Bagaimana Nikah Gantung Dari Kacamata Islam?
Salafusshalih.com – Media sosial sempat dihebohkan dengan berita pernikahan pasangan yang masih sangat muda. 19 tahun usia mempelai pria dan 17 tahun untuk mempelai perempuan. Ini menimbulkan beragam reaksi publik. Ada yang mengaitkan dengan UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan amandemen dari UU Nomor 1 Tahun 1974, yang menetapkan batas minimal usia pernikahan di Indonesia adalah 19 tahun. Menurut undang-undang ini, pernikahan di bawah usia tersebut hanya dapat dilakukan jika ada alasan mendesak.
Setelah berita ini viral, salah satu anggota keluarga memberikan klarifikasi. Dijelaskan meskipun sudah menikah, pasangan muda ini akan tetap melanjutkan pendidikan masing-masing. Selain itu, mereka tidak akan tinggal bersama, dan resepsi pernikahan baru akan diadakan pada 2026. Dilansir NU Online, dalam budaya Indonesia pernikahan sebagaimana tersebut disebut dengan nikah gantung. Terjadi di beberapa daerah di Indonesia, anak lelaki kecil yang masih berumur 10 tahun dan masih duduk di bangku kelas IV SD, dikawinkan dengan anak perempuan yang juga masih kecil secara agama (syar’i), tetapi tidak didaftarkan ke KUA. Perkawinan itu dilakukan untuk menggantung (mengikat) agar kelak dewasa tidak berjodoh dengan orang lain.
Sederhananya, nikah gantung adalah pernikahan yang mana kedua mempelai setelah menikah belum tinggal satu rumah atau tinggal di rumah orang tua masing-masing dan belum adanya penuntutan hak dan pemenuhan kewajiban suami istri sebelum pelaksanaan resepsi pernikahan.
Lantas bagaimana sebenarnya hukum nikah gantung?
Terlepas dari motif atau alasan pernikahan pasangan muda-mudi di atas, sebenarnya masalah nikah gantung telah dibahas secara tuntas pada forum tertinggi Nahdlatul Ulama 14 tahun silam. Tepatnya pada Forum Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyah Muktamar NU ke 32 pada 23 – 27 Maret 2010/6-12 Rabiuts Tsani di Makasar, permasalah nomor VII dengan judul “Batas Usia Minim Pria dan Wanita untuk Menikah”.
Berikut poin-poin jawabannya: Kawin gantung hukumnya sah jika terdapat maslahah dan ijab qabul dilakukan oleh wali mujbir serta memenuhi syarat dan rukun nikah lainnya. Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan usia pernikahan dalam Islam. Akan tetapi sebaiknya pernikahan dilakukan setelah usia baligh.
Kawin gantung belum memiliki akibat hukum sebagaimana nikah pada umumnya, kecuali dalam hak waris dan pemberian nafkah menurut sebagian ulama. Sedangkan bersetubuh menunggu sampai kuat disetubuhi.
Di antara yang dijadikan dalil dari jawaban di atas adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah ra:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِسِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
Artinya: “Dari Aisyah beliau berkata, “Rasulullah saw menikahiku ketika aku berusia enam tahun, dan memulai kehidupan rumah tangga denganku ketika aku berusia sembilan tahun.” (HR Muslim)
Imam An-Nawawi pensyarah hadits tersebut menjelaskan:
هَذَا صَرِيحٌ فِي جَوَازِ تَزْوِيجِ الْأَبِ الصغيرة بغير إذنها لِأَنَّهُ لَا إِذْنَ لَهَا. وَالْجَدُّ كَالْأَبِ عِنْدَنَا … وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّافِعِيَّ وَأَصْحَابَهُ قَالُوا يستحب أنْ لَا يُزَوِّجَ الْأَبُ وَالْجَدُّ الْبِكْرَ حَتَّى تَبْلُغَ وَيَسْتَأْذِنُهَا لِئَلَّا يُوقِعَهَا فِي أَسْرِ الزَّوْجِ وَهِيَ كَارِهَةٌ. وَهَذَا الَّذِي قَالُوهُ لَا يُخَالِفُ حديث عائشة لِأَنَّ مُرَادَهُمْ أَنَّهُ لَا يُزَوِّجُهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ إِذَا لَمْ تَكُنْ مَصْلَحَةٌ ظَاهِرَةٌ يَخَافُ فَوْتَهَا بالتأخير كحديث عائشة، فيستحب تحصيل ذلك الزوج لِأَنَّ الْأَبَ مَأْمُورٌ بِمَصْلَحَةِ وَلَدِهِ فَلَا يُفَوِّتُهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Artinya: “Hadits ini secara jelas menunjukkan kebolehan seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil tanpa izinnya, karena ia belum memiliki hak untuk memberikan izin, dan kakek dianggap sama dengan ayah menurut kami. Ketahuilah bahwa Imam As-Syafi’i dan para pengikutnya mengatakan disunnahkan agar ayah dan kakek tidak menikahkan gadis yang masih perawan hingga ia mencapai usia baligh dan meminta izinnya, agar ia tidak menjadi istri (tawanan suami), sementara ia membencinya. Apa yang mereka katakan ini tidak bertentangan dengan hadits Aisyah, karena maksud mereka adalah tidak menikahkannya sebelum baligh kecuali jika ada maslahat yang jelas yang ditakutkan akan hilang jika pernikahan ditunda, seperti dalam hadits Aisyah. Jadi, dianjurkan untuk segera mendapatkan pasangan tersebut, karena seorang ayah diperintahkan untuk menjaga kemaslahatan anaknya dan ia tidak boleh membiarkan maslahat itu hilang.” (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut, Ihya’ Turats: 1392 H] juz IX, halaman 206).
Lebih lugas, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam Madzhab Syafi’i kebolehan menikahkan anak kecil jika ditemukan adanya maslahat. Adapun kebolehan seorang ayah menikahkan putrinya yang masih kecil dengan tanpa izinnya jika memenuhi 7 syarat. Berikut selengkapnya:
وكذلك اشترط الشافعية في تزويج الصغير وجود المصلحة، وفي تزويج الأب الصغيرة أو الكبيرة بغير إذنها شروطاً سبعة هي: الأول ـ ألا يكون بينه وبينها عداوة ظاهرة. الثاني – أن يزوجها من كفء. الثالث ـ أن يزوجها بمهر مثلها. الرابع ـ أن يكون من نقد البلد. الخامس ـ ألا يكون الزوج معسراً بالمهر. السادس ـ ألا يزوجها بمن تتضرر بمعاشرته كأعمى وشيخ هرم. السابع ـ ألا يكون قد وجب عليها الحج، فإن الزوج قد يمنعها لكون الحج على التراخي، ولها غرض في تعجيل براءتها
Artinya: “Ulama Mazhab Syafi’i menetapkan bahwa dalam pernikahan anak kecil harus adanya kemaslahatan, dan untuk menikahkannya seorang ayah kepada anak perempuan, baik yang kecil maupun yang besar tanpa izinnya, terdapat tujuh syarat: Tidak boleh ada permusuhan yang nyata antara ayah dan anak perempuan tersebut. Menikahkannya dengan seorang yang sepadan (kufu). Mahar yang diberikan adalah mahar mitsli. Mahar harus berupa mata uang lokal. Suami tidak boleh dalam keadaan sulit (miskin) soal mahar. Tidak boleh menikahkannya dengan seseorang yang dalam keadaan dapat membahayakan ekonominya, seperti orang buta atau orang tua yang sudah sangat lanjut usia. Anak perempuan tersebut tidak boleh telah wajib menunaikan ibadah haji, karena suami dapat menghalanginya, mengingat haji dapat dilakukan di waktu yang lain, dan dia memiliki kepentingan untuk segera menyelesaikan kewajiban tersebut.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz IX, halaman 174).
Dari paparan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa nikah gantung dalam perspektif hukum Islam hukumnya boleh dan sah selama memenuhi ketentuan-ketentuannya. Islam tidak membatasi usia minimal pernikahan, hanya saja mengharuskan adanya kemaslahatan yang jelas dari pernikahan tersebut. Dalam hal ini wali mujbirnya (ayah atau kakek mempelai wanita) yang lebih mengetahuinya.
Pun demikian, dalam konteks budaya Indonesia, secara umum kemaslahatan pernikahan dapat tercapai bila kedua mempelai telah berusia 19 tahun sebagaimana diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019. Wallahu a’lam.
(Muhamad Hanif Rahman)