Hubbul Wathan

PBNU di Antara Politik Internal dan Politik Kebangsaan

Salafusshalih.com – Muktamar NU ke-34 di Lampung akan menjadi muktamar yang bersejarah. Pasalnya, Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU terpilih, adalah harapan kebangkitan kembali spirit Gus Dur. Sementara Said Aqil Siroj yang telah dua periode menakhodai ormas terbesar di Indonesia tersebut kooperatif. Tidak ada percekcokan sekalipun pertarungannya cukup sengit. Dalam satu perspektif, NU benar-benar memperlihatkan komoderatannya.

Namun demikian, gonjang-ganjing politik PBNU tetap riuh hingga hari ini. Dan semakin hari, riuhnya semakin besar, alih-alih reda. Kemarin, PBNU memanggil salah seorang pengurus PCNU karena dianggap terlibat politik praktis pasca-safari politik Muhaimin Iskandar ke Jawa Timur. Semakin lama, seluruh masyarakat Indonesia mendengar perang internal; PBNU vs PKB dan atau Yahya vs Muhaimin. Inilah kunci sengkarutnya.

Mengapa sengkarut PBNU harus menjadi perhatian kita bersama? Ada dua alasan. Pertama, posisi NU sebagai ormas terbesar dengan pengaruh yang luar biasa. NU diperebutkan oleh pengurus internal, sekaligus sering kali dianakemaskan oleh mereka yang punya kepentingan. Massa nahdliyyin adalah massa raksasa yang terlihat seksi dalam kacamata politik. Maka, bagaimana jika di dalamnya terjadi gaduh, bukankah kegaduhannya akan berdampak besar?

Kedua, orientasi politik kebangsaan NU. Khittah NU adalah politik kebangsaan. Sementara itu, gejolak yang terjadi adalah persoalan politik internal. Meskipun Yahya Staquf dan Aqil Siroj memiliki kelapangan hati untuk saling menghargai satu sama lain, dan menghindari konflik, namun sesama pendukung keduanya belum bisa damai. Maka, bagaimana jika di dalamnya terjadi gaduh, politik kebangsaan macam apa yang diinginkan PBNU di tengah sengkarut di tubuhnya?

Sengkarut di tubuh NU adalah masalah yang sangat kompleks. Semua orang mengakui bahwa banyak kepentingan bermain. Namun NU tetaplah sayap penjaga bangsa, bersama Muhammadiyah. Karenanya segala polemik internal harus segera disudahi. Politik internal tidak boleh mengalahkan dan melampaui politik kebangsaan. NU adalah teladan masyarakat Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara. Apa kata masyarakat jika sang teladan sendiri gaduh di dalam?

Masalah sebenarnya tidak terletak pada NU, apalagi PBNU, melainkan pada bagaimana masyarakat Islam sebelah memandang sang teladan tak lagi bisa diteladani. Polemik internal memang urusan para pengurus PBNU, tapi dampaknya menjadi urusan bersama. Siapa yang dapat menyangkal bahwa hari ini di kalangan kaum khilafah seperti HTI maupun IM, serta para ekstremis seperti JI dan JAD, semakin jijik terhadap Indonesia dan semua pembelanya?

Politik kebangsaan NU jauh lebih urgen untuk ditampilkan ke publik. Radikalisasi masih marak terjadi, bahkan di masjid-masjid yang dikuasai para aktivis khilafah. Wahhabisasi juga semakin meresahkan, menjangkau seluruh komponen masyarakat. Gerilya mereka semakin tak terkendali, meskipun secara keorganisasian telah ditumpas habis oleh pemerintah. Siapa lagi yang mau menghadapi mereka kalau bukan nahdliyyin?

Harus ada kesadaran kolektif bahwa politik kebangsaan adalah segalanya, jauh di atas politik individual yang saling merebutkan kepentingan. Jika para pengurus teras PBNU tidak bisa menjadi teladan umat dan bangsa, bagaimana mereka akan diteladani oleh kaum sebelah? Yang ada justru semakin dicaci, dan mereka semakin antipati.

Sengkarut di PBNU tentu saja hanya riuk sebentar. Jika kemarin ada ribut soal pelaporan admin Twitter resmi @nahdlatululama, esok mereka akan ngopi bersama. Kultur NU adalah kultur keteladanan, tidak akan berintrik meski seberapa kompleks pun masalahnya. Namun demikian masalah politik internal ini tidak boleh dibiarkan.

Politik internal yang polemis akan menjadi bahan olokan empuk kaum khilafah, bahwaq organisasi yang selama ini mengklaim diri sebagai organisasi moderat ternyata tidak benar-benar moderat; bahkan berantem sesama jemaah.

PBNU harus menyadari fakta kunci penting: bagaimana PBNU hendak menjaga persatuan bangsa jika tubuh mereka sendiri terpecah? Bagaimana mereka akan diteladani umat Islam jika pada dirinya sendiri tidak bisa menjadi teladan? NU adalah milik umat yang diwariskan para masyayikh.

Politik kebangsaan NU harus berada jauh di atas kepentingan politik individual-internal. Jadi, kapan Yahya Staquf dan Muhaimin Iskandar salam-salaman?

(Redaksi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button