Refleksi Fikih 4 Madzhab Menyikapi Hak Ijbar Nikah Yang Dianggap Tidak Berperikemanusiaan
Salafusshalih.com. – Kalau kita sering mewacanakan pernikahan, khususnya dalam kitab-kitab fikih klasik, pasti tidak akan merasa asing dengan istilah hak ijbar. Wacana kitab-kitab klasik syafi’iyyah mengklasifikasi perempuan sebagai objek perwalian nikah kepada dua macam secara umum; perawan dan janda.
Perempuan perawan tidak perlu untuk dimintai ijinnya oleh wali dalam hal perjodohan, sementara yang janda perlu untuk dimintai ijinnya, dengan kata lain perempuan janda dianggap sudah bisa menentukan kemaslahatan dan kemudharatan bagi dirinya menggunakan rasio pemikiran yang cemerlang.
Hak ijbar nikah adalah suatu hak yang dimiliki seorang wali untuk menikahkan seorang putrinya yang menjadi objek perwalian untuk dijodohkan kepada seorang laki-laki yang sekufu’ (sepadan) kepada putrinya, meski putrinya tidak mengetahui keelokan rupa calon laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. Seorang wali dalam hal pernikahan boleh menikahkan ataupun menjodohkan tanpa meminta ijin dari perempuan yang menjadi objek perwaliannya.
Sepadan dalam konteks ini artinya adalah perempuan yang hendak dijodohkan harus setara dengan pihak calon suaminya dalam hal kefasikan, keturunan, finansial, dan lain sebagainya. Sehingga perempuan yang bersih jiwanya apabila dijodohkan dengan laki-laki yang fasik akan berpotensi kepada hubungan yang tidak harmonis, dan hukum perjodohannya tidak sah.
Pembahasan hak ijbar nikah ini meliputi seorang anak yang masih belum bisa menentukan kemaslahatan bagi dirinya sendiri (‘Adimul Ahliyyah), perawan balig yang sudah berakal (Al-Bikru al-Balighah al-Aqilah), dan janda balig yang sudah berakal (Al-Tsayyib al-Balighah al-Aqilah). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
Pertama, seorang anak yang masih belum bisa menentukan kemaslahatan bagi dirinya sendiri. Hal ini disepakati oleh jumhur (selain Hanfiyyah) dikarenakan seorang anak tersebut masih kecil, gila, dan dungu. Oleh karena itu seorang anak yang mempunyai tiga kategori tersebut bisa dinikahkan oleh walinya dengan cara ijbar tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan atau perawan dan janda.
Poin pertama ini cepat dicerna oleh rasio, lantaran hak ijbar nikah diperhatikan oleh syari’at lantaran sang anak masih belum bisa menentukan perkara mana yang maslahat dan mudharat bagi dirinya.
Kedua, perawan balig yang sudah berakal. Menurut jumhur (selain hanafiyyah), perempuan yang memiliki kategori ini bisa dinikahkan dengan cara ijbar oleh walinya. Namun tidak serta merta bisa dinikahkan begitu saja, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Syafi’iyyah menetapkan tujuh syarat yang berupa tidak ada kebencian di antara dua calon pasutri, tidak ada kebencian di antara perempuan itu dengan ayahnya, calon suami haruslah orang yang sepadan, mas kawin harus tidak kurang dari mahar mitsil, keberadaan mas kawin harus kontan, memakai uang yang berlaku di Negara, dan calon suami tidak diduga akan melakukan tindakan yang bisa menyakiti hati perempuan itu.(Syekh Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7, hal.187)
Sementara Malikiyyah tidak mensyaratkan mas kawin harus tidak kurang dari mahar mitsil, yakni boleh kurang dari mahar mitsil. Karena memandang mas kawin yang kurang dari mahar mitsil tetap ditemukan adanya maslahat. Begitupun Hanabilah juga berpendapat demikian, sekaligus menambahkan keterangan sekalipun calon istri tidak senang kepada mas kawin yang kurang dari mahar mitsil tersebut.
