Hubbul Wathan

Pembangkangan Kaum Khawarij Baru: Dari Piagam Jakarta Hingga Pancasila

Salafusshalih.com – Di Indonesia, sebagaimana keukeuhnya kaum Khawarij, beberapa pihak masih kerap mengulik kembali romantisisme Piagam Jakarta dengan tujuh kata yang telah dihapus hingga menjadi Pancasila kini. Mereka anggap bahwa itu adalah kekalahan kaum Muslim Indonesia menghadapi tekanan kaum non-muslim. Sembari menutup mata kenyataan yang mereka dapati. Pada negara yang terus mereka rongrong ini, mereka menikmati kebebasan beribadah, hatta segala bentuk ibadah pun difasilitasi.

Mulai dari zakat, mereka difasilitasi dengan adanya badan amil zakat yang disediakan negara maupun swasta yang juga diizinkan sedemikian bebasnya dan diatur oleh negara. Persoalan haji bahkan menjadi perhatian serius pemerintah dalam penyelenggaraannya.

Masjid-masjid berdiri kokoh dan megah tanpa ada ketakutan sedikitpun beribadah di dalamnya. Lantas dengan lantang mereka menyatakan “Negara memusuhi agama” sembari mengkampanyekan bentuk negara Islam yang tak juga tuntas mereka fahami. Bahkan bentuk negara tawaran mereka pun terkesan absurd.

Diantara bahan kampanye yang mereka dengungkan adalah, bahwa negara ini thagut, berhala dan negara kafir karena tak menerapkan hukum Islam, tentu hukum Islam menurut pemahaman mereka. Dari paparan sejarah panjang di atas kita dapat merunut, kepada kelompok mana mereka merujuk ucapan dan tindakan.

Misalnya, bagaimana kelompok ini bertindak kepada mereka yang diyakini tak mendukung perjuangannya? Tentu kita perlu mengintai Abdullah bin Muljam yang sampai hati membunuh Ali bin Abi Thalib–menantu  Rasulullah, pemuda pertama yang masuk Islam, pengganti Rasulullah di tempat tidur ketika beliau hijrah dan satu diantara sahabat yang Rasulullah sendiri menjaminnya pasti masuk surga–sembari sesekali mendaras kalimat yang disandarkan pada firmal Allah swt, “Tak ada hukum kecuali hukum Allah.” Mereka pun kerap merujuk pada ayat lain yang berbunyi, “Sesiapa yang berhukum selain hukum Allah, maka mereka adalah orang kafir.”

Kalimat-kalimat yang berasal dari firman agung Allah swt itu memang benar dan baik, namun dimaksudkan untuk kebatilan. Kalimat itu tak digunakan pada tempatnya. Demikianlah penilaian Ali bin Abi Thalib atas kalimat yang diudar orang yang tega menusuk dadanya.

Maka kini kita mendapatkan padanan yang sangat pas atas perkataan orang-orang yang kerap mengkampanyekan hal yang sama. Menganjurkan orang lain agar kembali pada hukum dan syariatnya, sambil mendengungkan ayat yang sama dan ungkapan stereotip pada orang lain yang juga digunakan oleh kelompok ini ribuan tahun silam.

Orang yang hingga kini merutuki lepasnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, sembari mengatakan bahwa kejadian itu adalah kekalahan kaum muslim. Perlu kiranya mendengar kisah Perjanjian Hudaibiyah yang disepakati oleh Rasulullah dan kejadian Tahkim yang disetujui Ali. Kemudian merenungi, bahwa karena Hudaibiyah-lah Islam bertambah jaya dan besar. Karena Tahkim pula ratusan bahkan ribuan nyawa selamat dari perang saudara. Begitu pula Pancasila.

Nyatanya Perjanjian Hudaibiyah tidaklah mengganti dasar Islam sama sekali. Begitupula perjanjian Tahkim tak mengganti agama Islam sejengkal pun. Maka selayaknya demikianlah kita meletakkan Pancasila.

Pancasila bukan agama dan tidak mengganti dasar agama manapun, termasuk Islam sejengkal pun. Ia adalah kesepakatan bersama untuk menjadi ikatan siapa yang merasa NKRI adalah negeri yang patut dibela. Ia adalah nilai yang harus dijunjung bersama untuk menghidupi gerak langkah sebuah bangsa bernama Indonesia.

Dalam perang Hunain, ketika pembagian rampasan perang. Orang-orang yang baru saja masuk Islam seperti Abu Sufyan mendapat bagian besar, sementara kaum Madinah yang telah menolong Rasulullah sejak awal tidak mendapatkan bagian sama sekali. Hurqush bin Zuhair atau Dzul Huwaisirah dengan lantang berteriak, “Berbuat adillah wahai Muhammad.” Ucapan yang lahirnya seakan benar, namun jelas salah. “Celakalah engkau, jika aku tak adil lantas siapa di bumi ini yang akan berbuat adil,” sabda Rasulullah.

Dari orang inilah nanti akan tumbuh generasi Abdullah bin Muljam di atas. Generasi Khawarij yang getol memperjuangkan pendirian hukum dan agama Islam. Namun pada saat yang sama paling keras dan kejam pada kaum Islam. Semboyannya keadilan, kredonya negara Islam, mengaku mendirikan hukum dan agam Islam. Nyatanya, mereka keluar dari dari Islam secepat anak panah meninggalkan busurnya, begitu sabda baginda Rasulullah.

(Muhammad Asrori)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button