Inklusivitas Beragama Melawan Eksklusivitas Beragama di Indonesia
Salafusshalih.com. Mencermati dinamika sosial-politik dan dakwah keagamaan mutakhir, yang ditandai dengan menguatnya politik identitas kuamatan yang dibumbuhi dengan narasi keagamaan, bahkan kebencian, kita perlu merapatkan barisan dengan meningkat persaudaraan, tali silaturrahim, kohesi sosial dan mengaktualisasikan dakwah berasas cinta demi harmonisnya kebangsaan.
Penyerapan pemahaman dakwah keagamaan dan kebangsaan dan mazhab-mazhab lain di luar menjadi kunci dalam aktivitas kehidupan. Agar, ia menjadi pandu dalam perjalanan kehidupan kita dan umat manusia, bukan hanya pada lanskap dunia, tetapi juga pada akhirat.
Relasi keduanya adalah sebagai jalan utuh untuk tumbuhnya sikap toleransi, ingklusivisme, sadar diri, dan terbuka dalam menerima perbedaan, serta dapat menghindarkan caci maki dan perilaku yang tidak mencerminkan bagaimana Islam.
Kesadaran itu saling mengukuhkan lapisan umat manusia tentang perbedaan pemahaman dan keyakinan. Secara praktis juga timbul rasa empati pada kasus-kasus bom bunuh diri atas nama agama, mengkafirkan sesama, bahkan ke caci-maki antar pemeluk agama dan umat manusia. Dari problem itulah prinsip Islam mengalami keterbukaan atau kritikan.
Bahkan, pada tanggal 4 Februari 2019, Al-Azhar dan Vatikan menandatangani dokumen persaudaraan umat manusia di Abu Dhabi, yang kemudian disebut “Deklarasi Abu Dhabi”. Penandatanganan dua komunitas besar itu diharapkan dapat mendamaikan dan merajut niat bekerjasama mengatasi tantangan kemanusiaan, termasuk musuh umat manusia berupa terorisme (Kompas, 6 Februari 2019).
Ritus Islam di Indonesia
Namun tak bisa dimungkiri pada sanjakala abad modern kini, esensi Islam mulai terabaikan, bahkan mengalami kekacauan. Disadari atau tidak, dimensi agama meluap namun jauh dari laku kesalehan. Ritus dakwah agama Islam tampak membuncah, tetapi lupa pada derma Islam, yang sejatinya mengajarkan welas asih yang menjadi tetirah antar kelompok, agama, sesama. Seperti yang disimbolkan oleh tokoh Zarathurusta, Nietzsche, “agama sudah mati!”
Realitas yang terjadi akhir-akhir ini Islam santun menjadi Islam keras lewat keterpautan paham-paham ekstrim yang lemah akan sejerah Islam dan lemah di perihal ajaran furu Islam. Di sini, pendekatan-pendekatan Islam jauh dari kedermawanan dan hanya berkelindan ditengah krisis akhlak manusia yang defisit spritualisme, sehingga penganut agama menjadi kegamangan.
Haidar Bagir dalam buku versi terbarunya Islam Tuhan Islam Manusia: Agmana dan Spritualitas di Zaman Kacau (2019), menyebut ikhwal itu dengan “dunia kita sedang meluruh dan zaman kacau” yang merindukan nilai spirit spritualisme dan Islam cinta. Falsafah kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama, yang memuat nilai filosofis dan ideologis tak menuai perubahan dan masih membekam di sikap parsial. Bergerak menjadi sentrifugal atau seperti kata Haidar Baqir, “inilah zaman kemerlimpahan kegalauan, negeri tuna budaya, yang puncaknya penganut agama berada di zaman kacau hingga terpapar ideologis radikalisme-takfiri ”.
Menurut Haidar Bagir, maraknya sikap takfirisme yang lahir dari kelompok ektremisme keagamaan juga dipantik dengan ketimpangan ekonomi-sosial, kekacauan politik, sistem pendidikan yang rapuh. Kendati itu yang memperparah keadaan umat Islam mutakhir (meski tak semua). Inilah kelemahan peradaban Islam terkait dengan hakikat agama itu sendiri yang perlu di obati dan dipulihkan demi persatuan umat beragama, baik Islam maupun umat yang lain sehingga tak timbul kecemburuan sosial.
Oleh karena itu, Haidar Bagir memberi resep pada konflik-konflik yang makin terbuka di beberapa sekte atau mazhab itu dengan menyodorkan asas cinta spritualitas Islam. Itu sejatinya menyadarkan kita bahwa hubungan manusia dengan manusia lain disandarkan pada asas cinta-kasih dan menolak pada kemungkaran (nahi mungkar).
Menolak kemungkaran harus dijauhkan dari sikap represif, kasar, pembunuhan dan lebih mengutamakan cara-cara persuasif dan kebijaksanaan dalam mengambil upaya penyadaran atau tindakan. Bahkan, menurut Haidar Bagir, amar makruf nahi mungkar ini selalu dan harus memiliki kesadaran budaya, kemasyarakatan, dan historisitas (kondisi) sosial sebagai bekal upaya yang dijalankannya, melalui penjangkaran sikap-sikap budi luhur agung, hati lapang, sabar, dan lakon kebaikan, seperti dalam ayat (QS al-Taubah [9]:112). Dan menurutnya, itu yang ajarkan dalam beragama.
Kebebasan dan Inklusivitas Agama
Mengenai posisi umat manusia dalam beragama dan posisi agama di antara umat ada di dua katub: agama Tuhan (hanya Tuhan yang tahu) dan agama manusia (Tuhan dan manusia yang tahu). Agama Tuhan yang diturunkan atau berasal dari Tuhan yang berpindah kepada wilayah manusia, harus ditafsirkan dalam konteks manusia. Sebab seperti kata Haidar Bagir, manusia tidak akan pernah bisa bicara tentang agama, kecuali dalam konteks manusia. Agama yang dikhususkan untuk manusia selaiknya tak (boleh) dilepaskan dari unsur-unsur atau kebutuhan manusia, begitu juga negara tak boleh lepas dari unsur kemanusiaan-kesejahteraan-berkeadilan. Itulah cara beragama dan bernegara kita yang diperoleh dari tuntuan Pancasila.
Poin paling penting, menurut Haidar Bagir, pada zaman kacau ini adalah dakwah keagamaan harus selalu mempromosikan wacana toleransi nan santun yang berorentasi pada prinsip dasar Islam cinta dan menegakkan wasathiyyah atau umat yang moderat seperti yang digambarkan dalam surah (QS al-Baqarah [2]: 143). Dengan demikian, etika dakwah Islam harus didasarkan pada prinsip moderasi, keadilan, dan bersifat rasional. Bukan semata-mata yang hedonistik, utilitarianistik, dan deontologis. Etika dakwah semata-mata harus mendasar ke ragawi yang sejalan pada prinsip Islam dalam surat al-Rahman: 7. “meletakkan neraca keadilan”, sehingga, pemangku agama merasai surga yang dicita-citakan tercipta di dunia, kebahagiaan, kenyamanan, keasyikan, dan kesejahteraan.
Dengan berislam berbasis cinta yang bersumber spritualitas, menjadi kunci keberlimpahan berkah bagi sesama. Maka, seperti kata Haidar Bagir sudah waktunya rukun Islam dan rukun Iman dikembalikan kepada puncaknya, yakni rukun Ihsan pilar cinta agama. Kendati, seperti sabda Nabi “cinta adalah asasku” yang menjadi alasan kita menjejaki agama Islam di semesta ini. Cinta sebagai asas manusia beragama untuk mencintai semua.
(Agus Wedi)