Deradikalisasi Pemahaman Ayat Perang untuk Indonesia
Salafusshalih.com – Menurut data dari The Habibie Center, semenjak terjadi insiden terorisme terhadap gedung WTC di New York pada 11 September 2001, jumlah kasus terorisme di Indonesia cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya insiden bom Bali I dan II (2002 & 2005), bom JW Marriot (2009), bom Surabaya (2018), dan kasus-kasus lainya. Hingga saat ini, jika dihitung secara akumulatif, maka bisa dikatakan hampir setiap tahun di Indonesia selalu ada kasus terorisme yang terjadi.
Salah satu faktor utama terjadinya praktik terorisme adalah akibat adanya kesalahpahaman dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang perang. Kelompok ekstremis cenderung memahami ayat Al-Qur’an secara tekstual semata. Sehingga seringkali melahirkan pemahaman yang parsial dan terjadi reduksi terhadap makna ayat. Hal ini dibuktikan dari pengakuan Imam Samudra (pelaki Bom Bali), ia mengatakan bahwa tindakannya merupakan bentuk dari pelaksaan perintah Allah dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 74-76.
Membunuh Orang Kafir, Benarkah?
Dalam membahas ayat perang, setidaknya terdapat tiga term dalam Al-Qur’an yang sering diasosiasikan sebagai istilah perang. Tiga term yang dimaksud tersebut adalah term jihad, qital, dan harb. Namun dalam artikel ini, penulis akan berfokus pada pengkajian jihad yang dalam bentuk qital. Dalam Al-Qur’an, term qital dengan berbagai bentuk derivasinya disebutkan sebanyak 87 kali. Namun, dari total penyebutan tersebut, hanya terdapat 54 ayat yang secara eksplisit mengarah kepada peperangan, dan seluruh 54 ayat tersebut turun pada fase madaniyah.
Pada saat periode Makkah, Allah belum mengizinkan Nabi dan para sahabat untuk berjihad dalam bentuk qital. Ayat-ayat yang turun pada masa makkiyah ini cenderung memerintahkan kepada Nabi agar bersikap inklusif dan sabar dalam menyikapi tindakan represif kaum kafir Makkah. Hal ini dapat dibuktikan dalam delapan ayat makkiyah berikut: Q.S. Fussilat [41]: 34, QS. al-Ma’idah [5]: 13, QS. an-Nahl [16]: 125, QS. an-Nahl [16]: 82, QS. al-Furqan [25]: 63, QS. al-Ghasyiyah [88]: 22, QS. Qaf [50]: 45, dan QS. al-Jatsiyah [45]: 14.
Delapan ayat tersebut memerintahkan kepada Nabi dan para sahabat agar merespon tindakan diskriminasi dari kaum kafir Makkah dengan sabar, memaafkan, berdakwah dan berdebat dengan baik, yang intinya semua hal tersebut bertujuan menolak tindakan represif kaum kafir dengan cara yang lebih baik dan nir-kekerasan.
Lantas, kapan Nabi diperbolehkan untuk memerangi kaum kafir? Para ulama salaf sepakat bahwa ayat pertama yang mengizinkan Nabi dan para sahabat untuk melakukan jihad dalam bentuk perang (qital) adalah Q.S. al-Hajj [22] ayat 39:
اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ ٣٩
Artinya: Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa membela mereka.
Syaikh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir, menjelaskan bahwa konteks historis ayat tersebut berkenaan dengan respon atas penindasan kaum kafir Makkah terhadap umat Islam. Pada saat umat Islam berada di Makkah, mereka mendapatkan berbagai perlawanan dan penindasan dari kaum kafir Makkah.
Bahkan, pada suatu ketika terdapat beberapa orang mukmin yang datang kepada Nabi dengan keadaan luka dan babak belur. Mereka mengadu kepada Nabi agar diperbolehkan untuk memberikan perlawanan terhadap berbagai bentuk penyiksaan kaum kafir tesebut.
Namun, Rasulullah justru melarang para sahabat untuk membalas penindasan kaum kafir Makkah tersebut, serta menyarankan kepada mereka agar tetap bersabar dan tabah. Hal ini dikarenakan belum adanya wahyu yang turun kepada Nabi tentang perintah untuk berjihad dan melakukan perlawanan terhadap penindasan kaum kafir tersebut. Hingga akhirnya pada saat Nabi berhijrah ke Madinah setelah baiat Aqabah turunlah Q.S. al-Hajj [22]: 39.
