Tafsir Asghar Ali Terhadap Surat An Nisa Ayat 3
Salafusshalih.com. Pemaknaan terhadap teks al Quran yang sudah ada sejak empat belas abad silam mengharuskan kita untuk memaknainya menggunakan perspektif yang sesuai dengan kondisi masa kini. Perbedaan rentang waktu yang sangat lama pasti menimbulkan banyak perbedaan mengenai kondisi yang ada, terutama kondisi sosial. Asghar Ali Engineer datang memberikan penawaran memaknai al Quran dengan mempertimbangkan konteks pengalaman dan kesadaran sosiologis yang ada. Hal ini dilakukan agar pandangan bahwa al Quran shahih li kulli zaman wa makan benar adanya.
Sekilas tentang Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer adalah seorang mufassir yang dilahirkan di Salumbar Rajashtan, India, pada tanggal 10 Maret 1939. Asghar lahir di lingkup keluarga taat agama. Ayahnya yang bernama Syaikh Qurban Husain adalah seorang tokoh agama Syi’ah Ismailiyah yang memiliki pemikiran terbuka untuk berdialog dengan penganut agama lain. Ayahnya juga ikut membantu dalam pendirian pimpinan ulama Bohro. Dari ayahnya, Asghar kecil menerima pendidikan yang berbau keislaman seperti, teologi, tafsir, hadis, dan fikih. Beliau juga menguasai bahasa asing seperti bahasa Urdu, Persia, dan Inggris. Sedangkan pendidikan formalnya ditempuh di dalam negeri sampai lulus dari Universitas Vikram dengan gelar Sarjana Teknin Sipil (BSc Eng.) pada tahun 1962.
Masa kecil Asghar dihadapkan pada kemelut sosial berupa eksploitasi atas nama agama. Asghar tekun mempelajari literatur-literatur, baik dari kalangan islam maupun barat, untuk mempelajari lebih lanjut mengenai sisi fundamental agama. Karena itu Asghar terbentuk menjadi seorang pemikir yang berpandangan liberal, revolusioner, dan demokratis.
Dengan latar belakang masa kecilnya mendoronga Asghar untuk merumuskan sebah corak teologi, yaitu teologi pembebasan. Teologi yang menekankan pada kebebasan, keadilan, persamaan, dan penolakan terhadap segala bentuk eksploitasi manusia. Asghar juga menjadi salah seorang mufassir yang memberikan penawaran menemukan makna sosiologis dalam al Quran. Sebuah cara agar al Quran tetap cocok untuk segala waktu, tempat, dan berbagai kondisi.
Metode Penafsiran Asghar Ali Engineer
Menurut Asghar, untuk memahami al Quran sesuai dengan keadaan sekarang adalah dengan cara meleburkan teks ke dalam konteks. Ada tiga cara memahami al Quran secara kontekstual menurut Asghar. Yang pertama adalah dengan cara membedakan dua aspek yang ada dalam al Quran, yaitu aspek normatif dan aspek kontekstual. Aspek normatif yang dimaksud di sini adalah ayat al Quran berupa ajaran mengenai persamaan, keadilan, dan kesetaraan. Aspek kontekstual adalah ayat al Quran yang berisi tentang respon terhadap problem sosial pada masa itu. Bisa dikatakan bahwa aspek normatif adalah aspek yang bertujuan menunjukkan hal yang diinginkan oleh Allah dan berlaku di berbagai zaman dan tempat. Sedangkan aspek kontekstual adalah hal yang dibentuk oleh realitas keadaan sosial pada saat al Quran diturunkan.
Yang kedua adalah memberikan pemaknaan terhadap al Quran sesuai dengan latar belakang mufassir. Menurut Asghar tidak ada penafsiran yang benar-benar murni tanpa adanya kecenderungan dari latar belakang sang mufassir, baik itu pengetahuan, pengalaman, pandangan terhadap dunia, dan keadaan sosio-kultural lingkungan hidup mufassir.
Cara ketiga untuk memahami makna ayat al Quran yang masih bersifat global, mengingat al Quran telah ada untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di kondisi zaman pada empat belas abad yang lalu, dengan pemahaman yang fleksibel sesuai dengan keadaan zaman. Kesemuanya ini dipadukan dengan analisis sosial mengenai kondisi historis maupun sosiologis zaman.
Penafsiran Ayat Poligami
Sampai saat ini isu poligami masih sering diperbincangkan dan sering terdapat perbedaan mengenai hukumnya. Berbeda dengan kebanyak mufassir lain, Asghar menganggap surat An Nisa ayat 3 bukan sebuah dasar diperbolehkannya poligami. Asghar malah menganggap ayat ini berisi larangan terhadap poligami. Menurutnya, secara normatif ayat ini berisi pesan untuk menegakkan keadilan. Sedang secara kontekstual, poligami merupakan sarana untuk merealisasikan keadilan tersebut.
Menurut Aisyah r.a. ayat ini turun dengan konteks seorang laki-laki yang merawat anak yatim kemudian menikahinya dengan mahar yang rendah. Di kemudian hari laki-laki itu berbuat semena-mena karena menganggap bahwa anak yatim itu tidak memiliki pembela. Oleh karena itu, ayat ini turun dengan tujuan memberantas perilaku keji tesebut. Selain itu pembolehan poligami dalam ayat ini adalah konteks untuk memelihara para janda saat itu yang ditinggal mati oleh suaminya di saat perang uhud.
Seringkali pembolehan poligami ini dikaitkan dengan kasus lebih banyaknya jumlah perempuan daripada laki-laki. Untuk permasalahan ini dibantah oleh Asghar, dalam bukunya yang berjudul The Quran, Women and Modern Society, bahwa di India pada masa itu jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan laki-laki berjumlah 10.000 sedangkan perempuan berjumlah 925. Sehingga poligami tidak diperbolehkan jika hanya dengan alasan ini.
Pembolehan poligami juga sering dijadikan alasan untuk mengontrol nafsu seksual laki-laki. Dengan dalih lebih baik berpoligami daripada melampiaskan nafsu seksualnya dengan berzina. Untuk alasan ini, Amina Wadud mengatakan bahwa alasan ini merupakan alasan yang tidak dibenarkan oleh al Quran. Selaras dengan Amina Wadud, Asghar juga menganggap bahwa alasan ini tidak dibenarkan oleh al Quran, karena pada masa dia hidup prostitusi yang terjadi di India disebabkan oleh faktor kemiskinan.
Surat an Nisa ayat 3 ini juga memiliki kaitan dengan surat an Nisa ayat 20 yang berisi larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada istri untuk biaya poligami dan surat an Nisa ayat 129 yang berisi tentang ketidakmampuan laki-laki untuk berlaku adil pada istri-istrinya jika berlaku poligami. Oleh karena itu, Asghar menyatakan bahwa poligami hanya bisa dibenarkan jika bisa menjamin penggunaan harta anak yatim dan janda dengan benar, bisa berlaku adil kepada para istrinya baik secara materi maupun kasih sayang, dan hanya berpoligami dengan para janda.
(Rosyada Al Fuada)