Fikih

Tafsir Ahkam, Hukum Menggunakan Kafan Selain Putih

Salafusshalih.com – Penggunaan kain kafan yang lazim ditemui di masyarakat adalah kain kafan berwarna putih. Dimana kain ini dibeli bersama kebutuhan jenazah lainnya seperti tikar, bunga, kapur barus dan selainnya. Kenyataan ini mungkin memunculkan anggapan pada sebagian masyarakat, bahwa kain kafan memang harus berwarna putih. Lalu sebenarnya adakah ketentuan khusus tentang warna kain kafan? Berikut keterangan selengkapnya:

Persoalan Warna Kain Kafan

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa kain kafan tidaklah harus berwarna putih. Warna putih hanya sekedar kesunahan saja. Dan boleh menggunakan kain selain warna putih untuk mengkafani jenazah. Al-Qurthubi menerangkan bahwa dasar kesunahan menggunakan kain putih untuk mengkafani adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih. Sesungguhnya pakaian putih adalah pakaian terbaik. Dan pergunakanlah untuk mengkafani jenazah kalian (HR. Abu Dawud) (Tafsir al-Qurthubi/4/300).

Selain hadis dengan redaksi di atas, adapula hadis yang diriwayatkan dan disahihkan Imam al-Tirmidzi serta al-Hakim dari Jundub ibn Junadah:

الْبَسُوا ثِيَابَ الْبَيَاضِ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian yang berwarna putih. Sesungguhnya pakaian putih adalah pakaian paling bersih dan bagus. Dan pergunakanlah untuk mengkafani jenazah kalian (HR. al-Hakim dan at-Tirmidzi).

Imam al-Syaukani menjelaskan, hadis di atas adalah dasar disyariatkannya menggunakan pakaian berwarna putih. Selain itu, di dalam hadis di atas terdapat anjuran menggunakan kain kafan yang berwarna putih. Al-Syaukani juga menerangkan bahwa redaksi perintah yang tercantum tidaklah memunculkan hukum wajib, melainkan hanya sunah saja (Nailul Authar/3/65).

Nabi Muhammad sendiri ketika wafat dikafani dengan kain berwarna putih. Sahabiyat Aisyah meriwayatkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كُفِّنَ فِى ثَلاَثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ ، لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلاَ عِمَامَةٌ

Sesungguhnya Rasulullah dikafani dengan tiga lapis kain katun putih. Diantaranya tidak terdapat baju gamis dan serban (HR. Bukhari).

Imam al-Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan, kesunahan menggunakan kain kafan berwarna putih adalah sesuatu yang disepakati oleh para Ulama. Selain itu, hukumnya makruh memakai kain yang telah diwarnai atau sejenisnya seperti memakai pakaian yang dibuat untuk bergaya atau memperindah diri (Syarah Muslim/3/358).

Di dalam al-Majmu al-Nawawi juga menjelaskan, selain disunahkan memilih warna putih, juga disunahkan memilih kain kafan yang bagus. Bagus atau tidaknya kain kafan ini tidak diukur mahal atau murahnya kain, melainkan diukur dari tingkat keputihan, kebersihan, kenyamanan dan ketebalan. Beberapa ulama juga menyatakan bahwa memakai kain bekas pakai sebagai kafan lebih utama daripada membeli yang baru (al-Majmu’/5/197).

Imam al-Munawi di dalam Faidul Qadir menjelaskan, kesunahan memakai kain kafan berwarna putih bersifat muakad (sangat dianjurkan). Dan hukum menggunakan kain kafan selain warna putih adalah makruh (Faidul Qadir/2/196).

Beberapa ulama ahli fikih seperti Sulaiman al-Jamal malah menyatakan, andai sekarang hukum memakai kain warna putih sebagai kain kafan berubah dan diputuskan menjadi wajib, maka hal itu mungkin-mungkin saja terjadi. Sebab memakai selain warna putih dianggap sebagai sikap merendahkan. Ungkapan al-Jamal ini menunjukkan begitu penting memilih warna putih sebagai kain kafan (Hasyiyah al-Jamal/7/13).

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, hukum memakai kain berwarna putih sebagai kain kafan adalah sunah. Meski sekedar sunah, memilih warna putih tidak sepatutnya diabaikan. Sebab kesunahan memilih warna putih sebagai kain kafan telah mendekati hukum wajib.

Fakta ini menunjukkan bagaimana agama memposisikan warna putih sebagai simbol kembalinya manusia ke asal kejadiannya. Kafan putih menunjukkan manusia ketika ke akhirat tidak lagi membawa apapun yang bersifat materi. Manusia juga tidak lagi memiliki daya dan upaya sebagaimana di dunia.  Wallahu a’lam.

(Mohammad Nasif)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button