Memulai di Madinah: Dari Keagungan ke Kelembutan, dari Gelar ke Teladan

Salafusshalih.com – Tulisan ini menandai awal langkah kami di Madinah, setelah lebih dari sebulan berada di Makkah. Seperti hijrah Rasulullah Saw., kepindahan ke Madinah bukanlah pelarian dari tantangan, melainkan langkah awal membangun peradaban.
Dan di sinilah, kami—jamaah Kloter 92—memulai fase baru. Bukan lagi sekadar menjalankan ibadah individu, tetapi merenungi makna menjadi umat yang membawa rahmat.
Madinah: Lima Waktu, Lima Lapisan Kedamaian
Selasa pagi (1 Juli 2025), sekitar pukul 09.00, kami berangkat dari Hotel 1021 di kawasan Misfalah, Makkah. Menuju Madinah bukan sekadar berpindah kota, tetapi berpindah suasana batin. Setelah menjalani rangkaian ibadah penuh semangat dan guncangan spiritual di Makkah, perjalanan ini terasa seperti angin sejuk bagi jiwa yang mulai merunduk dan siap bersimpuh.
Kami tiba di Madinah sekitar pukul 15.00, beristirahat sejenak, lalu segera memulai salat wajib di Masjid Nabawi. Sejak lima waktu salat pertama—Zuhur, Asar, Magrib, Isya, hingga Subuh—terutama saat menikmati salat tahajud menjelang Subuh di dekat Raudah, ada sesuatu yang berbeda meresap ke dalam jiwa.
Suasana Nabawi membungkus hati dengan kelembutan yang menenangkan. Setiap sujud terasa lebih ringan, setiap duduk lebih dalam, setiap salam lebih menyejukkan.
Keindahannya bukan semata karena arsitektur atau lantunan imam, tetapi karena rasa persaudaraan dan kebaikan yang menyatu di dalam masjid ini. Seperti langit dan bumi yang berpelukan, seperti doa dan air mata yang bertemu, seperti harapan yang akhirnya menemukan rumahnya.
Nabawi: Cahaya yang Menyusup tanpa Menggedor
Masjid Nabawi tak menggetarkan seperti Ka’bah, dan justru di situlah keistimewaannya. Ia menyusup, bukan menghentak. Ia mengalir, bukan mengguncang. Dan dari situlah kenikmatan spiritual sejati muncul. Saat berada di dalamnya, kita merasa tak ingin banyak berkata. Hanya ingin diam, dan larut.
Saya teringat dua perjalanan umrah sebelumnya, pada 2013 dan 2017. Setiap kali tiba di Madinah, hati saya selalu merasa lebih damai. Namun kali ini berbeda. Kali ini, hati saya datang bukan sebagai tamu yang singgah, melainkan sebagai hamba yang ingin tinggal lebih lama dalam nilai-nilai Nabawi.
Dari Pembangkit ke Jaringan Rumah Tangga
Jika saya ibaratkan dalam bahasa teknik, Makkah adalah pusat pembangkit listrik: penuh energi, panas, dan bertenaga tinggi. Sedangkan Madinah adalah sistem distribusi rumah tangga: tenang, stabil, dan menyala tanpa suara.
Makkah adalah ledakan semangat. Madinah adalah kesinambungan amal. Di Makkah kita diajari taat. Di Madinah kita ditantang untuk istiqamah. Inilah fase ketika ibadah bukan lagi letupan, melainkan nyala yang terus dijaga.
Dari Gelar ke Peran
Kini kami menyandang gelar “haji.” Namun kami sadar, itu belum cukup. Sebab Madinah mengajarkan satu hal penting: bahwa menjadi umat Nabi bukan berhenti pada rukun yang ditunaikan, tetapi dimulai dari akhlak yang dipraktikkan.
Gelar hanyalah pakaian, tetapi peran adalah tindakan. Di kota ini—tempat Rasulullah Saw. membangun masyarakat—kami belajar bahwa haji mabrur bukan hasil dari serangkaian ritual semata, melainkan buah dari kematangan akhlak dan kesinambungan amal baik.
Madinah sebagai Titik Awal
Madinah bukan akhir perjalanan. Ia adalah awal yang baru. Di sinilah Rasulullah Saw. membangun cinta, masyarakat, dan peradaban. Dan di sinilah pula kami ingin membangun kembali niat kami: untuk pulang dengan jiwa yang lebih ringan, hati yang lebih lapang, dan langkah yang lebih terarah.
Semoga lima waktu pertama kami di Madinah menjadi pembuka bagi lima tahun ke depan yang lebih bermakna. Dan semoga, dari kota yang lembut ini, mengalir kembali tekad untuk menjadi hamba yang utuh. Hamba yang tahu arah, tahu peran, dan tahu untuk siapa ia hidup.
(Firman Arifin)