Fikih

Kontra Ektremisme Ayat Perang Perspektif Ushul Fikih

Salafusshalih.com – Guru kami, ustaz Imam Nakhe’i, pakar Ushul Fikih, sering kali melontarkan statemen bahwa moderasi Islam itu selesai dalam tingkat universal sebagaimana telah diupayakan oleh banyak cendikiawan Muslim. Misalnya, dalam konsep persaudaraan (al-ukhuwwah), tolong menolong antaragama, toleransi, dan saling menghormati. Jauh dari ekstremisme, intinya.

Dengan kata lain, seluruh elemen beragama mengakui semua nilai-nilai tersebut. Namun yang menjadi persoalan adalah fakta bahwa banyak ajaran Islam yang sifatnya partikular seolah melegitimasi tindakan intoleransi dan semacamnya.

Berkenaan dengan statemen ustaz Imam Nakhe’i, nyatanya dalam kitab-kitab Fikih membolehkan membunuh, atau memerangi, non-Muslim yang tidak masuk dalam kategori istilah kafir yang telah diklasifikasi secara spesifik dalam Fikih: harbi, dzimmi, mu’ahad, dan musta’man.

Bahkan secara tegas, Syekh Zakariya al-Anshari mengatakan bahwa orang-orang non-muslim boleh dibunuh baik yang muda, rahib dan bahkan termasuk yang difabel seperti orang buta dan orang lumpuh boleh juga dibunuh.

Adapun landasan yang menjadi ketentuan tersebut adalah ayat Alquran yang tertera dalam surah al-Taubah ayat lima.

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)

 “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Taubah [9]: 5).

Maka penting untuk melakukan reinterpretasi ayat-ayat partikular seperti di atas, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Memahami ayat tersebut kami menampilkan suatu pendekatan kebahasaan yang tercantum dalam ilmu Ushul Fikih. Dari ayat itu, setidaknya ada dua sorotan yang akan dibahas secara mendalam.

Pertama, yaitu lafal فَاقْتُلُوا yang dalam ilmu Ushul Fikih termasuk dalam kajian amar. Amar secara bahasa adalah perintah. Sedangkan secara terminologi Ushul Fikih, Imam al-Ghazali mendefinisikan amar sebagai perkataan yang menuntut untuk ditaati dengan melaksanakan apa yang diperintahkan.

 

Dalam konteks perintah membunuh non-Muslim yang tertera dalam surah al-Taubah ayat 5 tersebut muncul setelah adanya larangan sebab berada di bulan-bulan haram. Menurut suatu teori kebahasaan, perintah yang datang setelah larangan maka bermakna boleh-boleh saja. Artinya, umat Islam dulu di zaman Nabi waktu ayat itu turun, para sahabat dibolehkan memerangi atau dan membunuh non-MAuslim yang telah melanggar perjanjian damai.

Kedua, objek dari perintah membunuh dalam surah al-Taubah ayat 5 adalah al-musyrikin (nantinya akan ditulis musyrikin). Dalam kajian Ushul Fikih kalimat musyrikin yang tertera dalam ayat perang tersebut bisa dilihat dari sudut pandang ‘aam dan khas.

Menyangkut kata musyrikin yang terkandung dalam surah al-Taubah ayat 5 rupanya termasuk kategori ‘aam yang makhsus atau lafal ‘am yang tidak memiliki indikasi yang memberlakukan keumumannya ataupun yang spesifikasi kepada refren tertentu. Oleh sebab itu, lafal musyrikin adalah lafal ‘aam yang mungkin ditakhsis.

 

Takhsis sendiri sering didefinisikan sebagai teks yang membatasi (hukum) lafal ‘aam. Adapun dalil yang mentakhsis lafal musyrikin tersebut di antaranya adalah hadis Nabi yang mengeluarkan beberapa musyrik (baca: non-Muslim) kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man. Ketiganya tidak masuk dalam cakupan lafal musrikin ayat tersebut. Dengan demikian, lafal ‘aam hanya mencakup kepada orang-orang musyrik harbi atau yang memerangi umat Islam kala itu.

Di sisi lain, surah al-Taubah ayat 5 yang mengandung lafal umum itu turun dengan latar belakang yang spesifik, yaitu orang-orang musyrik yang memerangi umat Muslim dan telah mengkhianati perjanjian damai yang telah disepakati sebelumnya. Dalam kajian Ushul Fikih ada kaidah, apakah lafal umum yang turun dengan latar belakang spesifik digeneralkan karena memandang lafalnya yang umum, atau justru dispesifikkan kepada sebab yang melatar belakangi?

هَلْ الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ أَوْ بِخُصُوصِ السَّبَبِ؟

“Apakah yang dipertimbangkan adalah keumuman lafal atau kekhususan sebab”.

Ulama usul masih berselisih menyikapi persoalan seperti ini. Ada yang mengatakan bahwa yang menjadi acuan adalah keumuman lafalnya dan tidak mempertimbangkan sebab yang spesifik tersebut. Sebaliknya, ulama yang lain berpendapat bahwa yang dijadikan pijakan adalah peristiwa yang melatari lahirnya suatu lafal umum bukan keumuman lafalnya.

Ulama ini berargumen bahwa ayat atau lafal itu turun untuk merespon suatu peristiwa yang sedang terjadi saat itu sehingga tak layak jika digeneralkan. Namun perbedaan dari kedua pandangan tersebut hanya berkisar pada lafal yang tidak memiliki indikasi apakah diberlakukan umum atau khusus. Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Imam al-Zarkasyi sebagaimana dikutip dalam kitab Hasyiah al-‘Athar.

Berkaitan dengan indikasi yang memalingkan suatu lafal umum, Syek Nawawi al-Bantani menandaskan bahwa surah al-Taubah ayat 5 yang memerintahkan membunuh orang musyrik itu tertentu kepada orang-orang musyrik yang secara sepihak telah membatalkan perjanjian damai yang sebelumnya telah disepakati dan ingin memerangi umat muslim saat itu.

Dari sini kita tarik kesimpulan bahwa ayat di atas tidak bisa dijadikan landasan untuk bertindak destruktif kepada non-muslim karena orang itu non-muslim. Sebab, ayat itu hanya tertentu pada orang-orang musyrik yang telah melanggar perjanjian dengan umat muslim yang sebelumnya sudah disepakati, selain itu juga ingin memerangi umat muslim.

Dengan demikian, dalam konteks surah al-Taubah ayat 5 ini masuk dalam kategori kaidah “al-Ibratu bikhus al-Sabab la bi Umum al-Lafdzi”. Demikian  pula ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi landasan adalah keumuman lafal sebab ayat tersebut memiliki indikasi yang mengarahkan keumumannya kepada peristiwa yang melatari turunnya ayat tersebut, yaitu orang-orang musyrik zaman dahulu yang telah berkhianat dan ingin memerangi umat Islam.

Hal ini selaras dengan pandangan sebagian ulama yang mengatakan tidak boleh memerangi dan membunuh non-Muslim, kendatipun bukan dzimmi, musta’man, dan mu’ahad jika non-Muslim tersebut tidak memerangi, tidak ikut memberi sumbangsih dalam perencanaan memerangi orang Muslim.

“Menurut pendapat kedua, tidak boleh karena orang-orang non muslim itu tidak memerangi kita sehingga sama dengan perempuan dan anak kecil”.

(M. Soleh Shofier)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button