Setelah Tawaf Wada, Saatnya Menyalakan Lentera Negeri
Salafusshalih.com – Malam itu, ribuan lampu Masjidilharam berpendar lembut, menyinari wajah-wajah jemaah yang melangkah pelan di pelataran Ka’bah. Suara talbiah yang selama ini tak henti dikumandangkan mulai berganti dengan isak tangis perpisahan.
Tawaf Wada, tawaf perpisahan, menjadi penanda bahwa perjalanan suci di Tanah Haram telah mencapai ujungnya. Ada haru yang sulit dilukiskan dengan kata-kata: antara syukur karena telah menuntaskan panggilan-Nya, sekaligus sedih karena harus meninggalkan rumah suci yang selama ini hanya bisa dilihat dari layar televisi atau lembar-lembar buku doa.
Haji memang bukan semata ritual. Ia adalah perjalanan spiritual sekaligus sosial. Seorang jemaah haji tidak hanya diuji fisiknya yang harus kuat menempuh jarak, menahan panas, dan menaklukkan rasa lelah, tetapi juga diuji kesabaran dan keikhlasannya—bagaimana bersabar dalam antrean panjang, berbagi ruang sempit, dan menundukkan ego di tengah lautan manusia dari berbagai bangsa.
Prosesi akhir dari ibadah haji sejatinya bukanlah saat jemaah tiba di bandara tanah air, atau saat namanya disambut dengan pesta tasyakuran. Aktivitas sejati justru dimulai saat kaki kembali menjejak tanah kelahiran.
Sebab inti ibadah haji bukan hanya pada tawaf, sai, atau wukuf di Arafah, melainkan bagaimana jiwa yang telah dibersihkan itu tetap terjaga saat kembali ke realitas sosial yang penuh hiruk-pikuk.
Di Makkah dan Madinah, manusia ditempa dalam kesederhanaan. Semua mengenakan pakaian ihram yang sama, bersujud dalam barisan yang setara—tanpa gelar, tanpa status sosial.
Di sana, seorang direktur bisa berdiri di samping buruh kasar; seorang pejabat bisa berebut ruang tawaf dengan tukang sapu. Tidak ada sekat sosial, tidak ada kasta kehormatan. Itulah pesan utama dari ibadah haji: bahwa manusia pada hakikatnya sama di hadapan Tuhan; yang membedakan hanyalah ketakwaannya.
Ketika para jemaah pulang ke Indonesia, tantangannya adalah menjaga semangat itu di tengah lingkungan yang mungkin tak seideal suasana Tanah Suci. Di sana, hampir tak ada perdebatan soal mazhab, politik, atau pilihan hidup.
Semua larut dalam satu tujuan: menyempurnakan ibadah kepada-Nya. Andai semangat ini terbawa hingga ke kampung halaman, banyak hal akan menjadi lebih damai dan bersahaja.
Dalam konteks Indonesia hari ini—dengan situasi sosial yang kerap terpolarisasi, mudah tersulut perbedaan, dan gampang menyematkan label—para haji dapat menjadi agen perubahan sosial.
Mereka yang telah merasakan betapa indahnya persaudaraan lintas bangsa dan budaya di Tanah Suci bisa menjadi jembatan yang meneduhkan di tengah kegaduhan.
Haji juga mengajarkan ketulusan, disiplin, dan solidaritas. Di Arafah, jutaan manusia berdiri di bawah terik matahari yang sama, bermunajat di padang pasir yang sama, tanpa memandang warna kulit, bahasa, atau jabatan.
Semua dihadapkan pada satu kesadaran: bahwa hidup ini fana, dan setiap manusia akan dipanggil-Nya hanya berbekal amal dan ketulusan hati.
Sayangnya, tradisi di Tanah Air terkadang masih lebih sibuk dengan seremoni ketimbang substansi. Gelar “haji” yang disematkan di depan nama sering kali lebih menonjol daripada upaya menjadi pribadi yang lebih sabar, jujur, dan amanah.
Padahal, di balik ibadah haji tersimpan pesan moral dan sosial yang begitu kuat. Para haji sepantasnya menjadi sosok yang menebar manfaat bagi lingkungan, menjadi teladan, bukan sekadar kebanggaan keluarga.
Lebih jauh, ibadah haji mengajarkan bahwa hidup ini sementara. Seperti tawaf Wada;—setiap pertemuan pasti berujung perpisahan. Maka, waktu yang singkat ini sebaiknya diisi dengan kebaikan, meninggalkan jejak yang berarti, berbagi manfaat bagi sesama. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw., “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.”
Akhirnya, haji bukan sekadar gelar di depan nama. Ia adalah janji diam-diam antara seorang hamba dan Tuhannya. Bahwa selepas tawaf Wada’, ia akan berusaha menjadi manusia yang lebih baik—lebih sabar, lebih bersyukur, dan lebih peduli. Indonesia butuh para haji yang tak sekadar menambahkan gelar di kartu nama, tetapi benar-benar membawa pulang jiwa haji dalam setiap langkah dan pengabdian.
Karena sejatinya, ibadah haji bukanlah akhir dari perjalanan spiritual, melainkan awal dari sebuah tanggung jawab moral yang lebih besar—menjaga kemurnian hati, konsistensi ibadah, dan kepedulian sosial. Dan Indonesia menanti para haji itu, untuk menyalakan lentera-lentera kecil di tiap sudut negeri.
(Triyo Supriyatno)