Mewaspadai Doktrin Kelompok Islam Radikal
Salafusshalih.com – Doktrin kelompok Islam radikal pada dasarnya adalah doktrin yang sama yang dipakai oleh kalangan umat islam yang toleran, sebab sumber hukum yang dipakainya adalah sama yaitu al-Qur’an maupun hadits.
Perbedaan dalam penafsiran lah yang kemudian melahirkan pemahan yang berbeda berseberangan. perbedaan tersebut pada kondisi tertentu bisa diterima sebagai sebuah khazanah keilmuan islam, namun pada sisi lain perbedaan penafsiran yang justeru mencideriai niali keislaman sendiri menjadi tertolak dan tidak boleh dijadikan rujukan.
Kalangan ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat al-qur’an, Manna’ Qathan dalam kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an hal 321-322 menjelaskan ada Sembilan syarat yang harus dimiliki seseorang untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Sembilan persyaratan tersebut harus benar-benar dimiliki sehingga penafsiran dari sebuah ayat tidak menyalahi apa yang menjadi maksud dan tujuan Al-Qur’an.
Namun ada sekelompok orang yang kemudian memaknai sebuah ayat secara tekstual dengan menafikan berbagai macam disiplin ilmu yang harus digunakan oleh ulama secara umum dalam menafsirkan sebuah ayat, sehingga penafsiran yang dihadirkan sangat tekstual dan kaku.
Dari penafisiran yang tekstual inilah kemudian muncu pemahaman yang ekstrim yang selanjutnya menjadi legitimasi bagi kelompok radikal untuk melakukan tindakan-tindakan yang sejatinya bertentangan dengan tujuan islam itu sendiri.
Di antara doktrin kelompok Islam radikal yang sering di jadikan legitimasi bagi mereka untuk melakukan aksi radikalisme bahkan terorisme adalah doktrin Hakimiyah atau penentuan hukum.
Hakimiyah atau penetapan hukum adalah konsep yang menjadi akar bagi seluruh pemikiran radikal dengan segala macam doktrin-doktrinnya, Hakimiyah sendiri di dasarkan pada pemahaman keliru terhadap ayat :
ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئـك هم الكافرون
Barang siapa memutuskan hukum tidak berdasar dengan sesuatu yang diturunkan Allah swt maka mereka adalah orang-orang kafir. (al maidah 44)
Dr. Usamah dalam kitab Al Haqqul Mubin hal 17-24 nya menggambarkan bahwa sederet tokoh ekstimis seperti Abul A’la al Mududi Hasan Al Banna Sayyid Qutb dan lainnya memaknai ayat ini secara sempit dengan memposisikan siapun yang enggan berhukum dengan ketentuan Allah adalah kafir, yang kemudian dianggap jahiliyah dan layak di perangi.
Pola penafsiran ini berakar dari kelompok Khowarij di zaman Sayyidina Ali, yang berani melakukan perlawanan bahkan pembunuhan atas Sayyidina Ali yang telah menyepakati dan mengikuti konsep Tahkim yang ditawarkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Pemaham semacam inilah yang kemudian menjadi akar utama bagi lahirnya kelompok-kelompok ekstrim bahkan teoris dengan nama agama.
Pemahaman radikal semacam itu bukan saja di yakini oleh mereka tetapi juga dituliskan dan di doktrinkan kepada orang lain sehungga banyak orang kemudian terjebak dan terseret dalam pemikiran radikal mereka.
Sebagai Contoh Tafsir karya Sayyid Qutb berhasil meyakinkan banyak orang untuk meyakini bahwa orang atau negara yang tidak menetapkan undang-undang atau hukum berdasarkan Ayat Allah adalah orang atau negara kafir, dan jahiliyah sehingga layak untuk diperangi.
Hal ini berbeda dengan penafsiran umumnya para ulama baik dari kalangan sahabat maupun generasi selanjutnya semisal Ibnu Abbas, Athobary dalam “Jami’ul Bayan”nya Imam Al Ghozali dalam Al Mustasyfa Abu Hayyan dalam Al Bakhrul Muhit dan sejumlah banyak ulama lainnya menjelaskan secara luas maksud ayat tersebut.
Prof Quraisy Shihab dalam Al Misbah jilid 4 hal 131 menejalskan bahwa kata Kufr Ketika disematkan pada orang beriman itu mengandung arti kecaman keras bukan penghukuman kafir, memang jika seseorang berani melecehkan dan tidak mempercayai ketentuan Allah maka secara otomatis menjadi kufur.
Secara umum ulama berbeda pendapat terkait ayat tersebut, ada yang berpendapat bahwa yang dibahas dalam ayat itu adalah kelompok umat Yahudi yang mempermainkan hukum Taurat, ada juga berlaku untuk semua pemeluk agama samawi termasuk umat Islam yang enggan berhukum dengan apa yang turunkan oleh Allah, namun kata “kafirun”nya tidak lalu diartikan kafir secara mutlak yang lalu dianggap hala darahnya dan layak diperangi.
(Abdul Hadi)