Ketiga, janda balig yang sudah berakal. Maksud dari poin ketiga ini adalah janda yang keperawanannya hilang dikarenakan kemaluannya kena hantam, kena kayu, serta jatuh karena lompatan yang ekstrem. Bisa juga dikategorikan pada poin yang ketiga ini adalah keperawanan yang hilang sebab melakukan zina maupun diperkosa, bukan karena perkawinan yang halal.
Jumhur (selain Hanafiyyah) menetapkan adanya hak ijbar kepada wanita yang mempunyai kriteria ketiga ini lantaran dia masih belum mengetahui tentang seluk beluk pernikahan, serta kemaslahatan-kemaslahatan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, perkawinan bisa dilakukan dengan cara ijbar apabila sang anak masih belum mengetahui tentang seluk-beluk pernikahan dan kemaslahatan yang tercakup di dalamnya.
Berbeda dengan pendapat jumhur di atas, yakni pendapatnya Hanafiyyah yang tidak menetapkan adanya hak ijbar sama sekali kepada kepada pernikahan sang anak. Baik anak tersebut belum balig, sudah balig, perawan, janda, laki-laki, atau peremuan Hanafiyyah tidak menetapkan adanya hak ijbar kepada ayah yang menjadi walinya.
Pendapat yang dilontarkan oleh Hanafiyyah ini memang cukup longgar dan nyaman untuk diikuti di zaman sekarang, mengingat perempuan sekarang sudah banyak mengenyam pendidikan yang layak untuk konsumsi akal mereka serta menyukai aktivitas belajar karena dituntut oleh kemajuan zaman. Landasan hukum yang menjadi pijakan Hanafiyyah adalah hadis Ibnu Abbas berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ جَارِيَةً بِكْراً أَتَتْ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَه
Dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya gadis perawan mendatangi Nabi Saw., lantas mengatakan bahwasanya ayahnya menikahkannya. Sementara dia tidak menyukainya, sehingga Nabi Saw. memberi kebebasan memilih terhadapnya.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud serta Ibnu Majah)
Jumhur memang menetapkan adanya hak ijbar nikah bagi perempuan yang mempunyai tiga kriteria di atas, namun harus memenuhi beberapa syarat yang terbilang cukup ketat. Dengan demikian asumsi yang menilai hak ijbar nikah pada konteks ini sebagai persoalan yang tidak berperikemanusiaan adalah tidak benar. Pijakan hukum yang dijadikan landasan oleh jumhur adalah hadis sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عّلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِيْ نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمْتُهَا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. bersabda: “Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, sementara perawan dimintai izin dalam dirinya dan izinnya adalah diamnya.” (HR. Muslim)
Lafadh tusta’dzanu yang bermakna ‘dimintai izin’ diarahkan kepada hal yang hukumnya bersifat sunnah saja, tidak bersifat wajib. Sehingga kesimpulan hukum yang bisa diperoleh dari hadis ini adalah adanya ketetapan hak ijbar bagi wali untuk menikahkan anak perempuannya.
Pertanyaannya sekarang adalah pendapat manakah yang relevan di antara ulama’ empat madzhab mengenai masalah nikah bil ijbar ini untuk diterapkan di Indonesia?, jawabannya tergantung atau relatif berdasarkan situasi dan kondisi. Namun merupakan keharusan bagi seorang ayah untuk mengetahui masalah nikah ijbar ini secara komprehensif. Tujuannya adalah untuk menjaga hak sang anak agar supaya tidak termarginalkan.
Penutup, mengacu pada tindakan yang sudah tersebar di masyarakat, seringkali orang tua memaksa anaknya dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya, yang seperti ini bisa disebut kawin paksa. Hal ini bisa terjadi sebab kesalahpahaman masyarakat di dalam memahami perbedaan antara ijbar dan ikrah.
Menurut KH. Husein Muhammad, kata ikrah adalah tindakan yang tidak mempunyai unsur tanggung jawab, melanggar hak asasi manusia, dan terkadang disertai dengan ancaman. Sedangkan yang dimaksud hak ijbar disini adalah suatu tindakan memaksa atas dasar tanggung jawab seorang ayah atau kakek di dalam menikahkan anaknya dengan tujuan untuk melindunginya, karena belum memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri, melihat orang tualah yang lebih berpengalaman di dalam persoalan pernikahan.
(Redaksi)