Tsaqofah

Kearifan Lokal Berbasis Islam Sebagai Kunci Harmonisasi Masyarakat

Salafusshalih.com – Sebagai sebuah negara besar, baik dari luas wilayah maupun jumlah penduduk, Indonesia kaya akan budaya, tradisi, agama atau kepercayaan, suku, bahasa, dan elemen pembentuk masyarakat lainnya. Semua itu melahirkan khazanah kearifan lokal. Di mana kearifan lokal adalah nilai-nilai maupun kebiasaan masyarakat lokal yang punya manfaat atau kebaikan universal (Mochtar Lubis, 1992, Budaya, Masyarakat, Dan Manusia Indonesia)

Di lain pihak, tak bisa dipungkiri, kearifan lokal di Indonesia banyak yang memiliki muatan keislaman. Pasalnya, negara ini memiliki penduduk mayoritas atau sekitar 87 persen beragama Islam (US. Commission on International Religious Freedom, 2017, Annual Report). Aktivitas umum yang ada di masyarakat sarat nuansa keislaman. Sebagai contoh, selamatan atau syukuran yang iringi dengan doa-doa, kirim doa bagi mereka yang sudah meninggal dunia, hingga tradisi-tradisi lain yang punya kandungan religiositas.

Kearifan lokal punya kaitan dengan pengejawantahan wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan merupakan perspektif tiap warga negara tentang bangsanya yang penuh dengan keanekaragaman namun punya satu visi keadilan dan kebersamaan (Isup Suhady & A. Sinaga, 2006, Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Logikanya, dengan merasapi nilai-nilai kearifan lokal nusantara, tiap orang sadar akan urgensi harmonisasi masyarakat. Mau tidak mau, Indonesia yang besar ini pasti tumbuh dengan beragam perbedaan. Bukan keseragaman.

Tradisi Kebersamaan

Di daerah Pandalungan atau tapal kuda Jawa Timur, di seputar kawasan Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo, terdapat sebuah tradisi menyambut hari raya Idul Fitri. Namanya, Josonjo. Meskipun guna menyambut hari raya umat Islam, tidak menutup kemungkinan pula tradisi ini dilakukan oleh mereka yang beragama bukan Islam. Pada prinsipnya, Josonjo dilaksanakan oleh masyarakat pendalungan secara umum.

Josonjo adalah tradisi mengantarkan bahan makanan ke rumah sanak kerabat dan tetangga dekat. Bahan makanan yang dimaksud biasanya beras, minyak, gula, kopi, dan sejenisnya. Jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan.

Mereka yang menerima bahan makanan pokok tadi, kerap melakukan kunjungan balasan. Dengan membawa bahan makanan yang serupa tapi tak sama. Demikian seterusnya (Bambang Subahri & Saniatin Tiningsih, 2019, Josonjo: Makna Simbolik Tradisi Silaturrahim Masyarakat Pandalungan).

Poin penting dari tradisi ini adalah silaturahmi. Saling berkunjung. Di mana pada saat itu, masing-masing orang saling memahami situasi yang dihadapi oleh sanak kerabat atau tetangga dekatnya. Siapa tahu, ada keluarga yang butuh bantuan, pada momentum tersebut, keluarga lain yang bisa menolong akan mengulurkan tangan.

Prinsipnya, ada nilai kebersamaan dan upaya mempererat tali kekeluargaan. Di mana hal-hal luhur semacam itu selaras pula dengan banyak ayat Al-Quran, semisal di surah An-Nahl ayat 90: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Manfaat silaturahmi semacam ini juga banyak. Di antaranya, melapangkan rezeki, sebagaimana sebuah riwayat Imam Bukhari yang berbunyi: Barangsiapa ingin lapangkan pintu rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.

Tradisi saling memberi hadiah dan bersilaturahmi, khususnya berupa makanan, bisa dengan gampang ditemui di Indonesia. Di Kalimantan Tengah, misalnya, tiap malam menjelang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, undangan yang biasa disebut “membaca doa selamat” akan berdatangan dari para tetangga.

Pengundang sekadar ingin memberi makanan pada tetangga di rumahnya. Sekaligus, memberi para undangan bingkisan makanan buat dibawa pulang. Oleh karena bernama “membaca doa selamat”, biasanya ritual tidak berlangsung lama. Sekadar membaca sejumlah doa pendek, surah-surah pendek, dan tentu saja membaca doa selamat.

Mereka yang diundang juga tidak hanya kalangan Muslim. Apalagi, orang non-Muslim di Kalimantan Tengah juga tergolong tidak sedikit. Semua membaur dan merasakan kebersamaan menjelang dua hari raya umat Islam. Kearifan semacam ini mesti lestari.

Memupuk Kerukunan

Gesekan horizontal kerap bermula dari sikap-sikap individualistik. Oleh karena tidak saling mengenal antar satu sama lain, perbedaan bisa meruncing. Dengan demikian, silaturahmi menjadi kunci dari upaya saling memahami.

Secara prinsip, ada banyak tradisi di nusantara yang bertolak dari semangat kebersamaan. Semua itu merupakan kearifan lokal yang dapat memupuk kerukunan dan menguatkan tai persaudaraan. Bai kantar sesama orang Islam, maupun antar orang Islam dan orang yang tidak beragama Islam.

Di era modern seperti sekarang ini, di tengah masyarakat yang begitu majemuk, bahkan orang Islam pun punya beraneka jenis aliran atau organisasi, penguatan kearifan lokal dan wawasan kebangsaan mutlak diperlukan.

Tudingan bid’ah pada sejumlah ritual sosial yang bermuara pada laku kebersamaan umat sudah mesti ditinggalkan. Karena ritual atau tradisi semacam itu, memang basisnya adalah hubungan muamalah. Bukan ibadah mahdhah. Perbedaan merupakan anugerah untuk saling mengenal, bukan saling menyalahkan.

(Rio F. Rachman)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button