Mujadalah

Menjadi Teroris, Takdir Atau Nasib?

Salafusshalih.com. Sudah tak asing lagi diskusi soal takdir dan nasib. Kedua isu ini tak kunjung selesai dibahas, mulai zaman klasik hingga zaman teknologi sekarang. Pertanyaannya, menjadi teroris itu takdir atau nasib?

Menjawab pertanyaan tersebut, penting terlebih dahulu mengetengahkan pengertian takdir dan nasib. Pengertian kedua isu ini debatable, terus-menerus diperdebatkan. Ada yang fatalis memahami bahwa takdir dan nasib memang sudah keputusan dari Tuhan. Ada yang rasionalis berpandangan, bahwa takdir dan nasib adalah pilihan masing-masing manusia.

Saya menduga, kelompok teroris merasa bangga menyandang status “teroris” karena mereka berkeyakinan bahwa segala yang mereka lakukan adalah ketentuan dari Tuhan. Sehingga, perbuatan mereka merasa dibenarkan di sisi-Nya. Padahal, tidak demikian. Menjadi teroris itu pilihan. Tidak ada peran Tuhan di tengah keputusan mereka.

Jika boleh saya menyebut terorisme adalah kufur, maka sangat jelas disebutkan dalam surah al-Kahfi ayat 29: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.

Pada ayat tersebut digambarkan takdir dan nasib dengan tegas. Menjadi mukmin atau kafir adalah pilihan masing-masing manusia. Jika mereka mematuhi perintah Allah, niscaya mereka akan memiliki nasib yang baik (mukmin). Sebaliknya, jika mereka melanggar perintah-Nya, niscaya mereka terjebak dalam kekufuran (terorisme).

Pada ayat tadi ditegaskan pula, bahwa kebenaran (bukan terorisme) datangnya dari Tuhan. Tuhan memiliki sifat al-Quddus atau suci dari sifat-sifat yang tercela. Salah satunya, aksi-aksi terorisme. Segala keburukan perbuatan manusia itu bukan atas peran Tuhan, melainkan atas peran diri mereka masing-masing.

Oleh sebab itu, tidak dibenarkan klaim kelompok teroris yang seringkali berlindung di bawah instrumen agama. Mereka mengklaim aksi-aksi terorisme adalah jihad dan mencegah kemunkaran yang diperintahkan dalam Islam. Padahal, jihad yang dimaksud bukanlah seperti mereka pahami.

Jihad itu erat-kaitannya dengan kemaslahatan. Pertanyaannya, apakah aksi-aksi terorisme membawa kemaslahatan umat? Tidak perlu banyak berpikir, pasti jawabannya tidak. Terorisme justru menghadirkan kemafsadatan. Sebut saja, hilangnya jiwa manusia yang semestinya dijaga, rusaknya tatanan bumi yang dilarang dirusak, dan lain sebagainya.

Maka, jika kelompok teroris berdalih bahwa segala perbuatan teror mereka disebut-sebut sebagai jihad, amar ma’ruf nahi munkar, dan lain-lain, semua itu bohong. Mereka memang pintar bersilat lidah. Bahkan, mereka pandai menafsirkan teks Al-Qur’an sesuai hawa nafsunya.

Kelompok teroris sesungguhnya merasa benar dalam kesesatannya sendiri. Mereka terjebak dalam takdir yang mereka tentukan sendiri. Sehingga, takdir itu menjadi nasib nahas mereka. Masihkah mereka punya kesempatan bertobat? Selagi belum terlambat, Tuhan masih menerima penyesalan mereka. Dan, sudah banyak mantan teroris yang bertobat dari paham membahayakan tersebut.[] Shallallah ala Muhammad.

(Khalilullah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button