Fikih

Benarkah Pernikahan Beda Agama Sebagai Ungkapan Toleransi?

Salafusshalih.com – Kasus pernikahan beda agama saat ini semakin marak diperbincangkan. Praktik ini mulai menjadi pembahasan setelah viralnya video pernikahan beda agama di sebuah gereja di Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Banyak dijumpai perdebatan dari para ahli pemikir mengenai hukumnya. Beberapa diantaranya ada yang berpendapat bahwa menikah beda agama merupakan puncak toleransi antar umat agama. Lantas, benarkah nikah beda agama sebagai ungkapan toleransi?

Dalam Islam, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, mulai dari perbedaan suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat istiadat, budaya sampai agama. Doktrin ini telah ditanamkan kepada umat Islam melalui firman Allah Swt:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [QS. Al-Hujurat: 13]

Imam Fakhrurrazi membagi tiga bentuk interaksi dengan non-muslim. Pertama, bergaul dan berinteraksi kepada non-muslim di samping juga ridha terhadap kekafirannya. Hal ini dilarang karena membenarkan kekafirannya. Bahkan golongan pertama ini dihukumi kafir. Kedua, berinteraksi dengan non-muslim hanya sebatas hubungan sosial kemasyarakatan saja. Ini tidak dilarang. Ketiga, adanya interaksi yang lebih intens kepada non-muslim. Dalam artian membantu dan menolong mereka atas dasar kedekatan atau kasih sayang yang telah terjalin, tapi tetap mengingkari kekufuran mereka. Maka yang ketiga ini dilarang saja tapi tidak menyebabkan kekafiran.

Dari ketiga pembagian ini, ranah toleransi dalam Islam hanya pada interaksi yang tidak sampai pada tingkatan membenarkan kekufuran non-muslim. Nikah beda agama tidak bisa disebut sebagai bentuk toleransi yang tepat. Sebab implikasinya tidak hanya berkaitan kepada sepasang suami dan istri, melainkan juga berpengaruh pada anak keturunan masing-masing pasangan. Nikah beda agama ini menyebabkan adanya keinginan salah satu pihak untuk mengislamkan dan ada pula pihak lain yang ingin membaptis.

Konsep toleransi seperti ini dilarang, karena dalam hal i’tikad tidak boleh ada campuran atau perpaduan dari sistem-sistem kepercayaan yang berbeda. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢبَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Artinya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [QS. Ali Imran :19]

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa nikah beda agama tidak bisa disebut sebagai bentuk toleransi yang tepat. Sebab implikasinya tidak hanya berkaitan kepada sepasang suami dan istri, melainkan juga berpengaruh pada anak keturunan masing-masing pasangan. Wallahu a’lam.

(Zainal Abidin)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button