Nafsu dan Akal dalam Uraian Sufistik: Ngaji ke Gus Ulil

Salafusshalih.com – KH. Ulil Abshar Abdalla, dalam pengajian Ngaji Ihya Ulumuddin edisi ketiga, memaparkan pemahaman tentang nafsu dan akal sebagai bagian penting dari instrumen jiwa manusia, melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai hati dan ruh. Berdasarkan penjelasan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, nafsu dijelaskan dalam dua makna berbeda.
Makna Pertama Nafsu
Menurut Al-Ghazali, makna pertama dari nafsu merujuk pada kekuatan marah dan syahwat dalam diri manusia, yang sering diasosiasikan dengan sifat negatif. Gus Ulil menjelaskan bahwa ahli tasawuf biasanya menganggap nafsu ini sebagai musuh, karena mencerminkan sifat-sifat tercela seperti kemarahan dan keinginan berlebih. Contohnya, keinginan untuk menikmati makanan enak atau membeli barang mewah, adalah manifestasi dari jenis nafsu ini. Bahkan, dalam hadits, Nabi SAW menyebut nafsu sebagai musuh utama manusia.
Makna Kedua Nafsu
Makna kedua dari nafsu, yang lebih positif, adalah lathifah atau esensi jiwa manusia. Ketika nafsu ini berada di bawah kendali manusia dan mampu menghindari konflik dengan syahwat, nafsu ini disebut nafs muthma’innah atau jiwa yang tenang. Gus Ulil menyamakan nafsu ini dengan konsep Superego dalam psikologi Freud, yaitu bagian yang mengendalikan dorongan dasar dan mencapai ketenangan jiwa. Menurut Gus Ulil, hanya nafs muthma’innah inilah yang dapat kembali kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an pada Surat Al-Fajr ayat 27-28.
Selain nafs muthma’innah, Gus Ulil juga membahas nafs lawwamah, yang masih berjuang untuk melawan kecenderungan negatif dan mengingatkan diri saat melakukan kesalahan, serta nafs ammarah, yaitu nafsu yang selalu mendorong manusia pada kejahatan dan kemarahan. Nafs ammarah dianggap sebagai tingkat terendah, setara dengan sifat primitif yang belum beradab, sehingga tidak mampu mencapai Superego.
Makna Akal
Sejalan dengan pembahasan hati dan nafsu, Al-Ghazali menjelaskan akal dalam dua makna. Pertama, akal sebagai pengetahuan yang mencapai esensi terdalam, berfungsi sebagai sifat ilmu yang bertempat di hati. Gus Ulil menyatakan bahwa hati dalam pandangan Al-Ghazali bukan hanya pusat afeksi, tetapi juga pusat kognisi, tempat kemampuan pengetahuan yang mendalam. Makna kedua akal adalah kapasitas untuk memahami, yang Gus Ulil ilustrasikan sebagai kemampuan seorang alim seperti Prof. Quraish Shihab, yang memiliki pengetahuan sekaligus kapasitas memahami.
Melalui pengajian ini, Gus Ulil menunjukkan bahwa pemahaman tentang nafsu dan akal, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ghazali, menggambarkan kompleksitas jiwa manusia yang terus berjuang antara kecenderungan negatif dan positif dalam mendekati kebenaran dan ketenangan batin.
(Redaksi)