Tantangan Liberalisasi dan Masa Depan Dunia Pendidikan Islam di Indonesia
Salafusshalih.com – Beberapa waktu lalu, dalam sebuah seminar pemikiran Islam, diundanglah tokoh pemikir kajian keislaman asal Bojonegoro yang akan membahas tentang liberalisasi Islam di Indonesia dan eksistensinya dalam pendidikan kita. Adian Husaini namanya. Adian, demikian sapaan akrabnya, merupakan salah satu cendekiawan yang concern dalam Islamic studies, dan yang paling gencar memerangi isu-isu yang sedang berkembang di Indonesia, seperti liberalisme, pluralisme, multikulturalisme, dan relativisme.
Isu-isu semacam ini, menurut Adian, secara esensial senantiasa jalin-jemalin dan berasal dari pandangan utama, yakni pandangan akan keinginan ‘kebebasan’, atau yang sering dikenal dengan ‘liberal’. Secara faktual, isu-isu tersebut kini menjadi arus utama yang disebarluaskan melalui kurikulum pendidikan kita, khususnya di perguruan tinggi. Itulah alasan kenapa membahas hal-ihwal pendidikan Islam, dalam konteks saat ini, menjadi sesuatu yang amat krusial dilakukan.
Menurut Adian, dalam berbicara tentang liberalisme, adalah terlebih dahulu sangatlah penting untuk menelisik kembali peradaban Barat, tempat di mana secara historis istilah itu muncul. Samuel Huntington, pakar politik internasional, pada tahun 1996, dalam bukunya The Clash of Civilizations, mengklasifikasi peradaban menjadi delapan macam: peradaban Barat, Cina, Jepang, India, Amerika Latin, Afrika, Ortodoks, dan peradaban Islam.
Dari kedelapan peradaban tersebut, kata Huntington, yang pernah mengalahkan peradaban Barat hanya satu, yaitu peradaban Islam. Ekspansi Islam ke Andalusia, Spanyol hari ini, pada sekitar abad VII dan penaklukan Konstantinopel merupakan bukti konkret akan hal itu. Sayangnya itu terjadi di masa lalu. Mau atau tidak, kenyataannya, hari ini seluruh dunia didominasi oleh peradaban Barat. Kolonialisme peradaban ini juga merambah terhadap peradaban Islam itu sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa peradaban Barat, utamanya sejak Renaisans Eropa, berdiri di atas dasar ‘trauma terhadap agama’. Otoritas gereja pada awal-awal abad Masehi menutup peradaban Yunani pada sebelum Masehi. Keadaan semacam itu menidur-panjangkan Eropa dalam masa kegelapan, dan Renaisans adalah titik balik kebangkitan peradaban yang tertimbun otoritas keagamaan tersebut.
Trauma terhadap agama menjadi sesuatu yang riil, dan Renaisans berdiri di atasnya. Maka dari itu titik tolak peradaban Barat adalah rasionalitas, yang ditandai dengan melemahnya otoritas gereja ketika itu. Sebagai paradigma modernitas, rasionalitas sama sekali menegasikan segala mitos, takhayul, dan bagian terburuknya bahkan penolakan terhadap agama itu sendiri.
Itulah worldview peradaban Barat yang dikemukakan Adian. Baginya memahami sejarah sangat penting. Sehingga terhadap modernitas, dan turunan dari istilah itu, kita benar-benar memahami. Kita harus menyadari bahwa turunan modernitas tersebut, yang menuhankan rasionalitas, di antaranya adalah apa yang kita akan bahas sekarang, yakni liberalisme.
Liberal Bermakna Negatif?
Secara historis, menurut Adian, istilah ‘liberal’ kali pertama dipakai oleh Abraham Geiger (w. 1874), orientalis Yahudi abad XIX. Penulis esai “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? (Apa yang Muhammad Pinjam dari Yahudi?)” tersebut mendirikan gerakan keyahudian yang diberi nama Liberal Judaism.
Geiger, melalui gerakan tersebut melakukan gebrakan baru yang kontradiktif dengan doktrin Yahudi ortodoks, salah satunya adalah perkawinan sesama jenis. Bermula dari itu, bahkan penafsiran terhadap kitab suci Yahudi pun mengalami pembaruan. Pendek kata, Liberal Judaism telah berhasil melahirkan paham keyahudian yang bebas, dan membuat sekat dengan Yahudi ortodoks.
