Mujadalah

Kesalahpahaman Agama Oleh Pemeluknya Sendiri

Salafusshalih.com. Agama layaknya pisau yang multi-fungsi. Bisa bermanfaat jika benda ini digunakan sesuai fungsinya, semisal mengupas buah-buahan dan seterusnya. Sebaliknya, bisa negatif jika digunakan untuk membunuh.

Begitu pula agama yang digunakan sesuai misinya, yakni menebar rahmat ke seluruh semesta, akan menghadirkan perdamaian di antara manusia. Tapi, agama yang digunakan di luar misinya akan mengantarkan pemeluknya menjadi hakim yang paling benar di tengah semesta.

Bisanya manusia yang gemar menghakimi ini merasa dirinya paling benar (bila enggan berkata “paling muslim”) dibanding yang lain. Tidak heran, jika mereka suka mengkafirkan sesamanya, baik yang berbeda secara pemikiran maupun keimanan.

Tindakan mengkafirkan orang lain tidak bisa disepelekan. Hal ini jelas sudah mengarah kepada doktrin radikalisme yang dalam agama sendiri dilarang. Masih ingatkah kelompok Khawarij yang getol mengkafirkan Sayyidina Ali? Kurang Islam apa menantu Nabi ini?

Kelompok Khawarij dengan “pede”-nya meragukan keislaman Sayyidina Ali. Terus, di sini yang keliru siapa? Apakah Sayyidina Ali yang dikafirkan karena dianggap memutuskan sesuatu di luar hukum Allah? Ataukah kelompok Khawarij yang gemar mengkafirkan karena terlalu sempit memahami agama sehingga dibelenggu kesalahan dalam menafsirkan teks?

Sampai di sini, yang keliru jelas bukan agamanya. Agama, seperti yang disinggung tadi, memiliki tujuan yang mulia. Agama mengajarkan sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan agama dan sikap keterbukaan dalam merespon perbedaan pemikiran. Kekeliruan itu jelas kembali ke pemeluk agama yang belum membaca tujuan agama ini, sehingga ia menjadi, jika meminjam bahasa Prof. Said Aqil Siradj, “kalap” atau suka marah-marah.

Agama yang disalahpahami ini akan menimbulkan dampak yang negatif. Paling tidak mengkafirkan sesamanya. Lebih dari itu, melakukan tindakan kriminal, semisal membunuh sesama dengan cara yang beragama seperti aksi-aksi radikal.

Islam melarang pemeluknya melakukan tindakan kriminal. Karena, itu dapat mengakibatkan pembunuhan. Perhatikan pesan Al-Qur’an:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. al-Maidah: 32).

Ayat tersebut menegaskan pentingnya menjaga jiwa, baik yang muslim maupun tidak. Saking pentingnya menjaga jiwa, Islam menyamakan menjaga satu jiwa dengan semua semua jiwa. Sebaliknya, membunuh satu jiwa diklaim oleh agama dengan membunuh semua jiwa. Maksud dari pesan ini, larangan membunuh jiwa.

Sebagai penutup, beragama itu penting, tapi yang jauh lebih penting adalah memahami misi agama itu sendiri. Jangan sampai menodai agama dengan kelakuan pemeluknya yang gemar melakukan tindakan kriminal. Karena, kriminal itu tidak dibenarkan dalam agama.[] Shallallah ala Muhammad.

(Khalilullah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button