Syaikh Ibnu ‘Adil al-Dimasyqi dalam tafsirnya al-Lubab fi ‘Ulum al-Kitab, menjelaskan bahwa bentuk perizinan perang dalam term “udzina” tersebut sangat berkaitan dengan term “biannahum dhulimu”. Hal ini disebabkan huruf ba’ dalam kata “biannahum dhulimu” merupakan jenis ba’ sababiyah, yaitu ba’ yang menjadi penyebab diberlakukanya sesuatu. Oleh karena itu, izin memerangi orang kafir dalam ayat tersebut hanya berlaku apabila umat Islam terlebih dahulu didzalimi atau diperangi oleh kaum kafir Makkah.
Dengan demikian, maka perintah jihad qital dalam QS. al-Baqarah [2]: 191; QS. al-Anfal [8]: 39; QS. al-Taubah [9]: 5, 14, 29, 36; dan QS. al-Nisa’ [4]: 74-76, harus dipahami sebagai bentuk pertahanan diri (defensif), bukan sebagai legitimasi untuk menyerang (ofensif) kelompok lain yang berbeda paham atau berbeda agama, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok ektremis.
Oleh karena itu, izin yang diberikan Al-Qur’an untuk memerangi kaum kafir Makkah bukanlah disebabkan oleh kekufuran atau keengganan mereka masuk Islam, tetapi izin perang tersebut diberikan akibat dari pelanggaran hak asasi manusia yang mereka lakukan kepada umat muslim, khususnya dalam hak kebebasan beragama dan hak bertempat tinggal.
Belajar Dari Para Kiai Pesantren
Dalam disertasi Ahmad Fawaid yang berjudul Kontra Narasi Ekstremisme terhadap tafsir ayat-ayat Qitāl dalam Tafsīr al Jalalayn karya Jalal al Din al Maḥalli dan Jalal al Din al Suyuṭi: kajian atas pemahaman kiai pesantren di daerah tapal kuda jawa timur (2019), ia meneliti pola interpetasi ayat perang yang dilakukan 10 Kiai Pesantren Jawa Timur khususnya daerah tapal kuda.
Ketika mereka mengkaji ayat perang dalam tafsir al- jalalayn, semua para kiai Jawa Timur tersebut tidak hanya memahami sebatas tekstual, namun juga memberikan penjelasan konteks ayat tersebut. Bahkan, mereka juga memberikan kontra narasi terhadap pemahaman-pemahaman para kaum ekstremis agar sesuai dengan konteks Indonesia saat ini. Salah satunya adalah KH. Moh. Zuhri Zaini (Pengasuh Ponpes Nurul Jadid Probolinggo), dalam menafsirkan QS. al-Taubah [9]: 5, ia menyampaikan:
“Ketika kita memahami kitab yang ditulis oleh ulama zaman dahulu, misalnya kitab ini (Tafsir al-Jalalayn), kita harus mencari motif-motif tersebut termasuk mengenali pengarang, sejarahnya, dan sosialnya. Barangkali, kondisi pada masa al-Suyuthi menuntut untuk itu. Tetapi, kita husnudzan bahwa apa yang disampaikan al-Suyuthi memiliki tujuan baik.
Kalau kita lihat di Indonesia sekarang, hubungan kita dengan nonmuslim telah diatur dalam undang-undang. Bahkan undang-undang tersebut tidak memandang perbedaan ras, agama, dan suku. Mereka semua telah berjuang pada masa kemerdekaan. Perjuangan seluruh komponen bangsa ini demi mewujudkan al-ukhuwwah ak-wathaniyyah, yaitu persaudaraan berbangsa, mencintai tanah air”.
Adanya komitmen bersama sebagai warga negara tersebut menjadi sebuah ikatan yang menjadikan relasi antara muslim dan nonmuslim di Indonesia sebagai relasi yang saling menghargai dan toleran, bukan saling memerangi atau membunuh. Praktik toleransi untuk berbuat baik dengan nonmuslim tersebut juga disebutkan dalam QS. al- Mumtahanah [60] ayat 8:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨
Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Dengan demikian, maka jihad qital tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam konteks Indonesia saat ini. Hal ini karena umat Islam Indonesia saat ini hidup dalam kondisi damai, dan tidak sedang diperangi atau dijajah. Sehingga tidak bisa dibenarkan segala bentuk tindakan terorisme di Indonesia, walaupun dengan dalih atas nama agama.
(Moch. Rafly Try Ramadhani)