Dalam rekaman sejarahnya, pandangan liberal tersebut mengejawantah dalam setiap sinagoga Yahudi. Kendati Yahudi ortodoks pun menentang, Liberal Judaism menjadi arus yang tak terbendung. Bahkan, pandangan liberal ini juga mencengkram agama Kristen. Banyak gereja Kristen diberi nama yang konotatif ke arah itu, seperti Church of St. Alban Liberal Catholic, Christian Nudist Convocation, University Baptist a Liberal Church, dan Satanic Church. Seperti dalam kasus Yahudi, Vicky Gene Robinson (l. 1947), seorang pendeta Kristen di U.S. Episcopal Church, menikah sesama jenis dengan Mark Andrew.
Tentu pandangan itu mendapat tentangan dari umat Kristen non-liberal. Belakangan, penentang ini dikenal sebagai Kristen ortodoks, seperti Yahudi ortodoks, dan dianggap sebagai golongan anti-liberal. Pengaruh liberalisasi ini menjadikan persentase penganut kedua agama tersebut menurun di Eropa.
Sebuah survei mengejutkan kita, bahwa yang menganggap penting agama di Amerika sebanyak 53%, Jerman dan Inggris 10%, Israel 36%, Rusia 16%, dan Cina hanya 3%. Indonesia masih berada dalam persentase besar, yakni 93%. Akan tetapi liberalisasi terus berjalan, dan Indonesia bukan luput dari proyek ini. Oleh karena keagamaan Indonesia relatif kuat, dibuktikan dengan besarnya persentase tadi, maka yang menjadi sasaran adalah pendidikannya.
Pemikiran Islam dalam kurikulum pendidikan kita mulai dimasuki—meminjam istilah Adian—virus liberalisme. Menurut Adian, semacam ada cita-cita bahwa nasib Islam harus seperti Yahudi dan Kristen tadi, sama-sama terjangkit virus liberal. Jika di kedua agama itu liberal sudah diakui sebagai sekte resmi keagamaan, dalam Islam, hari-hari ini, menyeruak pula keinginan untuk mengakui sekte Islam liberal.
Itulah tantangan liberalisme yang ada di hadapan kita. Barangkali nasib kita akan dianggap sebagai Muslim konservatif, sebagaimana Yahudi non-liberal dianggap Yahudi ortodoks. Begitu pun Kristen. Tetapi itulah kenyataannya, dan kita berkewajiban menentangnya. Adian memaparkan manifestasi liberalisasi Islam di Indonesia, yaitu: penafsiran konteks daripada teks, inklusivisme agama, multikulturalisme, dan relativisme agama.
Penangguhan sebuah hukum sebab perbedaan konteks dengan ketika ayat tersebut diturunkan, penyamarataan kebenaran semua agama, humanisasi agama, bahkan upaya meniadakan kebenaran absolut disebabkan status kita sebagai manusia yang notabene relatif adalah bukti empiris tentang confusion of knowledge, yang menjerumuskan kita ke dalam lubang liberalisme.
Perguruan Tinggi Islam, terutama, dewasa ini sudah berani secara terang-terangan mengaku liberal, membenarkan homoseksual, bahkan membolehkan menikah sesama jenis. Tentu, kata Adian, ini wajib ditentang. Virus-virus liberalisme mesti dijinakkan. Istilah Islam liberal sendiri sebenarnya merupakan istilah yang kontra-produktif, karena Islam berarti tunduk (al-inqiyâd), sedangkan liberal adalah kebebasan (freedom). Bagaimana mungkin kita bisa bebas di tengah ketundukan?
Jika dianalisis seksama, apa yang dipaparkan Adian berorientasi dalam sikap kesalehan. Tuntutan sikap istiqamah dalam kesalehan tersebut dapat termanifestasikan dalam penentangan kita terhadap liberalisme. Bersikukuh dalam pemikiran keislaman yang benar, adalah sebuah sikap saleh. Namun demikian, saleh saja tidak cukup. Artinya, baik (shâlih) saja belum cukup. Harus ada upaya ke arah memperbaiki (mushlih).
