Mujadalah

Hanya Orang Bodoh Yang Meminjamkan Buku, Hanya Orang Gila Yang Mengembalikannya

Salafusshalih.com – “Hanya orang bodoh yang meminjamkan buku, tetapi hanya orang gila yang mau mengembalikannya.” Kalimat Gus Dur tentang buku tersebut bukan sekadar lelucon cerdas, melainkan sindiran telak terhadap relasi kita dengan pengetahuan.

Di tengah budaya literasi yang kerap hanya jadi hiasan pidato, praktik meminjam dan lupa mengembalikan buku justru menjadi ironi budaya membaca. Lalu, siapa sebenarnya yang bodoh, dan siapa yang gila dalam kutipan satir ini?

Kalimat ini tak perlu tafsir langitan. Gus Dur mengucapkannya dengan tawa khasnya yang hangat, tetapi menohok. Sekilas seperti guyonan warung kopi, tetapi sesungguhnya menampar cara kita memperlakukan buku—dan lebih dari itu, cara kita memperlakukan pengetahuan.

Buku adalah pusaka, kata sebagian orang. Namun, di tangan sebagian besar lainnya, buku hanyalah pajangan, atau barang pinjaman yang nasibnya lebih tragis daripada mantan yang dilupakan.

Mari kita telaah lebih jauh.

Kalimat ini menyimpan ironi intelektual. Yang meminjamkan buku disebut bodoh. Mengapa? Karena ia melepaskan sesuatu yang amat berharga kepada orang yang belum tentu menghargainya. Meminjamkan buku bukan seperti meminjamkan korek api.

Buku menyimpan gagasan, ilmu, bahkan kadang jiwa penulisnya. Ketika seseorang meminjamkan buku, ia memercayakan sebagian pikirannya kepada orang lain. Dan, seperti kita tahu, kepercayaan adalah komoditas langka di negeri ini.

Bagian kedua dari kutipan ini lebih kejam lagi: hanya orang gila yang mengembalikan buku. Ini bukan sekadar sindiran bagi peminjam yang culas, tetapi juga pukulan bagi sistem nilai kita. Di mana integritas menjadi anomali. Dalam masyarakat yang terbiasa minjem lalu ngilang, mengembalikan buku justru dianggap aneh—gila, bahkan.

Namun, mari kita jujur: siapa yang tak pernah meminjam buku lalu lupa mengembalikannya?

Di sekolah, kita pinjam LKS dari kakak kelas—hilang. Di kampus, kita pinjam diktat dari senior—lupa. Di rumah, kita pinjam buku ayah—raib. Kadang bukan karena jahat, tetapi karena mental kita sudah terbiasa menganggap buku sebagai barang mudah, bukan pusaka ilmu.

Kesadaran kolektif akan nilai buku, apalagi untuk dikembalikan, nyaris nihil. Di sinilah kelakar Gus Dur menjadi relevan: hanya orang gila yang repot-repot mengembalikannya.

Bahkan di ruang-ruang kekuasaan, para pemimpin sering meminjam ide dari buku lalu menjualnya sebagai gagasan pribadi. Tak pernah ada kutipan, tak pernah ada apresiasi. Mereka meminjam semangat tanpa menyebut sumbernya. Itulah peminjaman intelektual tanpa pengembalian—dan sangat jarang ada yang menganggapnya pencurian.

Di sisi lain, ada juga tipe orang yang meminjam buku dengan cara elegan: mereka membacanya, menandainya, lalu menyimpannya seolah milik sendiri. Tak pernah ada kabar pengembalian. Mereka merasa sudah cukup berterima kasih melalui pemahaman. Namun, cobalah tanya si pemilik buku—hatimu tercabik, bukan?

Fenomena ini juga membuka fakta tragis: orang yang memiliki banyak buku sering diperlakukan seperti perpustakaan berjalan. Mereka disambangi hanya saat orang lain butuh. Setelah bukunya melayang entah ke mana, relasi pun merapuh. Buku raib, dan pertemanan ikut terkubur di liang sunyi. Buku bukan sekadar pusaka ilmu, tetapi juga saksi pengkhianatan kecil.

Yang lebih parah lagi adalah cara institusi memperlakukan buku. Di banyak perpustakaan sekolah, buku hanya menjadi koleksi bersampul plastik yang berdebu. Digembok rapat, diberi kode rak seperti brankas harta. Buku diperlakukan seperti fosil: tidak untuk disentuh, apalagi dibaca. Kita terlalu takut kehilangan buku, sampai lupa bahwa buku sejatinya harus hilang di pikiran pembacanya—bukan di rak lemari.

Gus Dur, dengan gaya khasnya, menyelipkan sindiran halus terhadap kemalasan membaca yang disamarkan oleh budaya meminjam. Kita seakan rajin berliterasi, padahal hanya piawai menumpuk pinjaman. Kita mengaku cinta ilmu, padahal buku belum dibuka sejak dipinjam pertama kali.

Maka, jangan heran bila muncul adagium sinis: Buku yang paling aman adalah buku yang tidak pernah dipinjamkan. Karena begitu dipinjamkan, ia akan berakhir pada pelupaan. Bahkan ada yang lebih ekstrem: Kalau ingin kehilangan teman, pinjamkan saja buku kesayanganmu. Tunggu saja—buku lenyap, persahabatan turut lenyap.

Tentu tidak semua peminjam buku pantas disamakan dengan maling berdasi intelektual. Masih ada orang gila dalam pengertian Gus Dur: mereka yang mengembalikan buku dengan penuh tanggung jawab. Mereka yang sadar bahwa buku bukan sekadar kertas dan tinta, tetapi warisan ide yang harus dihargai. Namun, mereka semakin langka. Mungkin satu di antara seratus. Sisanya? Entah di mana—dan sedang membaca buku siapa.

Akhirnya, kutipan Gus Dur ini adalah tamparan elegan, bahkan bagi orang terpelajar. Di balik gelar akademis dan rak buku yang penuh, jangan-jangan kita semua masih berkutat dalam dosa kecil: meminjam, dan lupa mengembalikan.

Jadi, jika Anda termasuk orang yang suka meminjam buku, ingatlah satu hal penting: jangan kembalikan.

Mungkin Anda sudah gila. Atau karena buku itu sudah menjadi bagian dari diri Anda—atau lebih buruk lagi, Anda sejak awal memang tidak berniat mengembalikannya.

Salam waras bagi yang masih sudi membaca. Dan lebih waras lagi bagi yang masih mau mengembalikan.

(Dwi Taufan Hidayat)

Related Articles

Back to top button