Ramadhan Sebagai Bulan Toleransi, Semarakkan!
Salafusshalih.com – Memasuki bulan Ramadan, umat Islam sibuk berbondong-bondong mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menyambut bulan suci yang jatuh setahun sekali itu. Dari aspek spiritualitas dan amal-amal saleh kepada sesama, semua berbondong-bondong dilakukan. Maksudnya adalah, mengharap ridlo Allah Swt. Terlebih, diriwayatkan, amal-amal kebaikan yang dilakukan di bulan tersebut akan dilipatgandakan.
Hanya saja, yang perlu dipahami, puasa adalah ibadah yang menjadi sarana umat Islam untuk menyempurnakan ketakwaannya. Oleh karenanya, puasa seyogyanya bukan hanya menahan rasa lapar dan dahaga sejak fajar hingga waktu maghrib. Lebih dari itu, puasa bertujuan akan melatih manusia secara fisik untuk menekan hawa nafsu untuk memperoleh derajat ketakwaan tertinggi di sisi Allah Swt (Al-Baqarah: 183). Sehingga, dengan berpuasa, kualitas kemanusiaan manusia akan semakin meningkat. Dalam konteks tersebut, ketika orang berpuasa hanya bertujuan ridlo Allah Swt., niscaya selain mengembangkan sikap penuh ketaatan kepada Allah, namun juga memupuk kebaikan kepada sesama: bersedekah, meninggalkan kebencian dan perkataan buruk, dll.
Imam Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin mengklasifikasikan orang berpuasa menjadi tiga tingkatan: (1) puasa orang awam (shaumul ‘am); (2) puasanya orang khusus (shaumul khash), dan; (3) puasa orang super khusus (shaumul khawashil khawash). Pada tingkat pertama, puasa hanya sebatas menahan nafsu makan, minum dan berhubungan badan. Tingkat kedua, selain menahan dari nafsu perut dan kelamin, juga berusaha mencegah mata, mulut, tangan, kaki dan anggota tubuh yang lain dari perbuatan maksiat. Tingkat ketiga, puasanya hati dari segala pikiran dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari Allah. Ketiga kategori ini merupakan sebuah tangga bertingkat, maka dalam menjalan puasa perlu ada kenaikan tingkat.
Jelas sekali bahwa puasa merupakan perpaduan dari latihan disiplin fisik, disiplin moral dan disiplin spiritual. Disiplin fisik, akan melakukan pembiasaan sedimikian rupa dari segi pengaturan waktu maupun pola makan dan minum. Disiplin moral, ketika manusia ditahan secara kesuluruhan anggota tubuh dari perbuatan tercela. Sedangkan disiplin spritual, akan terbiasa dengan anjuran ibadah dalam bulan ramadan seperti, membaca al Quran, salat sunnah, infak, zakat dan sedekah.
Mendidik Toleransi
Dalam konteks NKRI yang dihuni oleh beragam agama, puasa sejatinya juga menjadi momentum untuk mendidik toleransi antarumat beragama. Di satu sisi, umat Islam menghormati mereka yang tidak berpuasa. Pun, sebaliknya, pemeluk agama selain Islam juga dapat melakukan hal serupa. Agar, kebinekaan tetap dapat dihormati dan dijaga keharmonisannya. Tidak saling membenci antarsesama umat beragama. Semua bisa saling memahami dan bertoleransi.
Meninggalkan sikap toleransi apalagi sampai mencela atau menyakiti sesama sungguh dapat membatalkan pahala puasa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa,” (HR. Al Bukhari).
Fakta-fakta tersebut memberikan pemahaman bahwa esensi puasa ialah mendidik toleransi. Kita, dituntut untuk tidak berpikir negatif, menjaga lisan, tidak menyakiti orang lain, menghargai hubungan kemanusiaan karena itu dapat membuat ibadah yang sedang dijalankan menjadi sia-sia. Lewat perintah puasa, Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita harus toleran, dan hindari segala perbuatan yang memicu kerusakan dan pertikaian, seperti dengki, caci maki, serta ucapan-ucapan buruk bernada bohong & kebencian. Karena apabila dilakukan, puasa itu akan menjadi sia-sia.
Lagipula, dilihat dari sudut pandang manapun, Islam merupakan agama yang menentang pertikaian dan permusuhan, serta menjunjung tinggi perdamaian. Tak ayal, Mohammad Abu Nimer dalam tulisannya berjudul Conflict Resolution Approaches: Western and Middle Lessons and Possibilities (American Journals of Economics and Sociology; 1996) pernah menuliskan bahwa Islam sebagai agama dan tradisi penuh dengan ajaran dan berbagai kemungkinan penerapan resolusi konflik yang damai.
Fakta sejarah juga menunjukkan, ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yang pertama kali dibangun ialah masjid dan persaudaraan. Dimulai dari mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Dilanjutkan dengan rekonsiliasi konflik antara masyarakat Islam, Yahudi, dan Nasrani dengan pembuatan konsensus Piagam Madinah. Artinya, sejak awal mula Nabi Muhammad di utus membawa misi Islam, nilai-nilai seperti persaudaraan, toleransi, kesetiaan, dan penghormatan sangat sudah ditekankan dalam hidup berdampingan, meski berbeda suku, ras, dan kelompok.
Oleh karenanya, momentum Ramadan penting untuk dijadikan titik balik dalam mendidik ketakwaan dan keimanan, serta membangun sikap toleran dan suka kedamaian. Jangan suka menyebarkan kebencian dan amarah. Ini karena ketakwaan dan keimanan juga harus mewujud pada perilaku tidak mengganggu apalagi menyakiti sesama. Itulah esensi puasa sesungguhnya dalam ajaran Islam. Tidak hanya menjadikan Tuhan sebagai tujuan beribadah, namun juga menghargai manusia, memuliakan dan bertoleransi kepada sesama, sebagai sesama makhluk Tuhan. Wallahu a’lam.
(Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd.)