Cita-cita Saleh ke Muslih
Itulah pentingnya untuk kita menjadi generasi yang saleh, dan pada saat yang bersamaan, juga menjadi pribadi yang muslih. Kita bisa saja berargumen bahwa menentang liberalisme adalah sesuatu yang baik, tetapi bukankah lebih baik ketika bukti empiris penentangan itu terwujud dalam usaha kita memperbaiki pendidikan Islam itu sendiri?
Jadi bukan kita saja yang baik, dengan menentang liberalisme, tetapi orang lain juga menjadi baik sebab upaya kita memahamkan mereka bahwa virus liberalisme mesti dijinakkan, bahwa liberalisme adalah sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Dalam konteks ini, kewajiban kita tentu saja semakin besar.
Saleh sekadar butuh komitmen, komitmen menentang liberalisme. Tetapi menjadi muslih membutuhkan perjuangan ekstra, karena tidak jarang upaya kita itu justru memunculkan pertentangan dari mereka yang sudah terkena virus liberalisme ini.
Konsekuensinya beragam. Untuk menjadi muslih sering sekali kita dicap suka menghakimi, atau bahkan dituduh konservatif. Atau bahkan dituduh radikal. Dalam sistem pendidikan kita, liberalisme menempati kedudukan yang kuat, sehingga berupaya menyadarkan mereka yang terjangkit dengan alasan ingin menjadi muslih dianggap menentang formula arus utama. Begitulah.
Menjadi baik itu mudah, yang sulit adalah menjadikan orang lain juga menjadi baik. Menjadi saleh dan sekaligus menjadi muslih merupakan bagian komprehensif dari status kita sebagai Muslim, oleh karena itu tentu saja bukan perkara yang mudah. Dalam hal ini, Adian mengemukakan, bahwa setidaknya ada dua hal yang dapat kita lakukan. Pertama, mengajak dengan cara yang baik.
Oleh karena liberal adalah sebuah konstruksi berpikir, seringkali orang bersikap liberal, namun tidak menyadari bahwa dirinya liberal. Yang dapat kita lakukan adalah menyadarkannya, dengan argumentasi yang memadai bahwa liberal memanglah kontradiktif dengan Islam. Kedua, menciptakan institusi sejenis yang lebih baik dengan kurikulum yang menentang liberalisme.
Langkah ini merupakan implementasi ketidakpercayaan kita terhadap kurikulum yang ada. Sebab, kita tidak bisa membiarkan virus itu semakin menjalar disebabkan keterkekangan kita oleh aturan kurikulum. Melalui kedua langkah ini, kita sudah berupaya untuk menjadi muslih. Tugas kita sebagai Muslim dengan demikian sudah sempurna, yakni: menjadi baik (shâlih), dan menjadikan orang lain juga berada dalam kebaikan dan kebenaran (mushlih).
Yang menjadi PR kita bersama adalah masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Dengan arus liberalisme yang begitu masif, sedangkan akses kita untuk memperbaiki terhalang kebijakan kurikulum yang sulit secara birokratis, apa yang akan terjadi dengan pendidikan Islam di Indonesia di masa depan? Kalau pun dibuat kurikulum baru, seperti poin kedua yang dipaparkan Adian di atas, bukankah itu akan tetap terhambat karena di samping tantangan industri 4.0, Indonesia merupakan ‘negeri di atas kertas’?
Lalu bagaimana juga jika kurikulum itu tidak diakui karena tidak sesuai yang dirumuskan pemerintah? Bagaimana nasib mereka yang gagal disebabkan lebih mengutamakan komitmen kesalehan ketimbang kurikulum pemerintah?
Maka dari itu, dari segalanya, sangatlah penting untuk lebih lanjut dilakukan riset mendalam tentang masa depan pendidikan Islam di Indonesia, serta langkah strategis apa yang semestinya kita lakukan untuk mengantisipasi liberalisme dalam pendidikan kita sendiri. Sekali lagi, ini erat kiatannya dengan tugas mulia kita untuk menjadi generasi yang saleh sekaligus menjadi generasi yang muslih.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
(Ahmad Khoiri)