Eksistensi Buku Dalam Keintimannya Dengan Pembaca Yang Kritis
Salafusshalih.com – Berpikir itu nyawa bagi pembaca. Detak mengeja aksara sekaligus jalan menggapai makna. Kita barang kali abai berpikir kala membaca. Membaca tanpa berpikir bak wayang yang tunduk pada dalangnya. Pembaca; nomina dari “membaca”. Ia subjek berkegiatan aktif. Sebagai subjek, pembaca dituntut bergerak. Tidak hanya menggerakkan mata, tapi juga aktif menggerakkan pikiran. Plato dengan amat subtil menyebut kegiatan berpikir berbicara dalam hati. Merenung sekaligus berefleksi.
Setiap kali berpikir, seseorang merasa sedang berbicara dalam hati apa yang akan dilakukan maupun yang akan dibicarakan. Sebelum melakukan sesuatu pastinya kita akan berpikir terlebih dahulu, walaupun kita sering tidak menyadarinya. Salah satu manifestasi karunia terbesar Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia sebagai Hayawan An-Nathiq (hewan yang berpikir), dengan berpikir ia memiliki distingsi istimewa dibanding makhluk lainnya.
Aktualisasi berpikir mesti berjalan beriringan dengan laku membaca. Membaca butuh jeda untuk berpikir. Menulis catatan kecil, mencari dan mendetailkan tiap arti kata yang tidak dimengerti, lalu berefleksi. Menulis catatan kecil serupa menggarisbawahi, menandai hal-hal tertentu, dan memberi keterangan merupakan serangkaian aktivitas membaca yang perlu dibiasakan.
Ada semacam kekritisan berpikir pada buku. Paradigma berpikir kritis ditilik Michael Scriven, seorang profesor di bidang ilmu perilaku dan organisasional dari Claremont Graduate University, sebagai proses disiplin intelektual untuk secara aktif dan terampil membuat konsep, menerapkan, menganalisis, dan atau mengevaluasi informasi.
Penjelasan berpikir kritisnya Scriven perlahan dapat menghantar pembaca lebih jauh masuk dalam konteks, bukan sekadar berkubang pada ranah teks saja. Dengan kata lain, ia tidak buru-buru menyimpulkan apa yang dibaca. Akan tetapi, memahami teks secara kontekstual interpretatif terlebih dahulu sebelum menyimpulkan. Upaya ini di satu sisi membikin pembaca selektif membidik buku. Memfilter ide-ide yang termaktub di buku.
Kita mengangguk tanda paham bagaimana suatu objek kajian dalam buku dibahas sedemikian rupa. Pemahaman pun berlanjut ke bacaan yang lain. Tak perlu sungkan untuk ketagihan membaca. Sebab dengannya merupakan awal menjejaki buku-buku. Saat membaca magnum opus-nya Ibn Khaldun, Muqaddimah yang berjubel teori sosial itu, misalnya, maka ia akan bertanya perihal latar belakang konteks masyarakat kala Ibn Khaldun mencetuskan teori sosial tersebut.
Pembaca diajak menjelajah ke semesta kearifan teori sosial Ibn Khaldun yang lain. Bergumul dengan buku-buku yang membahas teori serupa, atau bahkan berlawanan. Wawasan diperkaya dan spektrum berpikir diperluas. Di situ pembaca mengalami semacam sublimasi kesungguhan, berupa kedalaman ikhtiar sungguh-sungguh menggumuli suatu teori, sebelum beralih membaca teori sosial yang lain.
Membaca satu buku sembari berpikir kritis menjadi gerbong pembuka menuju buku yang lain. Diri menolak diam dan ingin terus bertamasya ke taman bacaan guna mengukuhkan ingatan terhadap bacaan kita sebelumnya. Ada semacam kecanduan membaca, dan berbuku. Membaca satu buku sembari berpikir kritis, memantik hasrat berburu buku. Sebab, pembaca yang kritis telah mengalami apa yang disebut Aristoteles sebagai eudaimonia, suatu kebahagiaan dan kepenuhan hidup (fulfillment) yang diperoleh setelah menderita.
Tidak ada menderita yang paling syahdu, yang menghadirkan kebahagiaan setelahnya selain membaca dan berpikir. Dua laku itu seolah memenjarakan kita, mendekap tubuh dipaksa diam, tetapi pikiran tak boleh ringkih. Ia dibiarkan menjelajah. Pikiran diantar buku-buku untuk takjub dan mengapresiasi ide-ide. Klise Hatta menggambarkan realitas ini dengan cukup memukau. Demikian klise Hatta berbunyi “aku rela dipenjara asal bersama buku-buku, karena dengan buku pikiranku menjadi bebas”.
Hatta Pembaca buku yang kritis. Berkat pembacaannya yang kritis itu di pengasingan ia menulis Alam Pikiran Yunani. Sebuah buku filsafat anggitannya yang kemudian menjadi mahar meminang sang istri, Ibu Rahmi. Baginya, buku sanggup mendedah cakrawala cinta yang cerdas, tidak ada mahar yang paling istimewa selain buku, meskipun kala itu dirinya berkemampuan untuk memberi emas. Hatta telah mengalami semacam ekstase mengakrabi bacaan-bacaan.
Timbal Balik
Dari Hatta kita belajar bahwa pembaca yang baik tak sekadar mengalami hasrat untuk terus kecanduan membaca. Ada proses timbal balik yang sedemikian intim. Membaca kritis membikin seseorang berkemampuan menulis dengan baik. Melancong ke dunia teks, sembari menyusuri belantara kata-kata, meniti tiap-tiap kalimat dengan penuh ketelitian dan ketakjuban, serta menyelami samudera bacaan demi mengambil hikmah di baliknya, merupakan sebab seseorang menulis dengan baik.
Dari buku ke buku ia menemukan perbandingan dan padanan kata. Perbendaharaan kata semacam ini penting dilakukan ketika menulis. Pemilihan diksi klise akan ditanggalkan, ia justru mencari kesibukan dengan berselancar menemukan padanan kata yang serupa makna. Berbarengan dengan hal itu, pembaca kritis akan lebih peka terhadap realitas objek yang hendak dikaji. Tilikannya terhadap suatu objek kaya perspektif. Melihat objek dari sisi yang berbeda, tidak seperti kebanyakan tilikan orang.
Dengan seperti itu, akan ada hal baru yang dituangkan ketika menulis. Sesuatu yang baru itu berupa gagasan yang berciri khas, yang membedakannya dengan gagasan orang lain. Unsur kebaruan ini menjadi nilai berharga sebuah tulisan. Tanpa ada sesuatu yang baru, tulisan menjadi klise. Tak bernyawa dan cenderung diabaikan.
Semua itu berawal dari sini, dari ketekunan menggumuli bacaan sembari berpikir kritis dan memberi ruang bagi eksplorasi ide-ide kreatif. Tidak perlu takut berimajinasi dan mengulik pemikiran. Sebab dengan begitu, ikhtiar memanifestasi apa yang telah dibaca akan tuntas ketika kita menghasilkan suatu karya.
Muskil seorang filsuf muslim berkaliber al-Ghazali menghasilkan suatu karya agung, Ihya’ Ulum al-Din, tanpa menggumuli bacaan dan berpikir kritis. “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Demikianlah ungkapan masyhur sang Hujjatul Islam itu.
(Muhammad Ghufron)