Perempuan Harus Tegas Menolak Kelompok Wahabi, Mengapa?
Salafusshalih.com – Dakwah yang dibawa oleh ustaz-ustaz Wahabi, kerapkali kontroversial di kalangan publik karena bertentangan dengan kehidupan sosial masyarakat. Sekalipun berkedok dengan landasan Al-Qur’an dan hadis, kelompok Wahabi adalah golongan manipulatif yang selalu mengeksploitasi manusia, khususnya perempuan. Ceramah Ustaz Khalid Basalamah pada beberapa tahun lalu sempat menjadi perdebatan bahkan banyak yang menggugat. Pasalnya dalam sebuah ceramah yang berjudul “70 Kekeliruan Wanita” mendeskripsikan semua urusan rumah adalah urusan perempuan.
Bahkan, dalam ceramah tersebut perempuan beribadah tergantung izin suami. Hal ini mirip dengan ajaran Brahmanisme. Serta menandakan jika urusan perempuan adalah urusan rumah. Dan urusannya di bawah urusan laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki atau suami diberikan penghormatan yang tinggi dalam rumah tangga, sehingga perempuan atau istri otorisasinya di bawah laki-laki atau suami. Ini bisa dikatakan mirip seperti penghambaan kepada suami, karena perempuan sama sekali tidak memiliki hak atas tubuh dan kehidupannya sendiri.
Ceramah ini banyak digugat, sebab di tengah banyaknya isu dan upaya masyarakat untuk mengkampanyekan kehadiran laki-laki dalam pengasuhan anak untuk memastikan peran bapak, serta peran melaksanakan pekerjaan domestik, ceramah ini sangat bias dan sama sekali tidak melihat perempuan sebagai manusia pada umumnya.
Sebenarnya, ceramah model Ustaz Khalid Basalamah yang kita kenal sebagai ajaran Wahabi, kelompok salaf yang menyerukan kembali ke Islam dengan landasan Al-Qur’an dan hadis, sudah lama sekali mendiskreditkan perempuan dalam banyak hal. Islam puritan yang dibawa oleh kelompok Wahabi menjadikan perempuan sebagai kelompok domestik. Jika Muhammadiyah dan NU sudah memberikan ruang bagi para perempuan untuk menjadi pengurus organisasi, memberikan tanggung jawab kepada perempuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan publik, maka tidak dengan kelompok Wahabi. Mereka justru masih berkutat pada ajaran bahwa, kemuliaan perempuan hadir ketika di rumah dan melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga dengan baik, termasuk hal yang paling substansial menjadikan perempuan sebagai mesin reproduksi penghasil anak.
Pemisahan ruang publik dan ruang domestik ini, berakibat pada ketidakberdayaan perempuan, yang kerapkali harus memilih salah satunya. Namun, secara tidak langsung, perempuan dituntut untuk memilih ruang domestik, supaya mendapatkan kemuliaan yang dinarasikan oleh kelompok Wahabi tersebut. Sulit sekali bahkan hampir tidak ada, tokoh perempuan salaf yang tampil di ruang publik seperti perempuan-perempuan organisasi lain, menyuarakan kelompok tertindas, atau menyuarakan isu-isu perempuan. Sebab pada faktanya, perempuan salafi ini tertindas secara akal dan tidak berdaya atas ideologi yang dibawa oleh kelompok Wahabi.
Kekerasan simbolik yang dilakukan oleh kelompok Wahabi terhadap perempuan melalui narasi Islam yang dibenarkan oleh kelompoknya sendiri, menciptakan para perempuan salaf terbelenggu oleh kebenaran yang dibenarkan oleh dirinya sendiri. Tidak heran, para perempuan salaf memiliki kepasrahan dan ketundukan sekalipun dijadikan budak seks oleh para laki-laki Wahabi dengan menjadikannya sebagai istri kedua, ketiga, atau bahkan keempat.
Tidak heran pula, mereka terbentuk sebagai makhluk tunduk sekalipun dibawa pada kehidupan dengan nafkah dengan tidak layak. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah dipoligami, tidak boleh menggunakan alat kontrasepsi, tapi nafkah lahir tidak diberi dengan layak. Padahal, jika benar-benar menerapkan Islam, nafkah dan pemenuhan kebutuhan hidup harus ditunaikan oleh seorang laki-laki sebagai suami.
Para perempuan salaf juga memiliki pemikiran bahwa, menerima poligami berarti mendapat kemuliaan dan menyindir para perempuan yang menolak dipoligami, ataupun tidak berjilbab besar atau para perempuan yang memilih bekerja dan berkarir. Padahal, kemuliaan seseorang bisa didapatkan dari pintu mana saja, termasuk memberikan kebermanfaatan kepada sesama dan perempuan memiliki hak untuk memilihnya.
(Muallifah)