Mujadalah

Tragedi Pembakaran Buku Dinasti Abasiyah: Pemusnahan Warisan Intelektual

Salafusshalih.com – Dinasti Abbasiyah yang berkuasa dari tahun 750 hingga 1258 M, sering dianggap sebagai masa keemasan peradaban Islam, terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebudayaan. Baghdad yang saat itu menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah menjadi pusat intelektual dunia melalui pendirian Baitul Hikmah atau House of Wisdom. Di tempat ini, karya-karya filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan pemikiran rasional berkembang pesat.

Namun di balik kejayaan tersebut, Dinasti Abbasiyah harus menghadapi kenyataan pahit. Konflik politik dan perselisihan kepentingan di kalangan internal Abbasiyah menyebabkan banyak karya penting yang menjadi warisan budaya dan intelektual menjadi hilang begitu saja. Tragisnya lagi, serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan menandai akhir kejayaan Abbasiyah, dengan membumihanguskan Baghdad serta menghancurkan jutaan buku dan manuskrip di Baitul Hikmah.

Semua bermula ketika kebijakan keagamaan Khalifah Al-Mutawakkil (memerintah 847–861 M) berbeda secara signifikan dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Al-Mutawakkil dikenal sebagai salah satu khalifah Dinasti Abbasiyah yang secara tegas menentang ajaran Mu’tazilah dan filsafat rasional. Mu’tazilah adalah aliran teologis yang menekankan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama dan mendorong pendekatan rasional terhadap teks-teks agama, termasuk Al-Qur’an.

Tiga khalifah sebelumnya, yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq, menjadikan pemikiran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Mu’tazilah mendominasi pemerintahan dan menerapkan kebijakan mihnah (ujian keimanan) yang ketat. Kebijakan ini memaksa ulama dan cendekiawan untuk mengakui doktrin Mu’tazilah, pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan di kalangan tradisionalis yang merasa tertekan oleh kontrol pemerintah terhadap keyakinan mereka.

Sebagai reaksi terhadap doktrin Mu’tazilah, Al-Mutawakkil mengambil sikap yang berlawanan dengan tiga khalifah pendahulunya. Ia menghentikan mihnah, menarik dukungan resmi terhadap Mu’tazilah, dan mulai mendukung pandangan Sunni tradisional yang menentang dominasi pemikiran rasional.

Kebijakan anti-filsafat Al-Mutawakkil ini tidak hanya mengakhiri dukungan terhadap Mu’tazilah, tetapi juga menjadi titik awal bagi represi yang lebih luas terhadap para pemikir dan filsuf yang mengedepankan rasionalitas. Al-Mutawakkil memandang filsafat, terutama yang berakar dari tradisi Yunani, sebagai ancaman yang berpotensi merusak keimanan masyarakat. Akibatnya, buku-buku filsafat dan karya-karya yang dianggap dapat menimbulkan keraguan teologis di kalangan masyarakat menjadi sasaran penghancuran.

 

Dalam kitab Tarikh al-Khulafa, Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan biografi Al-Mutawakkil dengan langsung menegaskan bahwa sang Khalifah menolak teologi filsafat dan menggantinya dengan paham tradisionalis. Al-Mutawakkil mulai mereformasi teologi resmi negara, para ulama Ahli Hadits yang sebelumnya mendapat tekanan dari pemerintahan terdahulu, dipanggil ke istana untuk merumuskan dan meresmikan paham Sunni sebagai ideologi ortodoks yang mendapat pengakuan resmi dari negara (as-Suyuthi, hal. 252).

Sebagaimana diketahui, ulama Ahli Hadits dan kelompok Mu’tazilah memiliki perbedaan ideologis yang kontras, misalnya dalam isu Khalqul Qur’an dan penafsiran sifat-sifat Allah. Ahli Hadits meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan, bersifat kekal dan abadi. Menurut mereka, menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk sama saja dengan merendahkan keagungan Allah sebagai Sang Pencipta. Ahli Hadits juga menerima sifat-sifat Allah sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadits secara literal, meyakini bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dibandingkan dengan makhluk mana pun.

Sebaliknya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Mereka berargumen bahwa jika Al-Qur’an tidak diciptakan, hal itu akan bertentangan dengan konsep keesaan dan kekuatan Allah. Mu’tazilah menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami ajaran Islam dan menolak sifat-sifat Allah yang terpisah dari diri-Nya untuk menghindari tasybih (perbandingan dengan makhluk).

Perbedaan ini mencerminkan dua pendekatan yang berbeda. Ahli Hadis mengutamakan tradisi dan teks, sementara Mu’tazilah menekankan penggunaan akal. Dinamika ini menghasilkan keragaman dalam pemikiran teologis Islam yang terus berlanjut hingga saat ini.

