur’an di pondok pesantren Nahdliyin. Hal ini memerlukan verifikasi yang teliti untuk memastikan bahwa tradisi keilmuan tetap dihormati.
Pemalsuan makam-makam wali, leluhur, dan tokoh Islam menjadi isu serius lainnya. Makam-makam ini memiliki nilai historis dan spiritual yang penting dalam komunitas Muslim. Klaim palsu tentang lokasi atau identitas makam dapat merusak penghormatan terhadap tokoh-tokoh tersebut dan menimbulkan ketegangan antar kelompok keagamaan.
Praktik jual-beli gelar Habib oleh Rabithah Alawiyah (RA) menambah masalah dengan menyalahgunakan sistem penghargaan keagamaan. Gelar Habib yang seharusnya memiliki nilai spiritual dan sosial tinggi sebagai keturunan Nabi, menjadi kehilangan makna jika diperjualbelikan tanpa dasar yang sah, merusak reputasi dan kepercayaan terhadap gelar tersebut.
Pengklaiman nama-nama geografis di Indonesia sebagai berasal dari bahasa Arab menunjukkan ketegangan budaya. Jika klaim ini dianggap bertentangan dengan sejarah atau budaya lokal, konflik tentang asal-usul nama tempat dapat terjadi, mempengaruhi identitas lokal dan menciptakan ketegangan antar kelompok.
Isu permintaan hak istimewa, seperti pernikahan khusus bagi kalangan Baalawi, menunjukkan dinamika kekuasaan dalam komunitas. Praktik ini dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan memperburuk hubungan sosial serta keagamaan. Pengultusan Habaib, yang mengklaim satu individu Baalawi lebih baik daripada banyak kiai meski berperilaku negatif, menimbulkan tantangan dalam menjaga keadilan dan kesetaraan, serta menambah perpecahan di kalangan religius.
Larangan menikahi perempuan keturunan Nabi SAW oleh orang biasa menambah batasan sosial dan religius yang ketat. Contoh kasus adalah penggagalan pernikahan antara keluarga Pesantren Sidogiri, Pasuruan, dengan keluarga al-Jufri oleh Ketua RA, Taufik Assegaf. Aturan ini berdampak negatif terhadap hubungan sosial dan keluarga, serta menyoroti bagaimana norma-norma religius dapat mempengaruhi kehidupan pribadi.
Penawaran status spiritual melalui jalur tertentu, seperti Hadramaut di Yaman, menunjukkan bahwa kekuasaan dan status keagamaan dapat diperebutkan. Jika proses ini dianggap sebagai “pembelian” status atau dilakukan secara tidak adil, hal ini dapat menimbulkan konflik dan ketidakpuasan dalam komunitas.
Klandestin berbulu Habib
Empat tahun lalu (2018), kompleksitas konflik Baalawi semakin dipicu oleh terbongkarnya sindikat Saracen dan The Family Muslim Cyber Army yang dipimpin oleh Muhammad Luhfi al-Habsyi. Dua sindikat ini memiliki banyak sel aktif dan dukungan operasional yang luas, dengan tujuan menciptakan ketegangan dan konflik di antara kelompok-kelompok Muslim. Fenomena ini menunjukkan adanya agenda tersembunyi yang memanfaatkan konflik internal untuk kepentingan tertentu.
Operasi serupa telah terlihat dalam gerakan kelompok seperti PGRS/Paraku, Barisan Rakyat, Gerakan Laskar Jihad (LJ), dan Komando Jihad (Komji). Aktivitas mereka di berbagai lokasi di Indonesia mencerminkan pola yang sama: menciptakan ketegangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kasus NII KW 9 (Ma’had al-Zaytun) serta aktivitas di komunitas LDII dan Jamaah Ahlul Bait juga mengikuti pola ini. Sejarah menunjukkan, lebih dari seabad yang lalu, kerja klandestin Snouck Hurgronje berhasil menundukkan perjuangan rakyat Aceh di bawah pimpinan Teuku Umar dan Cut Nya’ Dhien.
