Melawan Islam Ekstremis-Teroris Dengan Islam Humanis
Judul: Berislam dengan Berkemanusiaan, Penulis: Aksin Wijaya, dkk, Penerbit: IRCiSoD, Cetak: Pertama, April 2021, Tebal: 294 halaman, ISBN: 978-623-6166-10-9, Peresensi: A. Fahrur Rozi.
Salafusshalih.com – Islam dalam tilikan Aksin Wijaya adalah agama yang membawa kedamaian dan menolak kemungkaran. Datangnya Islam adalah bentuk kecintaan Tuhan (teosentrisme) untuk menjawab segala persoalan manusia dan memenuhi kebutuhan kemanusiaan (antroposentrisme).
Baginya, Islam menempatkan ihwal kemanusiaan dalam sublim penghambaan yang luhur dan arif sebagai manifestasi ketakwaannya kepada Tuhan. Beragama berarti menumbuhkan spirit kemanusiaan, bukan melakukan kekerasan kepada sesama dengan dalih keagamaan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Orang Islam adalah seseorang yang dengan lisan dan tangannya menciptakan kedamaian terhadap pihak lain”.
Aksin Wijaya melalui esai-esai yang dikodifikasikan dalam buku “Berislam dengan Berkemanusiaan”, yang juga melibatkan dua mahasiswa sosiologi agama dalam beberapa sub bahasan, Nur Rif’ah Hasaniy dan Tati Nur Pebiyanti, berhasil membincang Islam yang damai dan humanistik dalam konteks berislam Indonesia kekinian. Bagi Aksin, Islam dalam putaran revolusi bumi belakangan ini sedang diuji oleh tuhan dalam beragam kelindan paham berislam yang menyimpang, baik masalah teologis, filosofis, dan sosiologis keberagamaan.
Ujian itu mewujud dorongan moral untuk mereinterpretasi paham berislam yang kaffah dan mengasosiasinya dalam kehidupan berbangsa. Aksin Wijaya berhasil mengingatkan kita bahwa kepentingan manusia saat ini acap kali berdalihkan agama. Kekerasan, baik bentuk wacana maupun fisik, banyak berseleweran berlandaskan distorsi tafsir tekstual-skriptisis/kontekstual-liberal terhadap al-Quran dan al-Hadits.
Kekerasan wacana meliputi ujaran kebencian, black compaign, hoax, atau taghut sebagai jastifikasi pembenaran tunggal terhadap. Juga kekerasan fisik berupa bom bunuh diri, memaksakan khilafah Islamiyah, formalisme agama, atau ijtihad fi sabilillah dalam kelindan paham radikalisme, ekstrimisme, dan liberalisme. Dalam hal ini, Islam bukan lagi agama sebagai karya agung Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., melainkan mewujud ideologi keagamaan yang aktif disuarakan HTI, FPI, PKS dan Wahhabi (hal 79).
Kekerasan sekarang bukan lagi menjadi pelarian alternatif sebagai jalan terakhir untuk melawan kemungkaran. Kekerasan sudah bertransformasi menjadi “nalar kekerasan” karena mencari dalil sebagai legitimasi atas revolusi, menjadi “budaya kekerasan” karena menjadi pelarian tunggal dari permasalahan, dan manjadi “agamaisasi kekerasan” karena terus merasa absah melakukan kekerasan atas nama agama.
Dari sini, Aksin Wijaya menghidupkan kembali daya kritis sebagai seorang intelektual tanpa menafikkan apresiatif terhadap kreasi keberagamaan. Ia menawarkan Islam yang humanistik-argumentatif dengan melepaskan tafsir tunggal dan otoritatif terhadap pesan Tuhan dalam al-Quran. Sudah seyogianya al-Quran dilepaskan dari kecenderungan subjektif dan jeratan ideologis dengan terus menggali pesan Tuhan yang sakral dan universal, baik secara historis, linguistik, filosofis, dan kontekstualis (hal 19).
Dalam ihwal gender, misalnya, sebagaimana tercantum dalam QS. an-Nisaa’ (4): 34 yang berbicara tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Aksin Wijaya memberikan kebugaran makna teks dengan metode pembacaan post-strukturalisme terhadap ayat tersebut. Pertama, meletakkan lafaz “qawwam” pada struktur “cabang” dan mengangkat lafaz “ar-rijaal” dan “an-nisaa” pada struktur “pusat” dalam proses pemaknaan.
Selanjutnya, memaknai kedua kata tadi dengan konstruksi sosial yang saat ini sedang trend disuarakan, yakni “ar-rijaal” sebagai “maskulin” dan “an-nisaa” dengan “feminim”. Dengan itu, maskulin yang identik dengan keperkasaan patut mengayomi (qawwam) feminim yang identik dengan lemah lembut, terlepas dari kondisi biologis di antara keduanya. Dengan ini, tidak didapati bias gender dan marginalisasi terhadap perempuan atas dalih agama.
Juga perbincangan konsep bernegara khilafah Islamiyah yang kerap melahirkan ijtihad kekerasan. Menurut Aksin Wijaya, hal itu didorong oleh sikap dialektika-dikotomis dalam memandang realitas dan kebenaran. Sehingga Islam didakwahkan dengan penuh kekerasan karena ingin mewujudkan kehendak purifikasi dan formalisasi agama.
Padahal jika ditilik sejarah pemikiran politik Islam dan dasar pijakan perpolitikan Islam dalam al-Quran maupun al-Hadits, tidak ditemukan dogma religius yang menentukan bentuk kenegaraan tertentu. Begitu juga tidak didapati kata yang menujukkan bahwa Rasulullah Saw. sebagai raja, melainkan sebagai penyampai risalah. Maka, sejatinya mendakwahkan Islam di Indonesia tidak perlu diformalkan, tetapi dengan melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal untuk mendatangkan maslahah ‘ammah (hal 174).
Inti dalam buku ini adalah hadir menjawab permasalahan umat akan varian wacana beragama dalam konteks berislam di Indonesia, baik konsep pemikiran maupun wacana pergerakan, Aksin Wijaya dengan tegas membedakan di mana letak pesan esetoris Tuhan—yang tentu terus dicari—dan kosntruksi sosial dalam teks keagamaan. Sehingga kita beragama dengan “Islam” bukan beragama dengan “pemikiran Islam”.
Hal yang menarik dari buku Aksin Wijaya yang satu ini adalah menguraikan trend spritualitas masyarakat kekinian berikut tawaran solusi yang diberikan dengan sajian semiotik, bangunan analisis, komparasi teoritis-praksis Islam antar ruang dan generasi, serta pijakan epistimologi disajikan secara teliti dan hati-hati. Sehingga makna tulisan bisa dengan mudah tersampaikan kepada pembaca, bahkan ketika “matinya seorang pengarang”, kendati banyak teks argumen yang didapati ganda dalam dua sub bahasan.
(A. Fahrur Rozi)