Dampak Mudah Mengkafirkan Secara Serampangan
Salafusshalih.com – Islam adalah agama yang menjunjung tinggi persaudaraan dan toleransi. Ajaran Islam dengan tegas melarang umatnya untuk saling mengkafirkan. Sikap mengkafirkan sesama muslim bukan hanya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga dapat merusak ukhuwah Islamiyah dan memecah belah umat.
Memvonis kafir atau menuduh seseorang sebagai kafir merupakan tindakan yang sangat dilarang secara tegas jika dilakukan secara sembarangan. Rasulullah, dalam berbagai haditsnya, menekankan pentingnya kehati-hatian dalam mengucapkan kalimat kafir yang di peruntukkan kepada seseorang terutama saudara seagama, dan menunjukkan bahwa menuduh seseorang kafir tanpa dasar yang kuat adalah sebuah dosa besar yang dapat berbalik kepada pelakunya.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya” (Muttafaq ‘Alaih).
Hadits diatas memperingatkan kita bahwa menuduh seseorang kafir tanpa bukti yang jelas tidak hanya salah tetapi juga berisiko bagi pelakunya sendiri. Beratnya dosa yang terkandung dalam tindakan takfîr secara sembarangan, yang tidak hanya menimbulkan dampak spiritual tetapi juga sosial.
Terdapat cerita yang terjadi pada masa hidup Rasulullah, suatu ketika, pasukan Muslim yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari bertemu dengan ‘Amir bin Al-Athbat, yang menyapa mereka dengan salam. Namun, salah seorang prajurit, Muhallim bin Juttsamah, salah menilai dan membunuhnya karena menganggapnya tidak beriman.
Peristiwa ini sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan menimbulkan turunnya ayat Al-Qur’an: “Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’” (An-Nisa: 94). Rasulullah sangat menyesalkan tindakan Muhallim dan bahkan menegaskan bahwa Allah tidak akan mengampuninya, sebagai pelajaran berharga bagi umat Muslim.
Contoh ini menggambarkan betapa beratnya dampak dari vonis kafir yang serampangan. Menuduh seseorang kafir tanpa bukti yang sah bisa mengakibatkan kerugian besar dan ketidakadilan. Dalam situasi damai seperti sekarang, risiko ini semakin besar karena tidak adanya konflik terbuka yang dapat mengaburkan penilaian.
Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk mudah mengkafirkan orang lain. Pertama, Faktor Psikologis. Seseorang yang merasa sebagai minoritas, karena dianggap berbeda sudut pandang dalam beragama, mereka merasa diserang atau dianggap aneh.
Cara alami seseorang yang merasa tersudut adalah dengan mengkritik mereka yang berbeda dengan apa yang mereka yakini. Dengan cara menyerang, mereka merasa dirinya lebih kuat dan mereka akan lebih aman. Mengkafirkan orang lain adalah cara seseorang untuk merasa lebih baik tentang dirinya sendiri ketika merasa tidak yakin atau terancam.
Kedua, Faktor Sosial. Tekanan dari kelompok sosial, dapat mendorong seseorang untuk mengkafirkan orang lain. Dalam masyarakat yang plural, konflik identitas dapat memicu sikap intoleransi. Ketika identitas kelompok atau agama merasa terancam, anggota kelompok cenderung memperkuat batas-batas kelompok dan mengkafirkan orang luar.
Ketiga, Faktor Teologis. Cara seseorang menginterpretasikan teks-teks agama dapat sangat mempengaruhi sikapnya terhadap orang lain. Interpretasi yang literal dan kaku dapat mengarah pada pandangan yang eksklusif dan intoleran. Pemahaman tentang konsep kafir itu sendiri sangat bervariasi, definisi yang sempit dan rigid tentang kafir dapat memicu sikap eksklusif.
Karena itu para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sangat berhati-hati dalam menilai kekufuran seseorang. Mereka menekankan bahwa kesalahan dalam tidak memvonis kafir lebih baik daripada kesalahan dalam memvonis kafir pada seorang mukmin. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga adab dan kehati-hatian dalam menyikapi masalah keimanan.
Dalam rangka menjaga harmoni dan keadilan di tengah umat, sangat penting bagi kita untuk tidak terburu-buru dalam menilai seseorang sebagai kafir. Kesalahan dalam hal ini dapat menimbulkan dampak yang serius dan merusak. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari ajaran Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan senantiasa menjaga sikap adil dan bijaksana dalam menilai keimanan sesama.
(Novi Nurul Ainy)