Gerakan semacam ini mencerminkan strategi “bawah tanah” yang berbahaya. Mereka menyusup, memengaruhi, dan membiayai konflik dalam komunitas dengan memanfaatkan birokrasi, media, dan opini publik yang menyesatkan. Media sosial menjadi alat utama untuk menyebarkan propaganda, memperburuk situasi, dan membingungkan masyarakat. Umat Islam Indonesia, dengan kepolosan dan keluguan mereka, seringkali menjadi sasaran empuk bagi operasi semacam ini. Kelompok-kelompok yang mengaku sebagai pembela Islam kerap menggunakan simbol-simbol Islam untuk menyembunyikan agenda mereka yang sebenarnya, menyulitkan masyarakat untuk membedakan antara yang benar dan yang menyesatkan.
Biasanya, operasi ini dimulai dengan mendekati komunitas Muslim yang aktif dalam politik Islam. Individu yang awalnya anti-Islam sering berpura-pura “rujuk” dengan Islam, dan berfungsi sebagai penghubung untuk mengembangkan komunitas gerakan politik. Mereka menggunakan materi, simbol, dan ajaran untuk mengelabuhi umat serta menciptakan masalah internal. Ketika menghadapi kritik dari luar, gerakan ini biasanya mengembangkan retorika defensif, mengklaim bahwa kritik tersebut merupakan bentuk pembagian umat atau ketidakadilan.
Retorika semacam ini membingungkan banyak orang yang sedang mencari kebenaran, sehingga menyamarkan agenda politik mereka yang sebenarnya. Contoh yang relevan adalah gaya Rizieq Shihab dan Bahar Smith dalam membakar emosi jamaah mereka, baik di lingkungan Front Pembela Islam yang telah dibubarkan maupun dalam majelis taklim yang mereka hadiri.
Terhitung sejak Maret 2024, Mufti Diyar al-Yamaniyah, Syeikh Syamsuddin Syarafuddin, telah mengeluarkan fatwa terkait 21 klan di Yaman yang sanadnya tidak tersambung ke Rasulullah Muhammad Saw. Klan-klan tersebut mencakup: Al-Ahdal, al-Nahari, al-Ba’Alawi, al-Saqqaf, al-Atas, al-Shami, al-Imad, al-Washali, al-Jufri, al-Junaid, al-Habsyi, al-Shatiri, al-Wada’i, al-Shili, al-Ba’Aqil, al-Zabidi, al-Fad’aq, al-Muhdor, al-‘Idrus, al-Faqih, al-Kaf, dan al-Ba Hashim.
Sebagai masyarakat, penting untuk memahami dan mengidentifikasi pola-pola operasi semacam ini. Dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman, kita dapat melindungi komunitas dari pengaruh yang merusak dan memastikan bahwa kepentingan agama dan sosial tidak dipertaruhkan oleh agenda tersembunyi. Kesadaran akan adanya operasi rahasia dan propaganda yang merusak sangat penting untuk menjaga integritas komunitas. Melalui pendekatan berbasis dialog, verifikasi informasi, dan kesadaran, kita dapat menghadapi tantangan ini serta memperkuat hubungan antarindividu dan kelompok dalam komunitas Islam.
KH. Marzuki Mustamar, tokoh NU dari Jawa Timur, telah mengingatkan kalangan Nahdliyin tentang isu Baalawi dalam banyak ceramahnya—jauh sebelum isu ini merebak ke permukaan. Ia mengusulkan agar Presiden Jokowi membentuk tim khusus yang terdiri dari kiyai Jawa, kiyai berdarah Arab, habaib, ahli sejarah, ahli manuskrip, dan terutama ahli DNA, untuk menyelesaikan polemik yang menyeret Baalawi ke dalam jurang kehancuran. “Jika negara turun dengan kekuatan hukum, tentu tidak akan terjadi kerusuhan. Sebaliknya, jika negara tidak segera bertindak, fenomena pengaburan sejarah ini akan semakin memburuk di akar rumput.”