Agama dan Sepakbola, Dua Hal yang Dipeluk Erat Manusia
Salafusshalih.com – Rasa-rasanya terlalu pelik dan kompleks jika hanya hendak menyalahkan satu pihak dari tragedi Kanjuruhan kemarin. Ratusan nyawa melayang tidak serta merta dapat disalahkan sebagai konsekuensi tindakan mereka sendiri dalam kecintaannya pada sepak bola.
Problematika yang sebetulnya terjadi tentu tidak sesederhana apa yang kita baca di media. Sangat urgen untuk dilakukan pengusutan secara tuntas dan laporan investigatif. Hasilnya bisa dijadikan sebagai evaluasi kedepannya dari semua belah pihak.
Bagi saya, menyalahkan satu pihak pada kasus ini tentu saja sangat reduktif. Langkah seperti itu justru menghilangkan hal-hal lain yang sebetulnya mesti diungkap. Atas dasar kompleksitas itulah, kasus tersebut tidak akan dengan mudah diungkap secara kronologis. Paling banter hanya sanksi yang bakal diterima oleh berbagai pihak yang dinilai bersalah. Itulah mengapa kita butuh pemahaman yang kompleks, tidak reduktif dan serampangan.
Ketika tragedi 01/10 di Kanjuruhan—atau mungkin secara lebih umum sepak bola—saya tertarik melakukan keterkaitan dengan agama. Barangkali sebagian orang akan mengira hal itu ngawur. Anggapan tersebut tentu absah saja, sebagiaman saya mengklaim absah mengaitkan keduanya. Kedua kutub tersebut dapat dipertemukan di dalam satu ungkapan ‘bagian terdalam dari hati para pengikutnya’.
Dalam konteks sepak bola pengikut yang dimaksud tentu fans dan penggemar. Dalam ranah agama pengikut yang dimaksud adalah para orang-orang yang mengaku beriman atasnya. Dua entitas ini, hemat saya, menyentuh titik terdalam dan psikis dari para pengikutnya. Apa yang disebut oleh Tillich, salah seorang teolog, sebagai ‘ultimate concern’. Hanya saja terdapat titik diferensial di antara keduanya.
Agama merasuki sisi terdalam pemeluknya mungkin karena ia menyangkut hal-hal fundamental dalam hidup. Sementara sepak bola? Saya tidak bisa menerka-nerka dengan pasti. Jelasnya, musabab demikianlah sepak bola dinikmati dan dicintai tanpa alasan. Eric Cantona memberi ungkapan lugas bahwa manusia bisa berganti pasangan, partai politik, agama, tetapi sukar berganti klub kebanggan.
Kemudian, kita tidak perlu heran tatkala ditemukan banyak yang melanggar nilai kemanusiaan atas nama agama. Ketika berbagai aliran dan sekte saling serang atas nama kepercayaanya masing-masing. Hal tersebut sebagai manifestasi dari yang sebelumnya saya sebut sebagai titik terdalam. Ringkasnya, ketika agama sudah menyentuh ke bagian terdalam, maka untuk melakukan hal negatif seolah-olah mendapat pijakan teologis.
Demikian pula di dalam sepak bola, perdebatan tiada henti di media sosial, bahkan hingga di dunia nyata. Rivalitas yang memanas antar pendukung memberikan implikasi logis tindakan yang merugikan. Semuanya juga sebagai implementasi dari kecintaan terhadap klub kebanggaan. Di titik inilah sepak bola dan agama bertemu dan kita tidak bisa memungkiri itu.
Salah Siapa?
Kita mungkin bertanya-tanya hal tersebut salah siapa. Tentu tidak adil dan sangat simplistis jika menyalahkan keduanya secara langsung. Agama tidak salah atas kasus yang mencederai kemanusiaan, begitu juga sepak bola. Kedua maujud tersebut di dalam dirinya masing-masing mempunyai nilai-nilai luhur. Sebuah nilai yang menjadi pijakan inspiratif bagi umat manusia. Hanya saja dalam ranah praksisnya kita tidak jarang menemukan hal yang berbanding terbalik.
Pihak yang paling potensial keliru—untuk tidak menyebut salah—adalah para pengikutnya. Kedangkalan pikiran dan sikap gegabah adalah pemicu mengapa hal-hal buruk terjadi atas nama keduanya. Kedangkalan pikiran umat beragama kerap kali membawa pada ilusi ingin menang sendiri, kemudian menafikan kelompok lain. Hampir senyawa dengan itu apa yang dialami oleh para pendukung klub bola. Mereka juga tidak jarang hendak atau bahkan merasa pantas untuk menyingkirkan pendukung lawan.
Nilai-nilai tidak etis yang mengatasnamakan keduanya sejujurnya tidak bisa membuat dua hal tersebut buruk. Semuanya bermuara sejauh mana kedua hal tersebut dinikmati—dalam konteks agama sejauh mana ia dipahami dengan benar. Sehingga, ketika kedua hal tersebut dipahami dengan benar, rasa-rasanya muhal terdapat hal yang mencederai kemanusiaan. Semua berpijak di atas nilai-nilai etis dan humanis. Puncaknya, kita perlu untuk merefleksikan kembali keberagamaan kita, sebagaimana juga perlu mengevaluasi sepak bola Indonesia.
Keduanya membonceng nilai-nilai universal yang menjunjung tinggi martabat dan hak asasi manusia. Agama pada dasarnya bertujuan untuk membawa kemaslahatan di muka bumi. Sementara sepak bola tidak akan pernah bungkam ketika menelan nyawa. Bahkan nyawa diletakkan di atas keagungan sepak bola itu sendiri. Itulah mengapa slogan ‘Tak Ada Pertandingan Sepak Bola Sebanding Nyawa’ terus menggema-gema.
(Moh. Rofqil Bazikh)