Pembakaran Buku sebagai Kontrol Intelektual

Di bawah kepemimpinan Al-Mutawakkil, praktik pembakaran buku mulai diterapkan sebagai bentuk kontrol intelektual. Tujuannya adalah menghilangkan akses terhadap ide-ide yang dianggap bertentangan dengan pandangan ortodoks negara. Pembakaran ini tidak hanya menyasar buku-buku Mu’tazilah, tetapi juga karya-karya filsafat yang mengandung pandangan rasionalistis. Beberapa di antaranya adalah teks-teks filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan karya pemikir seperti Al-Kindi, yang dikenal sebagai “Filsuf Arab” pertama.

 

Dengan memusnahkan buku-buku yang dianggap berbahaya, Al-Mutawakkil berupaya menjaga stabilitas ideologi keagamaan yang dipromosikan negara dan membatasi masyarakat pada pandangan tradisional yang tidak menekankan peran akal. Pembakaran buku-buku filsafat ini mencerminkan ketakutan penguasa terhadap kebebasan intelektual yang dianggap dapat memicu pemikiran kritis dan penolakan terhadap otoritas.

Setelah Al-Mutawakkil, para khalifah yang meneruskan ortodoksi Sunni juga menerapkan hal yang sama, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah al-Mu’tadid (bertakhta 892–902 M), Khalifah al-Qadir Billah (bertakhta 991–1031 M), Khalifah al-Qa’im (bertakhta 1031–1075 M), Khalifah al-Muqtafi (bertakhta 1136–1160 M), dan Khalifah an-Nasir (bertakhta 1180–1225 M).

Sejarawan Islam klasik Ibn al-Atsir (1160–1233 M) dalam Al-Kamil fi al-Tarikh, melaporkan bagaimana selama masa pemerintahan Al-Qadir Billah, Dinasti Abbasiyah menegakkan ortodoksi Sunni dengan membakar buku-buku berbau filsafat, paham Mu’tazilah, dan ilmu perbintangan. Filsafat Yunani dan ilmu perbintangan sering dianggap sebagai ancaman terhadap ortodoksi Sunni karena pendekatannya berbasis rasionalitas dan logika.

Karya-karya ini dipandang bisa merusak keimanan dan menantang interpretasi agama yang tradisional. Dengan membakar buku-buku tersebut, Al-Qadir Billah berusaha mencegah pengaruh pemikiran asing yang dianggap berbahaya bagi masyarakat Muslim.

Selain itu, Al-Qadir juga mengambil langkah tegas terhadap sekte Batiniyah. Diketahui, Batiniyah adalah sekte Syiah Ismailiyah yang dianggap oleh penguasa Abbasiyah sebagai ancaman besar karena aktivitas mereka yang sering kali bersifat subversif dan memprovokasi stabilitas politik. Sekte ini kerap terlibat dalam gerakan rahasia yang menentang otoritas Sunni dan Abbasiyah. Al-Qadir Billah melihat, perlu ada tindakan tegas untuk mencegah penyebaran pengaruh mereka (Ibn al-Atsir, juz 9, hal. 372).

 

Musnahnya Baitul Hikmah

Tragedi pembakaran buku sebagai bentuk penjegalan kebebasan intelektual tidak hanya terjadi karena konflik kekuasaan di internal Abbasiyah atau kebijakan ortodoksi paham keagamaan yang represif, tetapi juga diakibatkan serangan pihak luar yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Abbasiyah dan perpustakaan riset terkenalnya, Baitul Hikmah.

Di akhir kejayaan Abbasiyah, tepatnya pada masa kepemimpinan Khalifah Al-Musta’sim Billah pada tahun 1258, Dinasti Abbasiyah dilucuti habis oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan yang menyerbu kota Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. Perpustakaan yang menjadi simbol peradaban Islam itu musnah bersamaan dengan tumpahnya darah umat Muslim Baghdad.

Sejarawan Islam modern, Dr. Inas Muhammad al-Bahiji, dalam Tarikh al-Mughul wa Ghawu al-Dauwal al-Islamiyah mengenang peristiwa tragis ini. Disebutkan, ada jutaan koleksi buku dan manuskrip dari Baitul Hikmah yang dibakar dan dihanyutkan ke Sungai Tigris (Nahru Dajlah). Air sungai itu sampai berwarna hitam dan merah, warna hitam karena tinta buku-buku yang luntur dan warna merah karena darah masyarakat Baghdad yang mengalir bersama derasnya arus Tigris (al-Bahiji, 221).

Bagi bangsa Mongol, Baitul Hikmah adalah simbol kejayaan intelektual dan budaya Islam. Dengan menghancurkan perpustakaan tersebut, mereka tidak hanya menaklukkan secara fisik, tetapi juga berusaha menghapus warisan budaya yang telah dibangun selama berabad-abad.

Dari dinamika pemusnahan warisan intelektual ini, kita bisa merenungkan betapa konflik politik, kekuasaan, dan peperangan sering kali menjadi batu sandungan bagi kemajuan peradaban. Bayangkan seandainya Baitul Hikmah masih berdiri kokoh hingga hari ini, betapa luar biasa potensi umat Islam yang terpendam, dengan pengetahuan dan kebijaksanaan yang tak ternilai.

 

(Muhamad Abror)

Related Articles

Back to top button