Mujadalah

Waspadai Sekolah Wahabi Berkedok Generasi Insan Qurani!

Salafusshalih.com – Sejak Wahabi masuk dengan leluasa ke Indonesia. Tampak kultur Indonesia makin berubah ekstrem. Kecendrungan pengharaman terhadap yang lain makin vulgar. Radikalisasi agama berkedok pemurnian agama menjadi-jadi di segala tempat seperti majelis dan sekolah.

Apa yang tidak sama dan tidak ada seperti di Arab atau zaman Nabi teranggap bid’ah. Oleh sebab itu, menurut Wahabi ini, semuanya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadis. Argumentasi itu memang bagus untuk membalikkan dinamika masyarakat. Namun sering terbentur pada penafsiran yang keras  dan kaku.

Politisasi Agama di Pendidikan

Apalagi argumentasi tersebut terjalankan di dunia pendidikan.  Sudah  sangat banyak contoh bahwa dunia pendidikan di Indonesia  hari  ini  bergerak di bawah bayang-bayang Wahabi yang berwujud radikalisme. Wahabisme dan radikalisasi menjadi sesuatu yang tidak terbantahkan bahwa hari ini tiap-tiap pondok sudah mulai kentara fenomena tersebut.

Mengapa demikian terjadi? Karena dunia pendidikan sangat mudah dimasuki oleh berbagai macam ideologi. Selain masyarakatnya adalah pemuda dan awam, di mana mereka sangat suka dan semangat terhadap ke hal-hal yang baru. Namun juga, pendidikan sangat tergantung kepada guru dan kurikulum yang dijajakan sekolah.

Pendidikan menjadi wadah untuk membuka  nalar  orang  lebih  terbuka.  Akan tetapi, pendidikan juga menjadi lahan untuk menutup nalar orang menjadi hitam dan radikal. Pendidikan di bawah naungan HTI dan Wahabi, lebih berdampak pada yang terakhir.

Saya sudah menuliskan beberapa sekolah dan  pondok  pesantren  yang  dikelola oleh HTI dan Wahabi. Dan menuliskan bagaimana dampak setelah anak-anak kita masuk ke dalam pondok atau rumah tahfiz tersebut. Namun demikian, tulisan-tulisan tersebut kurang berdampak kepada masyarakat bila kita mendiamkannya dan bila hanya berhenti pada kita saja.

Beberapa teman dekat, jika kita beberkan fakta di lapangan bahwa sekolah dan pesantren di bawah naungan salafi, wahabi, HTI sangat berbahaya dan karena itu kalau bisa kita cegah. Namun sebagian kita begitu acuh dan hal itu teranggap angin lalu seperti tidak ada faktanya.

Kita Ikut Mendirikannya

Padahal, jika kita lihat siapa teroris di Indonesia dan latar belakang mereka, ia adalah alumni dari sekolah dan pesantren  salafi Wahabi. Kita boleh melacak di google dengan kata kunci “sekolah Wahabi”.  Pastilah  yang  muncul  sangat berjibun di Indonesia dan kemungkinan yang mondok di dalamnya adalah saudara-teman-teman kita sendiri.

Maka, jangan heran kalau teman-teman kita mendadak berbahasa  akhi,  ukhti, ana, dan antum. Tapi perilakunya  mereka  mengkafirkan  dan  mesyirikkan  kita atau budaya orang tua kita sendiri. Belum lagi busana dan cara memahami agama dan kenegaraan kita.

Secara tidak sadar, kita kerap kali tidak menyadari gejala tersebut dan perubahan itu dianggap biasa saja. Padahal, itu adalah wajah baru atau tampilan awal bagaimana gejala ajaran Wahabi menancap dalam diri orang. Jika kita terkesima kepada penampilan yang berbau Arab. Itulah awal kelalaian kita sebagai pecinta Indonesia yang damai dan toleran. Mereka telah didoktrin sesuai pemahaman mereka yang suka mengafirkan.

Sekolah radikal ini menyasar kepada orang kampung, preman, dan juga kepada orang menduduki wilayah stategis. Mereka ini juga sering mengiming-imingi beasiswa. Untuk menarik minat peserta didik, mereka mengiming-imingi beasiswa khusus, gratis biaya pembelajaran selama beberapa tahun, atau tawaran lainnya. Hingga akhirnya banyak kalangan yang terbujuk masuk ke dalam dan tak kembali keluar.

Kita mudah tergiur dengan metode atau sistem pendidikan dan tawaran beasiswa Wahabi. Kita kemudian berangkat ke masing-masing sekolah, pesantren atau kampus yang mereka tawarkan seperti LIPIA dan sejenisnya. Namun  tidak  kita tidak menyadari bahwa kita ikut mandi di dalamnya. Kita mulai jajtuh hati, kemudian anak-anak dan saudara kita diarahkan untuk  terlibat  ke  sana.  Dan secara sadar menjamur dan digdayanya keberadaan Wahabi di Indonesia, kita sesungguhnya yang ikut mendirikannya.

(Agus Wedi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button