Hubbul Wathan

Damai di Taman Misfalah, Syahdu di Masjidil Haram

Salafusshalih.com – Tak terasa, hitungan hari tinggal sepekan lagi di Makkah. Kota yang dulu terasa jauh kini serasa begitu dekat—hingga berat rasanya membayangkan akan segera meninggalkannya. Waktu 40 hari yang awalnya tampak panjang, kini terasa begitu singkat.

Dua hari terakhir sejak Ahad (22/6/25), saya dan suami lebih banyak memilih ibadah mandiri, menyelami setiap detik yang tersisa di kota kelahiran Baginda Rasulullah Saw. Ahad pagi, selepas syuruk, kami beranjak mencari suasana baru untuk rutinitas pagi: jalan pagi ke taman kota di distrik Misfalah.

Taman ini kerap kami lewati saat naik Bus Selawat sepulang dari Masjidilharam. Letaknya tak jauh dari hotel—hanya sekitar lima menit berjalan kaki, menyeberangi jalan utama, dekat lampu lalu lintas.

Di sana, kami menjumpai hiruk-pikuk warga lokal dan mukimin, para pedagang dari Afrika, hingga penduduk setempat yang sejak fajar sudah menggelar dagangan mereka di emperan hotel. Makanan, buah-buahan, sajadah, hingga oleh-oleh haji berjejer tanpa stan megah—cukup beralas kain lebar yang juga berfungsi sebagai wadah angkut.

Meski sering diusik razia aparat setempat, keberadaan mereka justru sangat membantu jemaah. Di area taman, suasana jauh lebih ramai dan beragam. Saya hanya membawa 30 riyal, cukup untuk membeli bubur sumsum, onde-onde, ketan hitam, dan lauk soto ayam.

Kami duduk di atas rumput sintetis sambil menyantap camilan. Suasana damai, burung merpati beterbangan, remah-remah makanan menjadi perekat antara manusia dan alam. Rasanya seperti di negeri sendiri.

Tiba-tiba, suami melihat kerumunan orang di dekat pedagang kurma. Ternyata yang dijual adalah rutab—kurma setengah matang dengan tekstur empuk dan rasa manis seperti sawo matang. Hanya 10 riyal per kotak 500 ml. Kami beli satu. Masyaallah, rasanya persis seperti rutab yang dulu dibawa tetangga dari Uni Emirat Arab.

Sekitar 1,5 jam kami di taman, lalu kembali ke hotel. Sarapan dengan soto ayam yang sudah dibeli, meski bukan Lamongan, tetap menyenangkan. Hari-hari tanpa agenda KBIH biasanya saya isi dengan berbincang bersama teman sekamar—berbagi cerita, canda, dan empati. Bersyukur, tak sekalipun terjadi konflik di antara kami. Semua saling menjaga.

Syahdu di Masjidil Haram

Senin ini (23/6/25), KBIH kami mengadakan agenda insidental: pendakian ke Jabal Nur menuju Gua Hira. Tidak wajib, hanya bagi yang berminat. Sekitar 30 orang mendaftar. Namun saya dan suami memilih tidak ikut. Jalan datar Muzdalifah–Mina saja sudah cukup melelahkan, apalagi mendaki. Kami memilih alternatif yang lebih ramah lutut: salat Tahajud di Masjidilharam.

Pukul 02.00 kami bangun, pukul 02.30 berangkat dengan dua teman sekamar. Bus Selawat sudah siap di depan hotel. Lima menit kemudian, kami tiba di terminal Ajyad. Angin malam menusuk, manusia dari berbagai bangsa mengalir menuju masjid. Kami masuk melalui Gate 90—karena pintu King Abdul Aziz kini hanya untuk jemaah berpakaian ihram. Peraturan baru sejak Ahad: tawaf di dekat Ka’bah hanya untuk yang berihram.

Kami naik satu lantai eskalator. Alhamdulillah, lantai satu Masjidilharam masih lengang. Saya menuju saf perempuan, area berkarpet hijau. Masih jam 03.00, waktu Subuh pukul 04.12. Cukup untuk tahajud dan tilawah.

Usai Subuh, saya tetap di masjid menanti syuruk. Dua teman saya pulang karena tak enak badan. Sambil menunggu, saya buka bekal rutab. Tiba-tiba, seorang askar (polisi) perempuan menghampiri. Awalnya saya kira ia menegur karena makan di masjid. Ternyata, ia tertarik dengan rutab saya. Saya persilakan ambil. Tak lama, dua askar lain ikut menghampiri dan minta juga. Bahkan hingga empat orang. Alhamdulillah, satu kotak rutab itu cukup untuk berbagi. Semoga berkah, Mbak Askar.

Usai salat Dhuha, saya bertemu suami di dekat rak mushaf. Kami turun dan menuju WC 3 untuk mengisi air Zamzam. Seorang petugas kebersihan membantu saya mengisi jeriken 5 liter. Sebagai tanda terima kasih, saya sedekahkan Rp10.000. Suami membantu membawanya. Di luar, cahaya syuruk sangat cerah. Kami sempat berswafoto. Seorang pemuda Arab bahkan menawarkan diri mengambil foto kami berdua. Terima kasih, brother.

Lalu kami berjalan menyusuri Safwa Market. Di sisi kanan ada stan makanan. Seorang penjaga toko membagikan kurma gratis. Saya sempat ragu dan bertanya, “Halal (maksudnya sah)?” Ia menjawab, “Halal.” Baru saya ambil. Kemudian kami ke stan makanan. Saya memesan syawarma dan martabak daging (beef mataba). Uniknya, tiap menu dilengkapi keterangan kalori.

Makanan siap 10 menit kemudian. Rasanya lumayan, meski martabaknya tak seenak Martabak Hanan di Keputih, Surabaya. Tapi tak apa, beda negara, beda rasa.

Kami lanjut ke terminal Ajyad. Di sepanjang jalan, para pedagang berkulit hitam menggelar dagangan. Sebelum sampai halte, kami singgah di tanah lapang untuk memberi makan burung merpati. Satu kantong biji-bijian dijual 5 riyal. Suasananya meriah, damai, penuh keceriaan.

Pukul 07.45 bus tiba dan membawa kami kembali ke hotel. Terima kasih, ya Allah, untuk nikmat hari ini. Perut kenyang, hati senang, dan pagi ini bisa kami jalani dengan tenang.

(Anandyah RC)

Related Articles

Back to top button