Tsaqofah

Mengkonter Intoleransi Dengan Mengkampanyekan “Moderation Values” Pendidikan Islam Multikultural

Salafusshalih.com – Universalitas Islam memuat nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai tersebut mengakar dan membudaya pada ruang dimana ia berada. Dalam konteks keindonesiaan, nilai-nilai kebajikan yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah mengalami sikretisasi dengan budaya lokal sehingga muncullah suatu pola moderasi Islam.

Bentuk moderasi Islam menjadikan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan sebagai basis moral, dan hal ini berlaku dalam banyak hal, salah satunya yang diterapkan pada pendidikan Islam. Di antara moral values yang termaktub di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah adalah kesadaran akan keberagaman.

Nilai keberagaman menjadi sangat penting untuk dikembangkan, dijunjung, serta diimplementasikan, melihat bahwa masyarakat Indonesia yang pluralistis, multikultural, dan multireligius.

Kompleksitas sosial-keagamaan di Indonesia bukanlah satu hal yang sederhana. Maka perlu ada upaya untuk merawat keberagaman agar terwujud interkoneksi sosial-keagamaan yang baik di tengah masyarakat. Di antara upaya yaitu dengan menekankan aspek pendidikan Islam multikultural.

Pendidikan Islam multikultural lahir sebagai satu diskursus dengan menampak realitas bahwa pendidikan Islam hari ini masih cenderung bersifat simbolik-ritualistik, dan hanya bergerak pada kegiatan transfer ilmu belaka. Padahal, berbicara kesadaran akan keberagaman, perlu ada upaya lebih untuk juga memikirkan interelasi simbol-simbol agama dengan realitas sosial, sehingga dapat menciptakan keselarasan akan keberagaman itu sendiri.

Multikulturalisme: Suatu Pendekatan Humanistis

Multikultural merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu multi yang berarti beragam, dan kultural yang berarti budaya. Term ini berkonotasi terhadap keanekaragaman bentuk budaya yang kemudian membentuk tipologis kebudayaan. Sedang, paham yang mengakui adanya keberagaman budaya disebut dengan multikulturalisme.

Pemaknaan tentang multikulturalisme lebih luas daripada multikultural, karena ia juga mencangkup hal ihwal pengakuan akan keberagaman suku dan agama. Pengakuan terhadap keragaman budaya, suku, dan agama ini terwujud dalam bentuk kesetaraan serta toleransi.

Term multikulturalisme erat kaitannya dengan pluralisme, karena makna dari keduanya merujuk pada tatanan sosial yang heterogen, dan sama-sama mengakar pada konsistensi untuk menghargai keberagaman. Pemahaman multikultural masuk sebagai bagian dari sistem pendidikan diawali dengan suatu fakta terkait konflik-konflik horizontal pada masyarakat Amerika tahun 50-an yang disebabkan oleh perbedaan suku, ras, dan budaya.

Singkatnya, pada abad ke-20 paham multikultural ini dimasukkan sebagai satuan sistem pendidikan guna mengentaskan persoalan tersebut, dan pada tahun 2000 konsep tentang pendidikan multikultural mulai masuk dan menjadi wacana agar diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia (Rois, 2013, hal. 309).

Artinya, pendidikan multikultural memang sejak awal didesain sebagai upaya solutif untuk menyikapi keberagaman yang terjadi, dengan goals utamanya yakni perdamaian dan ketentraman.

Moderation Values Pendidikan Multikultural

Pada pendidikan Islam telah dipaparkan landasan teologis-normatif yang diambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah tentang semangat moral yang selaras dengan terciptanya interkoneksi sosial-keagamaan. Bahkan hal ini telah kita amini dalam suatu ibarah (ungkapan) yang sering digaungkan, yakni islam rahmatan lil alamin (Islam rahmat bagi semesta alam).

Jika ditadaburi, maka ungkapan ini secara tidak langsung merupakan bentuk legitimasi bahwa agama Islam mengakui dan menghargai keberagaman. Point of interest dari ungkapan ini adalah bagaimana umat Islam dapat memberikan rahmat bagi seluruh alam. Maksud dari rahmat bagi semesta alam yakni keselarasan antara habl min Allah, habl min al-nas, dan habl min al-alam. Ketiga poin inilah yang sepatutnya menjadi konsentrasi dari pendidikan Islam multikultural.

Di antara lima prinsip moderasi yang tertuliskan di dalam al-Qur’an. Pertama, yaitu tentang wajibnya menegakkan keadilan (al-‘adl), karena sejatinya hal inilah yang menjadi tugas seorang khalifah di muka bumi, dalil dasarnya dapat dilihat pada QS. an-Nisa’: 58, QS. an-Nisa’: 135, dan QS. al-Maidah: 8. Kedua, yaitu tentang demokrasi dalam bentuk musyawarah (al-musyawarah) yang dapat dilihat pada QS. as-Syura: 38, dan QS. Ali Imran: 159.

Ketiga, yaitu tentang toleransi (al-tasamuh) yang dapat dilihat pada QS. Yusnus: 40-41 dan al-Baqarah: 256. Keempat, yaitu tentang kesetaraan (al-musawah) yang dapat dilihat pada  QS. an-Nisa’: 124 dan QS. Ali Imran: 195. Kelima, yaitu tentang keseimbangan (al-tawazun) yang dapat dilihat pada QS. al-Qashash: 77.

Alternatif Praksis Internalisasi Nilai

Koentjaraningrat membedakan tiga wujud kebudayaan, pertama yakni himpunan nilai-nilai, norma-norma atau aturan, kedua yakni tindakan yang berpola dari setiap manusia di dalam suatu tatanan masyarakat, dan ketiga yakni hasil-hasil karya yang diciptakan oleh manusia. Koentjaraningrat melihat bahwa sistem pendidikan merupakan ruang yang ideal untuk membentuk kebudayaan baru.

Maka dari ke lima nilai universal Islam tersebut, yaitu al-‘adl, al-musyawarah, al-tasamuh, al-musawah, al-tawazun dapat dijadikan sebagai isu ataupun tema pokok di dalam proses pembelajaran. Secara praksis, internalisasi nilai ini dapat dilakukan dengan beragam metode, di antaranya ada metode diskusi, metode kerja kelompok, sampai metode study tour.

(Muhammad Naufal Hakim)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button