Hadis

Waspada 12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

Salafusshalih.com – Dalam menyambut bulan suci Ramadan, penting bagi kita untuk memastikan bahwa amalan dan keyakinan kita didasarkan pada hadis-hadis yang sahih.

Sayangnya, terdapat beberapa hadis lemah (daif) dan palsu (mauduk) yang sering beredar di masyarakat terkait keutamaan dan amalan di bulan Ramadan. Berikut adalah beberapa di antaranya:

  1. Hadis: “Awal Ramadan adalah rahmat, tengahnya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.” Hadis ini sering dikutip untuk menggambarkan pembagian fase-fase bulan Ramadan. Namun, hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini daif dalam kitab “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah” (Hadis No. 1569).
  2. Hadis: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.” Meskipun memberikan semangat bagi mereka yang berpuasa, hadis ini juga dinilai lemah. Al-Hafidz Al-Iraqi dalam “Takhrijul Ihya” (1/310) dan Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadis Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 4696) menyatakan kelemahan hadis ini.
  3. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dan melakukan iktikaf selama sepuluh hari, maka ia seperti dua kali haji dan dua kali umrah.” Hadis ini dinilai palsu oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1092) menyatakan bahwa hadis ini maudu’ (palsu).
  4. Hadis: “Barang siapa yang berbuka puasa di bulan Ramadan tanpa uzur, maka ia tidak akan dapat menggantinya meskipun berpuasa sepanjang tahun.” Hadis ini juga dinilai lemah oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1093) menyatakan kelemahan hadis ini.
  5. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dan melakukan i’ktikaf selama sepuluh hari, maka ia seperti dua kali haji dan dua kali umrah.” Hadis ini dinilai palsu oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (hadis n3o. 1092) menyatakan bahwa hadis ini mauduk (palsu).
  6. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1093) menyatakan kelemahan hadis ini.
  7. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dan melakukan i’tikaf selama sepuluh hari, maka ia seperti dua kali haji dan dua kali umrah.” Hadis ini dinilai palsu oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis no. 1092) menyatakan bahwa hadis ini mauduk (palsu).
  8. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1093) menyatakan kelemahan hadis ini.
  9. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dan melakukan iktikaf selama sepuluh hari, maka ia seperti dua kali haji dan dua kali umrah. Hadis ini dinilai palsu oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1092) menyatakan bahwa hadis ini mauduk (palsu).
  10. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1093) menyatakan kelemahan hadis ini.
  11. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dan melakukan i’tikaf selama sepuluh hari, maka ia seperti dua kali haji dan dua kali umrah.” Hadis ini dinilai palsu oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1092) menyatakan bahwa hadis ini mauduk (palsu).
  12. Hadis: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Syaikh Al-Albani dalam “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” (Hadis No. 1093) menyatakan kelemahan hadis ini.
 

Penting bagi kita untuk berhati-hati dalam mengamalkan hadis-hadis yang belum jelas kesahihannya.

(Mohammad Nurfatoni)

Related Articles

Back to top button