Mengenal Imam Al Alusi: Mufasir Sufi yang Terdorong dari Sebuah Mimpi
Salafusshalih.com – Abu al-Tsana’ Syihabuddin as-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi atau akrab dipanggil al-Alusi, lahir pada Jum’at 15 Sya’ban 1217 H di Kota Kurkh, Baghdad. Al-Alusi merupakan keturunan Imam Hasan bin Ali dari jalur ibu dan Husain bin Ali dari jalur ayah. Nama al-Alusi diambil dari nama yang diberikan kepada kampung bernama Alus, yakni suatu pulau yang berada di tepi barat sungai Eufrat antara Syam dan Baghdad.
Telah menjadi tradisi masyarakat Arab Islam dahulu, terlebih kalangan ulama, al-Alusi mulai belajar al-Qur’an. Usia lima tahun ia berguru kepada syakh al-Mala Husain al-Jaburi. Seiring dengan bertambahnya usia, al-Alusi menambah tingkatannya dengan belajar membaca teks-teks ulama terdahulu dengan bimbingan ayahnya. Sehingga sebelum menginjak usia sepuluh tahun, al-Alusi telah mempelajari ilmu fiqh syafi’iyah dan hanafiyah, hadits, dan mantiq.
Diusia muda, selain belajar kepada orang tuanya, ia pun belajar kepada ulama-ulama besar seperti Syaikh As-Suwaidi dan Syaikh Khulaid an-Naqsyabandi. Pada tahun 1832 M/ 1248 H, ia telah memahami berbagai corak pemikiran dan aliran aqidah serta perbedaan madzhab. Al-Alusi pun juga berguru kepada Syaikh ‘Alauddin Afandi al-Maushili pada usia 13 tahun, sampai bersamanya ia berguru dalam waktu yang cukup panjang. Pada usia inilah ia dikenal sebagai seorang dabit dalam hafalannya. Seolah-olah dalam masa pembelajarannya, ia tidak pernah merasa bosan dan malas untuk belajar. Seperti dalam perkataan yang dikutip oleh Ahmad Arkom:
“Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepentingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik.”
Sebelum usia 20 tahun, al-Alusi mulai mendalami tafsir al-Qur’an, dan usia 21 tahun, al-Alusi telah mendapat kepercayaan untuk mengajar madrasah al-Khotuniyah. Disisi lain pula, ia mendapatkan amanah dari Haji Nu’man al-Bajah untuk mengajar di madrasah yang dikepalai. Akan tetapi, karena banyak yang tidak menyukainya, al-Alusi berhenti mengajar.
Tahun 1248, al-Alusi diangkat sebagai mufti sebulan setelah dia diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjaniyah, akan tetapi pada tahun 1263, beliau melepaskan jabatannya dan memilih untuk bergelut menyusun karangan tafsirnya yang terkenal sampai sekarang, Ruh al-Maani.
Kehidupan politik dimasa al-Alusi tidaklah stabil. Banyak kejadian perang kekuasaan antar elit kerajaan akibat pergantian raja. Selama itu, al-Alusi sering menyaksikan pergantian pemimpun Irak. Akan tetapi, meskipun politik pada saat itu tidak stabil, tidak mengganggu penelitian-penelitian ilmiah. Pada saat itu muncul berbagai ulama dalam bidang bidang tafsir, sastra, hadits, dan fiqih. Dan pada saat itu pula, al-Alusi adalah golongan para sastrawan yang terkenal. Al-Alusi juga dikenal dan didukung para penguasa seperti Daud Basya, yang akhirnya ia berhasil mendirikan bidang pendidikan sebagai bentuk dukungannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1268, ayah al-Alusi berpulang ke rahmatullah. Saaat itulah dia meninggalkan Kurkh dan tinggal disamping masjid Syekh Abdul Qadir al-Jili. Dari sini mulailah kecerdasan al-Alusi tersebar ke banyak orang. Pada masa kekuasaan Ali Ridha, al-Alusi merangkai sebuah karya “Syarh al-Burhan fi Itha’at al-Sulthan”, yang kemudian dihadiahkan kepada Ali Ridha Basya dan ia mendapatkan kepercayaan menjadi khatib dan imam masjid al-Marjan. Setelah itu, a mendapakan jabatan kembali sebagai mufti di Baghdad.
Al-Alusi adalah ulama Irak yang pernah menjabat sebagai mufti Baghdad, Pemikir, pengetahuan yang luas, hingga ia mendpatkan julukan sebagai ‘allamah, seorang ulama besar yang mumpuni dalam ilmu naqli maupu aqli dan cerdas dalam setiap cabang keduanya. Usia mudanya yang dihabiskan dengan menempuh pendidikan super intensif sampai menjadi mufti dan banyak pengikut dari berbagai negeri. Menjadi penanggungjawab sebuah yayasan pendidikan. Al-Alusi juga dikenal sebagai orang yang memperhatikan sandang, pangan, tempat tinggal pada anak didiknya. Ia memberikan fasilitas pemondokan, sehingga dengan mudah, ia bisa memberikan perhatian dalam bidang ilmu pengetahuannya.
(Hanik As’adah)